OPINI: Meneliti Kebesaran Sang Bhuwana Alit Orde Baru
A
A
A
Seorang pembesar bangsa, namanya begitu kontroversial di tengah isu hak asasi yang menimpa selama kepemimpinannya. Dialah Soeharto, Presiden Indonesia kedua.
Soeharto lahir di daerah Kemusuk, sekarang berada di daerah provinsi Yogyakarta. Semenjak kecil, dia telah tinggal dan ditempa oleh budaya Jawa.
Berlatarbelakang etnis Jawa dan tinggal di daerah yang saat itu masih kental dengan budaya Jawa menyebabkan sedikit banyak pemikiran Soeharto terkonstruksi dengan budaya Jawa. Bisa dibilang, kepemimpinannya kental sekali dengan budaya Jawa.
Dalam konsep politik tradisional Jawa, dikenal sesuatu yang bernama Macrocosmos dan Microcosmos.
Macrocosmos dalam bahasa Jawa disebut dengan Jagad Gedhe/Bhuwana Agung atau alam semesta yang diatur oleh kekuasaan supranatural dan memiliki tatanan sendiri. Alam semesta ini dipimpin oleh kekuatan yang adiluhur yaitu dewa-dewa sembahan manusia Bumi.
Sedangkan Microcosmos dalam bahasa Jawa berarti Jagad Cilik/Bhuwana Alit atau muka bumi alam dunia yang lebih rendah dari alam semesta. Bhuwana Alit dipimpin oleh seorang penguasa yang bernama raja. Penguasa harus menjamin kemakmuran dan keamanan rakyatnya, sementara rakyatnya harus tunduk dan mengikuti perintah penguasa untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Foto: Istimewa
Sejarawan dan pakar politik dunia, Ben Anderson, mengungkapkan bahwa ada empat pokok konsep kekuasaan Jawa, yaitu, pertama, kekuasaan itu konkret, kekuasaan itu ada bukan hanya anggapan teoritis melainkan suatu realitas yang benar-benar ada.
Kedua, kekuasaan itu homogen, dalam konsep ini beranggapan bahwa kekuasaan hanya ada di tangan satu individu atau satu kelompok. Ketiga, jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap, konsep ini dalam teori politik menimbulkan konsekuensi yaitu terpusatnya kekuasaan pada satu orang menyebabkan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain agar jumlahnya sebanding.
Terakhir atau keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan, karena kekuasaan bersumber dari sesuatu yang tunggal, maka kekuasaan itu sendiri lebih dulu ada daripada masalah baik dan buruk sehingga tidak mempersoalkan memperoleh kekuasaan tersebut dari mana dan dengan cara apa.
Selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden Indonesia, dengan sisi personalitasnya sebagai yang beretnis Jawa, dapat dianalisis beberapa pemikiran, kebijakan dan perilaku Soeharto yang relevan dengan pemikiran politik tradisional Jawa.
Peristiwa kejatuhan Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto melalui Supersemar merupakan hal pertama yang bisa dianalisis. Konsep kekuasaan Jawa yang diungkapkan Ben Anderson salah satunya adalah Kekuasaan di alam semesta selalu tetap.
Kejatuhan Soekarno secara tidak langsung memperlemah legitimasinya terhadap rakyat Indonesia sehingga kepercayaan akan dirinya menurun kemudian. Dalam konsep Jawa, ini berarti kekuasaan alam semesta sedang berkurang.
Untuk membuatnya selalu bersifat tetap, maka diperlukan kekuasaan baru yang bisa menyeimbangkan jumlah kekuasaan di alam semesta. Karena itulah naiklah Soeharto menjadi presiden. Keseimbangan kekuasaan ini yang terus dijaga oleh Soeharto selama 32 tahun masa jabatannya.
Foto: Dinny Mutiah/Arsip Cendana
Soeharto dikenal dengan kediktatoran selama memimpin Indonesia. Tentunya ini bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Dalam konsep kekuasaan yang diungkapkan oleh Ben Anderson kekuasaan bersifat homogen, homogen di sini berarti semua kekuasaan ada di tangan satu individu dan tidak dibagi-bagi.
Selama 32 tahun Soeharto menjabat, dia merupakan titik sentral kekuasaan Orde Baru. Walaupun ada badan legislatif dan yudikatif yang seharusnya melakukan mekanisme check and balance, tetapi keduanya dapat diredam oleh Soeharto dan menjadikannya sosok superpower saat era Orde Baru.
Sehingga dalam penerapannya, Soeharto beranggapan bahwa homogen tidak selalu berarti bahwa kekuasaan tersebut harus disimbolkan oleh satu individu seorang seperti raja, tapi agar dapat menyelaraskannya dengan konsep demokrasi harus dilakukan sedikit distorsi. Prinsip demokrasi tetap dijalankan agar tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, tapi legitimasi semua lembaga tetap berada di tangan dirinya.
