Film A Matter of Moments: Kontemplasi dari Kumpulan Memori
loading...
A
A
A
JAKARTA - Film pendek ini mengingatkan pada sebuah lagu lama milik Cliff Richard, yang kebetulan berjudul sama.
Jika Cliff Richard bercerita tentang pengalaman jatuh cinta dalam waktu yang singkat, maka film “A Matter of Momments” adalah sekumpulan kenangan yang personal dari beberapa insan. Tidak hanya perkara cinta, tapi juga kehilangan dan secuil harapan dirangkum di sana.
Disutradarai oleh sineas muda dari tanah Borneo, Muhammad Aditya Saputra (Adit), A Matter of Moments terbagi dalam tiga babak. Masing-masing babak terdiri dari beberapa cerita yang merupakan potongan berharga dari kisah hidup para pemiliknya.
Film dibuka dengan memori dari sang sutradara. Adit mencurahkan kegalauannya dalam meneruskan membuat film, selepas kepergian teman-temannya. Cerita lain muncul dari pergulatan batin seorang gadis yang khawatir pada masa depan dan kemampuannya menjadi sosok yang membanggakan.
Sementara, kisah mengharukan datang dari sepasang kekasih yang bahasa afeksinya ditunjukkan melalui kegiatan makan bersama dan dialog penuh atensi, tapi akhirnya dipisahkan oleh kematian.
Babak kedua berisi kenangan yang lebih personal berupa potongan video dari kehidupan pribadi Adit dan teman-temannya. Selain itu, ada pula reka ulang momen romantis Adit bersama sang mantan, yang lagi-lagi bicara tentang kehilangan. Lalu pada bagian akhir, Adit memberi penegasan kembali atas harapannya sebagai kreator film.
Foto: Genflix
Memori yang berusaha diabadikan Adit dalam film ini, sekalipun personal, barangkali adalah kenangan kolektif yang bisa saja dialami oleh banyak orang. Jatuh cinta, lalu kehilangan. Tulus mengasihi, tapi ditinggal pergi. Saling mencinta, namun tidak digariskan untuk bersama.
Begitu pula dengan rasa cemas dan tidak aman yang dialami seseorang, boleh jadi adalah krisis yang juga sedang dialami oleh sebagian lainnya.
Selain kenangan yang bersifat kolektif, A Matter of Moments rupanya juga adalah tentang rasa takut kehilangan atas kenangan itu. Dalam sebuah dialog, Adit yang memerankan dirinya sendiri, menjawab pertanyaan tentang alasannya membawa kamera ke mana pun ia pergi.
Baginya, kamera memiliki peran penting untuk menangkap momen yang tidak bisa dilupakan. Momen, baik itu yang senang, sedih, suka maupun duka, membawa pelajaran dan hikmah masing-masing.
Baca Juga: Film Pendek Hari ke-40, Mahasiswa Demonstran dan Kebaikan yang Diwariskan
Dari sini bisa dipahami, alih-alih sekadar menyimpannya sebagai video rumahan, Adit memilih merangkainya dalam film pendek yang selain bisa dinikmati, sekaligus dapat diamini oleh para penontonnya.
Film yang sejatinya tidak hanya ditempatkan sebagai wahana hiburan, melainkan juga sarana memperoleh pelajaran, telah melaksanakan fungsinya jika mampu memberikan sudut pandang dan pengalaman baru bagi para pencintanya.
Foto: Genflix
Terlepas dari segala permasalahan teknis yang bisa ditingkatkan melalui jam terbang, A Matter of Momentsmemiliki cukup potensi untuk menyuguhkan pengalaman rasa dalam meratapi kehilangan. Sesungguhnya, melepaskan adalah obat paling mujarab untuk mengobati rasa sakitnya, sekalipun memori itu masih dibingkai untuk sesekali dikenang.
Pengalaman rasa dari pahitnya kecemasan dan rendah diri, juga akan menemukan obatnya berupa curahan kasih, yang dalam film ini diwakili oleh dukungan dari orang terkasih. Rekonstruksi memori berharga seorang gadis bernama Echa itu juga memberi pelajaran rasa, bahwa curahan kasih yang utama itu datang dari diri sendiri.
Bangga menjadi diri sendiri, terkadang tidak datang dari pencapaian yang besar dan mewah, melainkan hal sederhana, yaitu dengan menjadi orang yang baik.
Baca Juga: Perkiraan Lineup 12 Anggota Tim Avengers 5 di Film Marvel
Sebagaimana kutipan menarik yang ada dalam akhir kisah Echa berikut, “Bagiku mencintai manusia seperti kamu bukan hanya perihal fitur fisik, tetapi tentang sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan telanjang mata—laku, hati, suara, akal, rasa, dan segalanya yang tidak terlihat."
Seluruhnya akan jauh terasa sakral jika kalimat itu ditujukan pada diri sendiri. Bahwa mencintai secara hakiki adalah membangun yang ada di dalam diri, dan menerima serta menghargai kebaikan yang sudah diupayakan oleh akal dan hati nurani.
