CERMIN: Kebangkitan Genre Superhero Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1954. Ayah saya baru berusia empat tahun dan Indonesia telah melahirkan superhero pertamanya, Sri Asih.
Sri Asih diperkenalkan pertama kali melalui komik besutan R.A. Kosasih terbitan Penerbit Melodie, Bandung. Karena dianggap cukup sukses, setahun berikutnya komik tersebut diadaptasi menjadi film yang digarap duo sutradara, Turino Djunaidy dan Tan Sing Hwat dan menampilkan Mimi Mariani sebagai Sri Asih.
Sri Asih menjadi perintis dalam banyak hal. Ia menjadi salah satu superhero pertama sekaligus superhero perempuan pertama di Indonesia. Karenanya sangat wajar Bumilangit Universe memberi tempat terhormat kepada sosok ini menjadi superhero kedua yang tampil setelah Gundala.
Genre superhero tidak cukup banyak diproduksi di Indonesia karena alasan yang jelas: tidak cukup banyak investor yang cukup gila membenamkan puluhan miliar ke dalam sebuah film. Meski untuk alasan nasionalisme sekalipun.
Foto: Screenplay Bumilangit
Terakhir kalinya genre superhero cukup banyak tampil di bioskop sekitar 30-40 tahun lalu. Dalam periode 1970-1980-an cukup banyak film bergenre action superhero yang diproduksi. Sebutlah di antaranya Rama: Superman Indonesia(1974), Darna Ajaib(1980), dan Gundala Putra Petir(1981).
Karena itulah ketika sejumlah perintis dalam perfilman Indonesia kembali muncul untuk menyemarakkan genre superhero, tentu saja perlu didukung. Tanpa alasan apa pun. Kita melihat sejumlah jagat/universe bermunculan dan tentunya menggairahkan. Salah satunya jagat Bumilangit.
Kemunculan perdana Gundala pada 2019 yang membukukan hampir 1,7 juta penonton tentunya membawa angin segar. Bahwa penonton bioskop di Indonesia sudah siap dengan kebangkitan kembali genre superhero.
Berselang tiga tahun setelahnya, kita menyaksikan Sri Asih. Sebuah film yang belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Gundaladan memperbaikinya dengan baik. Di tangan Upi, Sri Asihmenjadi film yang komplet, tampil cukup meyakinkan secara penceritaan, mewah secara gambar, dan sama sekali tak mengecewakan dari sisi teknis/spesial efek.
Foto: Screenplay Bumilangit
Saya membayangkan bagaimana Joko Anwar dan Upi bersiasat membentuk penceritaan film kedua dari jagat Bumilangit ini. Seperti saya yang tak membaca komiknya, kita bisa dibuat sangat mudah mengerti bagaimana masa kecil Alana, bagaimana ia mendapatkan kekuatannya, bagaimana ia bertransformasi menjadi Sri Asih dan tentu saja bagaimana ia bangkit melawan kekuatan roh jahat. Jenis cerita yang sangat mudah dikunyah bahkan untuk kedua anak perempuan saya yang berusia 9 dan 12 tahun.
Sebagaimana seisi dunia merayakan female empowerment, Sri Asih meletakkan filosofi itu tanpa perlu banyak berceramah, sok filosofis, bahkan melarutkan diri dalam dialog-dialog cerewet. Hanya saja mungkin untuk penonton dewasa seperti saya, dialog-dialognya kadang terlampau sederhana, sesekali terdengar tanpa isi.
Baca Juga: CERMIN: Pertikaian Gatotkaca dan Ayahnya
Tapi jika mencoba mengingat imajinasi saya soal bagaimana siasat Joko dan Upi, saya bisa jadi memahami langkah yang diambil ini. Sebuah langkah strategis yang harus diambil agar Sri Asihbisa dikunyah oleh selebar mungkin demografi penonton.
Jadinya memang Sri Asihadalah tontonan yang menghibur. Tak perlu mengerutkan kening untuk memahaminya, tak perlu bersusah payah untuk mencari-cari makna secara filosofis, tak perlu sok mencari-cari teori konspirasi untuk membongkarnya. Nikmati ia sebagai tontonan dan kamu akan terhibur dengan baik karenanya.
Saya kira anak-anak perempuan seperti kedua anak saya akan sangat girang melihat sosok superhero perempuan tangguh di layar sebesar bioskop. Yang berani bilang, “kalau ada yang menganggu kamu, lawan!”, yang tak gentar menghadapi petarung laki-laki di ring tinju, yang merasa terusik ketika ibunya diganggu dan memutuskan untuk bertarung habis-habisan.
Foto: Screenplay Bumilangit
Mungkin beberapa lama setelah film ini dirilis bakal ada kajian gender tentang Sri Asihdan membongkar semiotika atau hal-hal yang ditebarkan secara halus di sepanjang filmnya. Tapi kemenangan terbesar Sri Asih mungkin bukan untuk dibicarakan secara ilmiah tapi bagaimana perintis film ini berjuang mewujudkan film dengan presentasi spesial efek terbaik dari film Indonesia yang pernah kita lihat di bioskop.
Film bergenre superhero seperti Sri Asih tidak hanya perlu dukungan bintang-bintang besar seperti Pevita Pearce, Surya Saputra, Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo hingga Christine Hakim. Tapi ia juga butuh dukungan kita, baik sebagai sesama pembuat film maupun sebagai penonton.