Bagi para aktivis penggiat HAM, Orde Baru merupakan periode yang paling kelam dalam sejarah bangsa ini pascakemerdekaan. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 10 pelanggaran HAM yang melibatkan Soeharto.
Seorang Soeharto yang saat itu seorang presiden seakan tidak peduli bagaimana cara dia mempertahankan kekuasaan. Entah menggunakan cara kekerasan, bertentangan dengan hukum, atau menghilangkan lawan politiknya.
Hal ini sejalan dengan konsep kekuasaan Jawa yang diberikan Ben Anderson, tepatnya pada poin empat yaitu Kekuasaan Tidak Mempersoalkan Keabsahan. Dalam pandangan konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan lebih dahulu ada daripada persoalan baik dan buruk ataupun moral, sehingga dalam memperoleh dan mempertahankannya mengesampingkan sisi moralitas.
Foto: Okezone
Salah satu dari enam tuntutan reformasi 1998 adalah desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah. Selama masa Orde Baru, Indonesia berada dalam pola kekuasaan sentralisasi, walaupun keluar UU No, 5 tahun 1974 mengenai Pemerintahan Daerah, tetapi sistem pemerintahan yang berjalan cenderung sentralistik.
Dalam konsep politik Jawa tradisional, dikenal sebuah model penyebaran kekuasaan politik yang bernama Mandala. Mandala berarti lingkaran, model penyebaran kekuasaan ini sangat berorientasi kepada pusat (centripetality). Pemetaan pengaruh kekuasaan bukan ditentukan oleh batas wilayah melainkan dari pusat sehingga semakin jauh dari pusat, pengaruh kekuasaannya semakin lemah.
Konsep Mandala ini sangat sejalan dengan sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru. Soeharto sebagai presiden sangat mengatur kehidupan masyarakat di daerah bahkan hingga pembangunan dilakukan atas perencanaan berskala nasional.
Sedangkan daerah yang jauh dari titik pusat (ibu kota Jakarta) sangat terbengkalai. Pembangunan di daerah timur seperti Papua pada masa Orde Baru sangat jarang dilakukan sehingga legitimasi kekuasaan Soeharto di Papua pun sangat lemah.
Sebagai seorang yang berlatarbelakang budaya Jawa, banyak sekali kebijakan serta pemikiran Soeharto yang berlandaskan nilai-nilai tersebut ketika memerintah. Jika dianalisis secara eksternal, pemikiran Soeharto dengan konsep politik dan kekuasaan tradisionalisme Jawa banyak sekali bersifat linear.
Empat konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan, pandangan tradisional Jawa, dan konsep Mandala menjadi peran penting dalam langgengnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun.
Anugerah Pagiyan Nurfajar
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @tutup_botol15
Soeharto lahir di daerah Kemusuk, sekarang berada di daerah provinsi Yogyakarta. Semenjak kecil, dia telah tinggal dan ditempa oleh budaya Jawa.
Berlatarbelakang etnis Jawa dan tinggal di daerah yang saat itu masih kental dengan budaya Jawa menyebabkan sedikit banyak pemikiran Soeharto terkonstruksi dengan budaya Jawa. Bisa dibilang, kepemimpinannya kental sekali dengan budaya Jawa.
Dalam konsep politik tradisional Jawa, dikenal sesuatu yang bernama Macrocosmos dan Microcosmos.
Macrocosmos dalam bahasa Jawa disebut dengan Jagad Gedhe/Bhuwana Agung atau alam semesta yang diatur oleh kekuasaan supranatural dan memiliki tatanan sendiri. Alam semesta ini dipimpin oleh kekuatan yang adiluhur yaitu dewa-dewa sembahan manusia Bumi.
Sedangkan Microcosmos dalam bahasa Jawa berarti Jagad Cilik/Bhuwana Alit atau muka bumi alam dunia yang lebih rendah dari alam semesta. Bhuwana Alit dipimpin oleh seorang penguasa yang bernama raja. Penguasa harus menjamin kemakmuran dan keamanan rakyatnya, sementara rakyatnya harus tunduk dan mengikuti perintah penguasa untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Foto: Istimewa
Sejarawan dan pakar politik dunia, Ben Anderson, mengungkapkan bahwa ada empat pokok konsep kekuasaan Jawa, yaitu, pertama, kekuasaan itu konkret, kekuasaan itu ada bukan hanya anggapan teoritis melainkan suatu realitas yang benar-benar ada.
Kedua, kekuasaan itu homogen, dalam konsep ini beranggapan bahwa kekuasaan hanya ada di tangan satu individu atau satu kelompok. Ketiga, jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap, konsep ini dalam teori politik menimbulkan konsekuensi yaitu terpusatnya kekuasaan pada satu orang menyebabkan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain agar jumlahnya sebanding.
Terakhir atau keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan, karena kekuasaan bersumber dari sesuatu yang tunggal, maka kekuasaan itu sendiri lebih dulu ada daripada masalah baik dan buruk sehingga tidak mempersoalkan memperoleh kekuasaan tersebut dari mana dan dengan cara apa.
Selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden Indonesia, dengan sisi personalitasnya sebagai yang beretnis Jawa, dapat dianalisis beberapa pemikiran, kebijakan dan perilaku Soeharto yang relevan dengan pemikiran politik tradisional Jawa.
Peristiwa kejatuhan Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto melalui Supersemar merupakan hal pertama yang bisa dianalisis. Konsep kekuasaan Jawa yang diungkapkan Ben Anderson salah satunya adalah Kekuasaan di alam semesta selalu tetap.
Kejatuhan Soekarno secara tidak langsung memperlemah legitimasinya terhadap rakyat Indonesia sehingga kepercayaan akan dirinya menurun kemudian. Dalam konsep Jawa, ini berarti kekuasaan alam semesta sedang berkurang.
Untuk membuatnya selalu bersifat tetap, maka diperlukan kekuasaan baru yang bisa menyeimbangkan jumlah kekuasaan di alam semesta. Karena itulah naiklah Soeharto menjadi presiden. Keseimbangan kekuasaan ini yang terus dijaga oleh Soeharto selama 32 tahun masa jabatannya.
Foto: Dinny Mutiah/Arsip Cendana
Soeharto dikenal dengan kediktatoran selama memimpin Indonesia. Tentunya ini bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Dalam konsep kekuasaan yang diungkapkan oleh Ben Anderson kekuasaan bersifat homogen, homogen di sini berarti semua kekuasaan ada di tangan satu individu dan tidak dibagi-bagi.
Selama 32 tahun Soeharto menjabat, dia merupakan titik sentral kekuasaan Orde Baru. Walaupun ada badan legislatif dan yudikatif yang seharusnya melakukan mekanisme check and balance, tetapi keduanya dapat diredam oleh Soeharto dan menjadikannya sosok superpower saat era Orde Baru.
Sehingga dalam penerapannya, Soeharto beranggapan bahwa homogen tidak selalu berarti bahwa kekuasaan tersebut harus disimbolkan oleh satu individu seorang seperti raja, tapi agar dapat menyelaraskannya dengan konsep demokrasi harus dilakukan sedikit distorsi. Prinsip demokrasi tetap dijalankan agar tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, tapi legitimasi semua lembaga tetap berada di tangan dirinya.
Bagi para aktivis penggiat HAM, Orde Baru merupakan periode yang paling kelam dalam sejarah bangsa ini pascakemerdekaan. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 10 pelanggaran HAM yang melibatkan Soeharto.
Seorang Soeharto yang saat itu seorang presiden seakan tidak peduli bagaimana cara dia mempertahankan kekuasaan. Entah menggunakan cara kekerasan, bertentangan dengan hukum, atau menghilangkan lawan politiknya.
Hal ini sejalan dengan konsep kekuasaan Jawa yang diberikan Ben Anderson, tepatnya pada poin empat yaitu Kekuasaan Tidak Mempersoalkan Keabsahan. Dalam pandangan konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan lebih dahulu ada daripada persoalan baik dan buruk ataupun moral, sehingga dalam memperoleh dan mempertahankannya mengesampingkan sisi moralitas.
Foto: Okezone
Salah satu dari enam tuntutan reformasi 1998 adalah desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah. Selama masa Orde Baru, Indonesia berada dalam pola kekuasaan sentralisasi, walaupun keluar UU No, 5 tahun 1974 mengenai Pemerintahan Daerah, tetapi sistem pemerintahan yang berjalan cenderung sentralistik.
Dalam konsep politik Jawa tradisional, dikenal sebuah model penyebaran kekuasaan politik yang bernama Mandala. Mandala berarti lingkaran, model penyebaran kekuasaan ini sangat berorientasi kepada pusat (centripetality). Pemetaan pengaruh kekuasaan bukan ditentukan oleh batas wilayah melainkan dari pusat sehingga semakin jauh dari pusat, pengaruh kekuasaannya semakin lemah.
Konsep Mandala ini sangat sejalan dengan sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru. Soeharto sebagai presiden sangat mengatur kehidupan masyarakat di daerah bahkan hingga pembangunan dilakukan atas perencanaan berskala nasional.
Sedangkan daerah yang jauh dari titik pusat (ibu kota Jakarta) sangat terbengkalai. Pembangunan di daerah timur seperti Papua pada masa Orde Baru sangat jarang dilakukan sehingga legitimasi kekuasaan Soeharto di Papua pun sangat lemah.
Sebagai seorang yang berlatarbelakang budaya Jawa, banyak sekali kebijakan serta pemikiran Soeharto yang berlandaskan nilai-nilai tersebut ketika memerintah. Jika dianalisis secara eksternal, pemikiran Soeharto dengan konsep politik dan kekuasaan tradisionalisme Jawa banyak sekali bersifat linear.
Empat konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan, pandangan tradisional Jawa, dan konsep Mandala menjadi peran penting dalam langgengnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun.
Anugerah Pagiyan Nurfajar
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @tutup_botol15
(her)