Lusiana Yuniarti
Penikmat film dari komunitas KamAksara
Jika Cliff Richard bercerita tentang pengalaman jatuh cinta dalam waktu yang singkat, maka film “A Matter of Momments” adalah sekumpulan kenangan yang personal dari beberapa insan. Tidak hanya perkara cinta, tapi juga kehilangan dan secuil harapan dirangkum di sana.
Disutradarai oleh sineas muda dari tanah Borneo, Muhammad Aditya Saputra (Adit), A Matter of Moments terbagi dalam tiga babak. Masing-masing babak terdiri dari beberapa cerita yang merupakan potongan berharga dari kisah hidup para pemiliknya.
Film dibuka dengan memori dari sang sutradara. Adit mencurahkan kegalauannya dalam meneruskan membuat film, selepas kepergian teman-temannya. Cerita lain muncul dari pergulatan batin seorang gadis yang khawatir pada masa depan dan kemampuannya menjadi sosok yang membanggakan.
Sementara, kisah mengharukan datang dari sepasang kekasih yang bahasa afeksinya ditunjukkan melalui kegiatan makan bersama dan dialog penuh atensi, tapi akhirnya dipisahkan oleh kematian.
Babak kedua berisi kenangan yang lebih personal berupa potongan video dari kehidupan pribadi Adit dan teman-temannya. Selain itu, ada pula reka ulang momen romantis Adit bersama sang mantan, yang lagi-lagi bicara tentang kehilangan. Lalu pada bagian akhir, Adit memberi penegasan kembali atas harapannya sebagai kreator film.
Foto: Genflix
Memori yang berusaha diabadikan Adit dalam film ini, sekalipun personal, barangkali adalah kenangan kolektif yang bisa saja dialami oleh banyak orang. Jatuh cinta, lalu kehilangan. Tulus mengasihi, tapi ditinggal pergi. Saling mencinta, namun tidak digariskan untuk bersama.
Begitu pula dengan rasa cemas dan tidak aman yang dialami seseorang, boleh jadi adalah krisis yang juga sedang dialami oleh sebagian lainnya.
Selain kenangan yang bersifat kolektif, A Matter of Moments rupanya juga adalah tentang rasa takut kehilangan atas kenangan itu. Dalam sebuah dialog, Adit yang memerankan dirinya sendiri, menjawab pertanyaan tentang alasannya membawa kamera ke mana pun ia pergi.
Baginya, kamera memiliki peran penting untuk menangkap momen yang tidak bisa dilupakan. Momen, baik itu yang senang, sedih, suka maupun duka, membawa pelajaran dan hikmah masing-masing.
Baca Juga: Film Pendek Hari ke-40, Mahasiswa Demonstran dan Kebaikan yang Diwariskan
Dari sini bisa dipahami, alih-alih sekadar menyimpannya sebagai video rumahan, Adit memilih merangkainya dalam film pendek yang selain bisa dinikmati, sekaligus dapat diamini oleh para penontonnya.
Film yang sejatinya tidak hanya ditempatkan sebagai wahana hiburan, melainkan juga sarana memperoleh pelajaran, telah melaksanakan fungsinya jika mampu memberikan sudut pandang dan pengalaman baru bagi para pencintanya.
Foto: Genflix
Terlepas dari segala permasalahan teknis yang bisa ditingkatkan melalui jam terbang, A Matter of Momentsmemiliki cukup potensi untuk menyuguhkan pengalaman rasa dalam meratapi kehilangan. Sesungguhnya, melepaskan adalah obat paling mujarab untuk mengobati rasa sakitnya, sekalipun memori itu masih dibingkai untuk sesekali dikenang.
Pengalaman rasa dari pahitnya kecemasan dan rendah diri, juga akan menemukan obatnya berupa curahan kasih, yang dalam film ini diwakili oleh dukungan dari orang terkasih. Rekonstruksi memori berharga seorang gadis bernama Echa itu juga memberi pelajaran rasa, bahwa curahan kasih yang utama itu datang dari diri sendiri.
Bangga menjadi diri sendiri, terkadang tidak datang dari pencapaian yang besar dan mewah, melainkan hal sederhana, yaitu dengan menjadi orang yang baik.
Baca Juga: Perkiraan Lineup 12 Anggota Tim Avengers 5 di Film Marvel
Sebagaimana kutipan menarik yang ada dalam akhir kisah Echa berikut, “Bagiku mencintai manusia seperti kamu bukan hanya perihal fitur fisik, tetapi tentang sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan telanjang mata—laku, hati, suara, akal, rasa, dan segalanya yang tidak terlihat."
Seluruhnya akan jauh terasa sakral jika kalimat itu ditujukan pada diri sendiri. Bahwa mencintai secara hakiki adalah membangun yang ada di dalam diri, dan menerima serta menghargai kebaikan yang sudah diupayakan oleh akal dan hati nurani.
Lusiana Yuniarti
Penikmat film dari komunitas KamAksara
(ita)