CERMIN: Apa yang Kau Cari, Sophie?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2000. Di tengah suntuk jadwal dan tugas kuliah di Fakultas Kedokteran, saya berkenalan dengan Christopher Nolan.
Mementoadalah film yang memperkenalkan saya dengan Nolan. Film ini adalah mahakaryanya jauh sebelum era dwilogi Batman yang brilian. Kita akan berkenalan dengan Nolan yang sepertinya punya obsesi tertentu tentang waktu, seperti yang sudah diperlihatkannya dalam Interceptionhingga Tenet. Bagi Nolan, waktu adalah misteri.
Dari Mementosaya tahu bahwa film tak hanya bisa diceritakan melalui plot maju. Ia juga bisa dibikin berselang-seling antara alur maju dan alur mundur. Pertanyaannya bukan cuma soal “apa yang akan terjadi selanjutnya” tapi juga tentang “apa yang terjadi sebelumnya”.
Dan memang perlu kegeniusan untuk merangkai adegan demi adegan sehingga penonton tak kehilangan arah dalam mengikuti arah ceritanya. Waktu menjadi kunci penting untuk mengenali jejak demi jejak yang berceceran sepanjang durasi film.
Pasca-Memento, kita pun semakin familier dengan cara penceritaan semacam ini. Seperti ketika mengikuti serial Surfaceyang tayang di Apple TV. Kita akan berkenalan dengan Sophie, karakter utama yang diceritakan melakukan upaya bunuh diri yang gagal.
Foto: Apple TV
Di balik penampilannya yang nyaris sempurna, Sophie menyimpan luka dan trauma. Juga sesuatu yang tiba-tiba menghilang dari benaknya: masa lalu.
Bagi sebagian orang, masa lalu adalah hantu. Sesuatu yang sering menakutkan ketika bermunculan kembali, sesuatu yang mengagetkan ketika kita harus kembali berhadapan dengannya. Sebagiannya lagi menganggap masa lalu adalah kenangan manis.
Yang bisa dimampatkan dalam lembar foto demi foto, juga bisa diingat sembari tersenyum dalam gambar-gambar video.
Tapi bagi Sophie, masa lalu tak ada. Ia tiba-tiba hilang lenyap. Masa lalu hanya muncul berupa ribuan piksel tak jelas, yang menunggunya untuk menggabungkannya satu persatu dengan sabar.
Bagi Hannah, psikiater Sophie, tak punya masa lalu mungkin bisa jadi berkah. Tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya. Bisa saja kita beranggapan demikian, tapi bukankah menakutkan jika kita tak bisa membayangkan masa lalu?
Ada 1001 kemungkinan tentang masa lalu kita yang bisa menyerang kita kapan saja. Bagaimana jika pada masa lalu, kita adalah seseorang dengan perilaku buruk? Bagaimana jikapada masa lalu, kita justru adalah karakter antagonis dalam cerita kita sendiri?
Foto: Apple TV
Saya ingat sebuah film yang tak kalah uniknya, Eternal Sunshine of the Spotless Minds. Dikisahkan Clem yang sakit hati dengan mantan kekasihnya, Joel, melakukan tindakan radikal: menghapus semua memori tentang mantan dan akhirnya tak mengenalinya sama sekali. Bagi Clem, masa lalu tentang seorang adalah kabar buruk dan ia punya pilihan untuk menghilangkannya sama sekali.
Tapi Sophie berbeda. Ia penasaran dengan masa lalunya. Bayangan samar-samar justru memberinya rasa penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku sebelumnya?” mungkin begitu tanya yang terus bergaung di benaknya.
Baca Juga: CERMIN: Drama Sambo di Tangan Charles, Oliver, dan Mabel
Benarkah ia ingin bunuh diri di tengah kehidupan yang tampak sempurna yang dijalaninya? Apakah tak mungkin jika ia dijebak untuk melakukan upaya bunuh diri? Dan 1001 pertanyaan terus bermunculan di benak Sophie dan di benak kita semua sebagai penonton.
Bagi sebagian orang, kenangan masa lalu mulai tampak samar. Beberapa di antaranya berupa potongan demi potongan yang menunggu untuk direkatkan. Beberapa kenangan masa lalu yang buruk bisa jadi mencuat dan kita terkesan bagaimana cara kerja otak menyembunyikannya selama ini.
