Film Wish I Were Born From a Blanket, Jiwa Cilik Rapuh dalam Rumah Gaduh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kata legenda musik Elvis Presley, rumah adalah tempat hatimu berada. Namun, bagaimana jika bangunan yang begitu kokoh dengan atap yang rapat menaungi hidupmu, adalah tempat yang justru engkau selalu ingin pergi darinya?
Adalah Lala, seorang gadis cilik yang mendambakan hal sederhana: rumah yang penuh kasih. Hari-hari Lala dipenuhi dengan kegaduhan dari orang tua yang tak putus bertikai. Mulai dari urusan membuang sampah sampai kelalaian mengelola keuangan.
Bukan hanya doyan adu mulut, adegan terpisah saat Ayah menghina Ibu dengan kata “gendut” dan Ibu yang menegur Lala untuk mengutamakan keluarga saat besar nanti (secara tersirat menunjukkan ia tak suka sang suami yang dipandang kurang memperhatikan keluarga).
Dari kacamata Lala, gadis berusia 10 tahun ini, sebuah pertanyaan muncul dan menjadi inti perenungan siapa saja yang menyaksikan film pendek berdurasi delapan menit ini. “Di hotel itu enggak ada yang bertengkar, ya, Kek?”, tanya Lala mengingat sebuah pemandangan yang disaksikannya kala dia sedang ada di sebuah perjalanan. Satu keluarga tampak semringah penuh bahagia selesai menginap di sebuah hotel.
Foto: Genflix
Lucu sebenarnya, jika kelak Lala dewasa ia akan tahu bawa hotel adalah tempat pelarian dan persinggahan dari penatnya keseharian. Rumah adalah bangunan yang terpaksa terus berdiri demi bertahannya kehidupan sang penghuni.
Cerita dalam film yang tayang di Genflix dan dibuat oleh para sineas muda dari Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur ini begitu cerdas dan cermat mengamati sebuah kondisi keluarga yang lumrah kita temui di lingkungan sekitar. Diangkat dari sebuah kisah pendek dalam buku The Book of Imaginary Beliefs karya Lala Bohang, film ini semestinya menjadi tontonan wajib siapa saja yang tengah dimabuk asmara dan begitu naif berpikir bahwa menikah adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam kehidupan.
Orang tua Lala adalah simbol mereka yang belum tuntas dengan dirinya sendiri, tapi nekat memulai lembaran baru bernama keluarga. Percekcokan tiada ujung menunjukkan bahwa orang tua Lala menikah tanpa cukup bekal. Bukan bekal finansial belaka, tapi bagaimana mereka menyadari bahwa menjadi pasangan suami istri adalah mitra, bukan siapa yang paling berkuasa.
Baca Juga: Film A Matter of Moments: Kontemplasi dari Kumpulan Memori"
Ada perbedaan pandangan tentang peran domestik suami-istri, ayah-ibu di antara kedua orang tua Lala. Ditambah “urusan” yang belum selesai dalam kejiwaan, sebuah masalah baru muncul: “inner child” putri semata wayang mereka tumbuh dengan penuh kepiluan.
Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, Lala terlihat “kena mental” hingga jatuh sakit. Sebuah metafora ditampilkan bahwa pada titik itulah Lala yang sudah lelah, memutuskan untuk “pergi ke hotel”, menciptakan utopianya sendiri berupa rumah yang lebih ramah baginya.
Lala mendambakan menjadi anak dari selimut yang hangat dan mendekapnya penuh kasih sayang. Sesuatu yang tidak ia rasakan di rumah yang begitu besar dan dingin.
Foto: Genflix
Hubungan beracun mematikan siapa pun yang ada di dalamnya. Ungkapan “stay together for the kids” bagi pasutri yang terus menyakiti, tapi seolah enggan berpisah karena ingin anak mereka tidak menjadi anak "broken home” dengan pengasuhan terpisah, adalah sebuah fenomena konyol yang masih banyak terjadi di mana-mana. Berani keluar dan menyudahi lingkaran setan seperti yang dilakukan Lala sepatutnya dilakukan oleh Ayah dan Ibu.
“Broken home” tidak melulu tergambar dari anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal. Dua rumah jauh lebih baik dari satu medan perang. Anak berhak mendapatkan kasih sayang yang utuh dan tulus, dari orang-orang yang sudah damai dengan dirinya, terlepas apakah pengasuhan dilakukan di bawah satu atap atau tidak.
Baca Juga: 5 Drama Korea 2021 yang Paling Mengecewakan Penonton, ada yang Menghina Indonesia
Terlintas dalam benak, apakah Lala dewasa akan menjadi skeptis dengan pernikahan? Atau justru ia akan bertekad memiliki rumah tangga yang lebih baik dari orang tuanya?
Masyarakat dan lingkungan nantinya yang akan mengarahkan ke mana keputusan Lala bermuara. Stigma perceraian sebagai sebuah kenistaan adalah bom waktu yang membawa anak-anak yang terluka ini ke dalam kesesatan. Sebuah pekerjaan rumah besar bagi negeri yang penuh penghakiman dan standar moral yang tidak simpatik.