Baca Juga: Review Film The Menu: Jamuan Makan Mewah yang Menyesatkan
Sri Asih diperkenalkan pertama kali melalui komik besutan R.A. Kosasih terbitan Penerbit Melodie, Bandung. Karena dianggap cukup sukses, setahun berikutnya komik tersebut diadaptasi menjadi film yang digarap duo sutradara, Turino Djunaidy dan Tan Sing Hwat dan menampilkan Mimi Mariani sebagai Sri Asih.
Sri Asih menjadi perintis dalam banyak hal. Ia menjadi salah satu superhero pertama sekaligus superhero perempuan pertama di Indonesia. Karenanya sangat wajar Bumilangit Universe memberi tempat terhormat kepada sosok ini menjadi superhero kedua yang tampil setelah Gundala.
Genre superhero tidak cukup banyak diproduksi di Indonesia karena alasan yang jelas: tidak cukup banyak investor yang cukup gila membenamkan puluhan miliar ke dalam sebuah film. Meski untuk alasan nasionalisme sekalipun.
Foto: Screenplay Bumilangit
Terakhir kalinya genre superhero cukup banyak tampil di bioskop sekitar 30-40 tahun lalu. Dalam periode 1970-1980-an cukup banyak film bergenre action superhero yang diproduksi. Sebutlah di antaranya Rama: Superman Indonesia(1974), Darna Ajaib(1980), dan Gundala Putra Petir(1981).
Karena itulah ketika sejumlah perintis dalam perfilman Indonesia kembali muncul untuk menyemarakkan genre superhero, tentu saja perlu didukung. Tanpa alasan apa pun. Kita melihat sejumlah jagat/universe bermunculan dan tentunya menggairahkan. Salah satunya jagat Bumilangit.
Kemunculan perdana Gundala pada 2019 yang membukukan hampir 1,7 juta penonton tentunya membawa angin segar. Bahwa penonton bioskop di Indonesia sudah siap dengan kebangkitan kembali genre superhero.
Berselang tiga tahun setelahnya, kita menyaksikan Sri Asih. Sebuah film yang belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Gundaladan memperbaikinya dengan baik. Di tangan Upi, Sri Asihmenjadi film yang komplet, tampil cukup meyakinkan secara penceritaan, mewah secara gambar, dan sama sekali tak mengecewakan dari sisi teknis/spesial efek.
Foto: Screenplay Bumilangit
Saya membayangkan bagaimana Joko Anwar dan Upi bersiasat membentuk penceritaan film kedua dari jagat Bumilangit ini. Seperti saya yang tak membaca komiknya, kita bisa dibuat sangat mudah mengerti bagaimana masa kecil Alana, bagaimana ia mendapatkan kekuatannya, bagaimana ia bertransformasi menjadi Sri Asih dan tentu saja bagaimana ia bangkit melawan kekuatan roh jahat. Jenis cerita yang sangat mudah dikunyah bahkan untuk kedua anak perempuan saya yang berusia 9 dan 12 tahun.
Sebagaimana seisi dunia merayakan female empowerment, Sri Asih meletakkan filosofi itu tanpa perlu banyak berceramah, sok filosofis, bahkan melarutkan diri dalam dialog-dialog cerewet. Hanya saja mungkin untuk penonton dewasa seperti saya, dialog-dialognya kadang terlampau sederhana, sesekali terdengar tanpa isi.
Baca Juga: CERMIN: Pertikaian Gatotkaca dan Ayahnya
Tapi jika mencoba mengingat imajinasi saya soal bagaimana siasat Joko dan Upi, saya bisa jadi memahami langkah yang diambil ini. Sebuah langkah strategis yang harus diambil agar Sri Asihbisa dikunyah oleh selebar mungkin demografi penonton.
Jadinya memang Sri Asihadalah tontonan yang menghibur. Tak perlu mengerutkan kening untuk memahaminya, tak perlu bersusah payah untuk mencari-cari makna secara filosofis, tak perlu sok mencari-cari teori konspirasi untuk membongkarnya. Nikmati ia sebagai tontonan dan kamu akan terhibur dengan baik karenanya.
Saya kira anak-anak perempuan seperti kedua anak saya akan sangat girang melihat sosok superhero perempuan tangguh di layar sebesar bioskop. Yang berani bilang, “kalau ada yang menganggu kamu, lawan!”, yang tak gentar menghadapi petarung laki-laki di ring tinju, yang merasa terusik ketika ibunya diganggu dan memutuskan untuk bertarung habis-habisan.
Foto: Screenplay Bumilangit
Mungkin beberapa lama setelah film ini dirilis bakal ada kajian gender tentang Sri Asihdan membongkar semiotika atau hal-hal yang ditebarkan secara halus di sepanjang filmnya. Tapi kemenangan terbesar Sri Asih mungkin bukan untuk dibicarakan secara ilmiah tapi bagaimana perintis film ini berjuang mewujudkan film dengan presentasi spesial efek terbaik dari film Indonesia yang pernah kita lihat di bioskop.
Film bergenre superhero seperti Sri Asih tidak hanya perlu dukungan bintang-bintang besar seperti Pevita Pearce, Surya Saputra, Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo hingga Christine Hakim. Tapi ia juga butuh dukungan kita, baik sebagai sesama pembuat film maupun sebagai penonton.
Baca Juga: Review Film The Menu: Jamuan Makan Mewah yang Menyesatkan