Sementara otak kita bekerja dengan lebih banyak memunculkan kenangan manis. Apakah bawah sadar kita memang selalu menginginkan untuk menyembunyikan luka dan trauma?
Foto: Apple TV
Luka, trauma, dan masa lalu. Ketiganya berpilin dan tak mencoba menjadi lebih dominan satu dengan yang lain. Ketiganya membentuk diri kita seperti sekarang. Luka terasa perih jika terus menerus dikorek dan kita akan tiba di satu titik saat akhirnya kita berdamai dengannya.
Sementara trauma pun akan terus menyelinap dalam mimpi buruk kita hingga kita memutuskan untuk menghadapinya. Semuanya ada pada masa lalu dan sudah berlalu. Kita hidup pada masa kini dan punya pilihan tentang cara kita memperlakukan masa lalu.
Dalam hidup kita akan bertemu Clem dan Sophie. Dua perempuan dengan luka dan traumanya masing-masing. Dan kita akan belajar dari keduanya tentang cara mereka menghadapinya.
Baca Juga: 8 Drama Korea yang Bikin Menguras Air Mata, Tayang di Netflix
Cara yang sangat berbeda satu sama lain ini akan membuat kita bisa mengambil keputusan yang tepat ketika berhadapan dengan masa lalu yang buruk. Juga terutama ketika luka dan trauma itu terbuka dan menunjukkan pada kita bahwa tak selamanya kita adalah korban, mungkin kita justru pelaku pada masa lalu.
Apapun, yang bisa kita lakukan saat ini mungkin hanyalah memaafkan.
SURFACE
Produser: Jim O’Grady
Sutradara: Sam Miller, Kevin Rodney Sullivan, Tucker Gates, Jennifer Morrison
Penulis Skenario: Leigh Ann Biety, Raven Jackson, Glenise Mullins, Veronica West, Dan Lee West, Erica L. Anderson, Tony Saltzman, Martin Zimmerman
Pemain: Gugu Mbatha-Raw, Oliver Jackson-Cohen, Ari Graynor
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Mementoadalah film yang memperkenalkan saya dengan Nolan. Film ini adalah mahakaryanya jauh sebelum era dwilogi Batman yang brilian. Kita akan berkenalan dengan Nolan yang sepertinya punya obsesi tertentu tentang waktu, seperti yang sudah diperlihatkannya dalam Interceptionhingga Tenet. Bagi Nolan, waktu adalah misteri.
Dari Mementosaya tahu bahwa film tak hanya bisa diceritakan melalui plot maju. Ia juga bisa dibikin berselang-seling antara alur maju dan alur mundur. Pertanyaannya bukan cuma soal “apa yang akan terjadi selanjutnya” tapi juga tentang “apa yang terjadi sebelumnya”.
Dan memang perlu kegeniusan untuk merangkai adegan demi adegan sehingga penonton tak kehilangan arah dalam mengikuti arah ceritanya. Waktu menjadi kunci penting untuk mengenali jejak demi jejak yang berceceran sepanjang durasi film.
Pasca-Memento, kita pun semakin familier dengan cara penceritaan semacam ini. Seperti ketika mengikuti serial Surfaceyang tayang di Apple TV. Kita akan berkenalan dengan Sophie, karakter utama yang diceritakan melakukan upaya bunuh diri yang gagal.
Foto: Apple TV
Di balik penampilannya yang nyaris sempurna, Sophie menyimpan luka dan trauma. Juga sesuatu yang tiba-tiba menghilang dari benaknya: masa lalu.
Bagi sebagian orang, masa lalu adalah hantu. Sesuatu yang sering menakutkan ketika bermunculan kembali, sesuatu yang mengagetkan ketika kita harus kembali berhadapan dengannya. Sebagiannya lagi menganggap masa lalu adalah kenangan manis.
Yang bisa dimampatkan dalam lembar foto demi foto, juga bisa diingat sembari tersenyum dalam gambar-gambar video.
