Anak Rantau Pakai bahasa Lo-Gue, Gak Masalah!
A
A
A
Kebanyakan dari kalian pasti punya teman kampus atau teman kerja yang berasal dari luar daerah, kan? Kalau kamu perhatiin, gimana gaya bahasa mereka?
Keberadaan anak yang berasal dari luar daerah atau anak rantau di lingkungan kampus bisa mendatangkan fenomena tersendiri.
Saat bergaul, anak rantau bakal membawa instrumen bahasa daerah dengan logatnya, yang lalu ketemu mayoritas anak dengan bahasa setempat. Udah pasti, ini menimbulkan persinggungan bahasa.
Buat si anak rantau, dia bisa aja mencampur-campur bahasa dalam percakapannya sehari-hari. Atau bisa juga, dia malah ikut arus, mengikuti gaya bahasa mayoritas di lingkungan pergaulannya.
Foto: Thinkstock
Kalau konteksnya terjadi di lingkungan perkotaan, maka gak asing buat kita mendengar anak rantau yang memilih untuk ngomong 'lo-gue', daripada 'kamu-aku' sebagai kata ganti orang kedua dan pertama.
Di dalam ilmu linguistik, fenomena semacam ini adalah hal yang biasa. Fenomena seperti ini disebut dengan code switching dan code mixing.
Menurut Janet Holmes dalam bukunya yang berjudul "An Introduction to Sociolinguistics", code switching dan code mixing bisa terjadi karena mengikuti situasi sosial atau wilayah dari lakon tindak tutur.
Lebih jauh, Holmes menjelaskan bahwa code switching dan code mixing bisa digunakan sebagai sinyal untuk memberitahu bahwa penutur adalah bagian dari grup atau etnis yang sama dengan lawan tuturnya. Bisa juga karena tujuan solidaritas antara penutur dengan lawan tuturnya.
Foto: Freepik
Hal tersebut dikarenakan code switching dan code mixing pada dasarnya dipicu oleh adanya unsur identitas dan relasi atau hubungan antara penutur dan lawan tutur.
Selain itu, code switching dan code mixing ternyata juga bisa digunakan untuk mencegah lawan tutur menggunakan suatu bahasa, dan mengikuti bahasa si penutur.
Contoh kasusnya adalah seperti yang terjadi di Suriname, penutur bahasa Pamaka (suatu daerah di Suriname) akan cenderung dialihkan bahasanya menjadi Sranan Tongo (bahasa masyarakat urban Suriname) dikarenakan Sranan Tongo dianggap lebih modern daripada bahasa Pamaka.
Ngomong-ngomong tentang pengalihan bahasa, menurut Rene Appel dan Pieter Muysken dalam bukunya yang berjudul "Language Contact and Bilingualism", pengalihan bahasa (code switching) bisa ditemukan dalam tiga macam bentuk berdasarkan letaknya, yakni intra-sentential switches, inter-sentential switches, dan tag switches.
Intra-sentential switches terjadi di tengah-tengah sebuah kalimat. Ini disebut juga dengan istilah code mixing.
Foto:Sveta Sobolev
Sementara inter-sentential switches terjadi di antara satu kalimat dengan kalimat lainnya (pengalihan bahasa antarkalimat). Sedangkan tag switches secara khusus meliputi kata seruan atau jenis kata penanda dalam bahasa lain yang disisipkan baik di awal atau di akhir kalimat.
Nah, sebenarnya, bahasa Jaksel yang suka mencampur-campurkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa gaul, juga gak jauh-jauh dari teori ini.
Dalam praktiknya, code switching dan code mixing ketika sudah melebur dalam dialog antar-individu atau kelompok, keberadaannya akan sulit untuk dapat dibedakan lagi mana yang termasuk code switching dan mana yang code mixing.
Jadi intinya, perilaku adaptif yang dilakukan oleh anak rantau dalam berbahasa itu sangat dimaklumi dalam dunia linguistik. Code switching dan code mixing dilakukan karena melihat lingkungan sosial tempat mereka berada. Pakai 'kamu-aku' atau 'lo-gue' bukan perkara yang besar, kan?