Winda Reds
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Adalah Lala, seorang gadis cilik yang mendambakan hal sederhana: rumah yang penuh kasih. Hari-hari Lala dipenuhi dengan kegaduhan dari orang tua yang tak putus bertikai. Mulai dari urusan membuang sampah sampai kelalaian mengelola keuangan.
Bukan hanya doyan adu mulut, adegan terpisah saat Ayah menghina Ibu dengan kata “gendut” dan Ibu yang menegur Lala untuk mengutamakan keluarga saat besar nanti (secara tersirat menunjukkan ia tak suka sang suami yang dipandang kurang memperhatikan keluarga).
Dari kacamata Lala, gadis berusia 10 tahun ini, sebuah pertanyaan muncul dan menjadi inti perenungan siapa saja yang menyaksikan film pendek berdurasi delapan menit ini. “Di hotel itu enggak ada yang bertengkar, ya, Kek?”, tanya Lala mengingat sebuah pemandangan yang disaksikannya kala dia sedang ada di sebuah perjalanan. Satu keluarga tampak semringah penuh bahagia selesai menginap di sebuah hotel.
Foto: Genflix
Lucu sebenarnya, jika kelak Lala dewasa ia akan tahu bawa hotel adalah tempat pelarian dan persinggahan dari penatnya keseharian. Rumah adalah bangunan yang terpaksa terus berdiri demi bertahannya kehidupan sang penghuni.
Cerita dalam film yang tayang di Genflix dan dibuat oleh para sineas muda dari Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur ini begitu cerdas dan cermat mengamati sebuah kondisi keluarga yang lumrah kita temui di lingkungan sekitar. Diangkat dari sebuah kisah pendek dalam buku The Book of Imaginary Beliefs karya Lala Bohang, film ini semestinya menjadi tontonan wajib siapa saja yang tengah dimabuk asmara dan begitu naif berpikir bahwa menikah adalah sebuah pencapaian tertinggi dalam kehidupan.
Orang tua Lala adalah simbol mereka yang belum tuntas dengan dirinya sendiri, tapi nekat memulai lembaran baru bernama keluarga. Percekcokan tiada ujung menunjukkan bahwa orang tua Lala menikah tanpa cukup bekal. Bukan bekal finansial belaka, tapi bagaimana mereka menyadari bahwa menjadi pasangan suami istri adalah mitra, bukan siapa yang paling berkuasa.
Baca Juga: Film A Matter of Moments: Kontemplasi dari Kumpulan Memori"
Ada perbedaan pandangan tentang peran domestik suami-istri, ayah-ibu di antara kedua orang tua Lala. Ditambah “urusan” yang belum selesai dalam kejiwaan, sebuah masalah baru muncul: “inner child” putri semata wayang mereka tumbuh dengan penuh kepiluan.
Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, Lala terlihat “kena mental” hingga jatuh sakit. Sebuah metafora ditampilkan bahwa pada titik itulah Lala yang sudah lelah, memutuskan untuk “pergi ke hotel”, menciptakan utopianya sendiri berupa rumah yang lebih ramah baginya.
Lala mendambakan menjadi anak dari selimut yang hangat dan mendekapnya penuh kasih sayang. Sesuatu yang tidak ia rasakan di rumah yang begitu besar dan dingin.
Foto: Genflix
Hubungan beracun mematikan siapa pun yang ada di dalamnya. Ungkapan “stay together for the kids” bagi pasutri yang terus menyakiti, tapi seolah enggan berpisah karena ingin anak mereka tidak menjadi anak "broken home” dengan pengasuhan terpisah, adalah sebuah fenomena konyol yang masih banyak terjadi di mana-mana. Berani keluar dan menyudahi lingkaran setan seperti yang dilakukan Lala sepatutnya dilakukan oleh Ayah dan Ibu.
“Broken home” tidak melulu tergambar dari anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal. Dua rumah jauh lebih baik dari satu medan perang. Anak berhak mendapatkan kasih sayang yang utuh dan tulus, dari orang-orang yang sudah damai dengan dirinya, terlepas apakah pengasuhan dilakukan di bawah satu atap atau tidak.
Baca Juga: 5 Drama Korea 2021 yang Paling Mengecewakan Penonton, ada yang Menghina Indonesia
Terlintas dalam benak, apakah Lala dewasa akan menjadi skeptis dengan pernikahan? Atau justru ia akan bertekad memiliki rumah tangga yang lebih baik dari orang tuanya?
Masyarakat dan lingkungan nantinya yang akan mengarahkan ke mana keputusan Lala bermuara. Stigma perceraian sebagai sebuah kenistaan adalah bom waktu yang membawa anak-anak yang terluka ini ke dalam kesesatan. Sebuah pekerjaan rumah besar bagi negeri yang penuh penghakiman dan standar moral yang tidak simpatik.
Winda Reds
Penikmat film dari komunitas KamAksara
(ita)