Tapi bagi Sophie, masa lalu tak ada. Ia tiba-tiba hilang lenyap. Masa lalu hanya muncul berupa ribuan piksel tak jelas, yang menunggunya untuk menggabungkannya satu persatu dengan sabar.
Bagi Hannah, psikiater Sophie, tak punya masa lalu mungkin bisa jadi berkah. Tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya. Bisa saja kita beranggapan demikian, tapi bukankah menakutkan jika kita tak bisa membayangkan masa lalu?
Ada 1001 kemungkinan tentang masa lalu kita yang bisa menyerang kita kapan saja. Bagaimana jika pada masa lalu, kita adalah seseorang dengan perilaku buruk? Bagaimana jikapada masa lalu, kita justru adalah karakter antagonis dalam cerita kita sendiri?
Foto: Apple TV
Saya ingat sebuah film yang tak kalah uniknya, Eternal Sunshine of the Spotless Minds. Dikisahkan Clem yang sakit hati dengan mantan kekasihnya, Joel, melakukan tindakan radikal: menghapus semua memori tentang mantan dan akhirnya tak mengenalinya sama sekali. Bagi Clem, masa lalu tentang seorang adalah kabar buruk dan ia punya pilihan untuk menghilangkannya sama sekali.
Tapi Sophie berbeda. Ia penasaran dengan masa lalunya. Bayangan samar-samar justru memberinya rasa penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku sebelumnya?” mungkin begitu tanya yang terus bergaung di benaknya.
Baca Juga: CERMIN: Drama Sambo di Tangan Charles, Oliver, dan Mabel
Benarkah ia ingin bunuh diri di tengah kehidupan yang tampak sempurna yang dijalaninya? Apakah tak mungkin jika ia dijebak untuk melakukan upaya bunuh diri? Dan 1001 pertanyaan terus bermunculan di benak Sophie dan di benak kita semua sebagai penonton.
Bagi sebagian orang, kenangan masa lalu mulai tampak samar. Beberapa di antaranya berupa potongan demi potongan yang menunggu untuk direkatkan. Beberapa kenangan masa lalu yang buruk bisa jadi mencuat dan kita terkesan bagaimana cara kerja otak menyembunyikannya selama ini.
Sementara otak kita bekerja dengan lebih banyak memunculkan kenangan manis. Apakah bawah sadar kita memang selalu menginginkan untuk menyembunyikan luka dan trauma?
Foto: Apple TV
Luka, trauma, dan masa lalu. Ketiganya berpilin dan tak mencoba menjadi lebih dominan satu dengan yang lain. Ketiganya membentuk diri kita seperti sekarang. Luka terasa perih jika terus menerus dikorek dan kita akan tiba di satu titik saat akhirnya kita berdamai dengannya.
Sementara trauma pun akan terus menyelinap dalam mimpi buruk kita hingga kita memutuskan untuk menghadapinya. Semuanya ada pada masa lalu dan sudah berlalu. Kita hidup pada masa kini dan punya pilihan tentang cara kita memperlakukan masa lalu.
Dalam hidup kita akan bertemu Clem dan Sophie. Dua perempuan dengan luka dan traumanya masing-masing. Dan kita akan belajar dari keduanya tentang cara mereka menghadapinya.
Baca Juga: 8 Drama Korea yang Bikin Menguras Air Mata, Tayang di Netflix
Cara yang sangat berbeda satu sama lain ini akan membuat kita bisa mengambil keputusan yang tepat ketika berhadapan dengan masa lalu yang buruk. Juga terutama ketika luka dan trauma itu terbuka dan menunjukkan pada kita bahwa tak selamanya kita adalah korban, mungkin kita justru pelaku pada masa lalu.
Apapun, yang bisa kita lakukan saat ini mungkin hanyalah memaafkan.
SURFACE
Produser: Jim O’Grady
Sutradara: Sam Miller, Kevin Rodney Sullivan, Tucker Gates, Jennifer Morrison
Penulis Skenario: Leigh Ann Biety, Raven Jackson, Glenise Mullins, Veronica West, Dan Lee West, Erica L. Anderson, Tony Saltzman, Martin Zimmerman
Pemain: Gugu Mbatha-Raw, Oliver Jackson-Cohen, Ari Graynor
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
(ita)