Muniha Addin M.
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
Keberadaan anak yang berasal dari luar daerah atau anak rantau di lingkungan kampus bisa mendatangkan fenomena tersendiri.
Saat bergaul, anak rantau bakal membawa instrumen bahasa daerah dengan logatnya, yang lalu ketemu mayoritas anak dengan bahasa setempat. Udah pasti, ini menimbulkan persinggungan bahasa.
Buat si anak rantau, dia bisa aja mencampur-campur bahasa dalam percakapannya sehari-hari. Atau bisa juga, dia malah ikut arus, mengikuti gaya bahasa mayoritas di lingkungan pergaulannya.
Foto: Thinkstock
Kalau konteksnya terjadi di lingkungan perkotaan, maka gak asing buat kita mendengar anak rantau yang memilih untuk ngomong 'lo-gue', daripada 'kamu-aku' sebagai kata ganti orang kedua dan pertama.
Di dalam ilmu linguistik, fenomena semacam ini adalah hal yang biasa. Fenomena seperti ini disebut dengan code switching dan code mixing.
Menurut Janet Holmes dalam bukunya yang berjudul "An Introduction to Sociolinguistics", code switching dan code mixing bisa terjadi karena mengikuti situasi sosial atau wilayah dari lakon tindak tutur.
Lebih jauh, Holmes menjelaskan bahwa code switching dan code mixing bisa digunakan sebagai sinyal untuk memberitahu bahwa penutur adalah bagian dari grup atau etnis yang sama dengan lawan tuturnya. Bisa juga karena tujuan solidaritas antara penutur dengan lawan tuturnya.
Foto: Freepik
Hal tersebut dikarenakan code switching dan code mixing pada dasarnya dipicu oleh adanya unsur identitas dan relasi atau hubungan antara penutur dan lawan tutur.
Selain itu, code switching dan code mixing ternyata juga bisa digunakan untuk mencegah lawan tutur menggunakan suatu bahasa, dan mengikuti bahasa si penutur.
Contoh kasusnya adalah seperti yang terjadi di Suriname, penutur bahasa Pamaka (suatu daerah di Suriname) akan cenderung dialihkan bahasanya menjadi Sranan Tongo (bahasa masyarakat urban Suriname) dikarenakan Sranan Tongo dianggap lebih modern daripada bahasa Pamaka.
Ngomong-ngomong tentang pengalihan bahasa, menurut Rene Appel dan Pieter Muysken dalam bukunya yang berjudul "Language Contact and Bilingualism", pengalihan bahasa (code switching) bisa ditemukan dalam tiga macam bentuk berdasarkan letaknya, yakni intra-sentential switches, inter-sentential switches, dan tag switches.
Intra-sentential switches terjadi di tengah-tengah sebuah kalimat. Ini disebut juga dengan istilah code mixing.
Foto:Sveta Sobolev
Sementara inter-sentential switches terjadi di antara satu kalimat dengan kalimat lainnya (pengalihan bahasa antarkalimat). Sedangkan tag switches secara khusus meliputi kata seruan atau jenis kata penanda dalam bahasa lain yang disisipkan baik di awal atau di akhir kalimat.
Nah, sebenarnya, bahasa Jaksel yang suka mencampur-campurkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa gaul, juga gak jauh-jauh dari teori ini.
Dalam praktiknya, code switching dan code mixing ketika sudah melebur dalam dialog antar-individu atau kelompok, keberadaannya akan sulit untuk dapat dibedakan lagi mana yang termasuk code switching dan mana yang code mixing.
Jadi intinya, perilaku adaptif yang dilakukan oleh anak rantau dalam berbahasa itu sangat dimaklumi dalam dunia linguistik. Code switching dan code mixing dilakukan karena melihat lingkungan sosial tempat mereka berada. Pakai 'kamu-aku' atau 'lo-gue' bukan perkara yang besar, kan?
Muniha Addin M.
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
(her)