Film Pendek 'LAKA', Cinta Buta dan Harga Diri yang Terlupa

Jum'at, 17 September 2021 - 15:16 WIB
loading...
Film Pendek LAKA, Cinta Buta dan Harga Diri yang Terlupa
Laka menceritakan kisah remaja perempuan dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, tapi ingin punya gaya hidup kelas atas. Foto/Genflix
A A A
JAKARTA - Ayah adalah cinta pertama seorang gadis dalam hidupnya. Namun, cinta seperti apa yang nanti akan jadi bekal sang dara mengarungi hidup yang sering kejam dan tak jarang gila?

Sebuah perenungan panjang dan dalam menyeruak kala menyaksikan "Laka". Judul film pendek garapan sutradara Vikri Nugraha ini memiliki arti “kecelakaan”. Kata yang ternyata mengirimkan pesan berlapis dalam film berdurasi nyaris sembilan menit ini.

Tokoh sentral cerita adalah Viola (Silma Rahmaina) dan ayahnya, Pak Kusnandar (Franky Chandra). Dialog di antara mereka tidak banyak, tapi ekspresi ketika keduanya bersama menghadirkan sebuah kepahitan: cinta buta yang bertepuk sebelah tangan.

Pernah gemas dengan cowok yang mati-matian mengejar pujaan hati , sampai mungkin rela bilang “belahlah dadaku” demi mendapatkan cinta dan perhatian si cewek?

Rasa geregetan yang sama muncul, sejak adegan bagai langit dan bumi: Pak Kusnandar makan ala kadarnya di Warung Tegal (warteg) bahkan rela mencomot kembali lauk yang terjatuh di lantai kotor.

Sementara di tempat lain, Viola asyik nongkrong di alam utopia berwujud kafe mahal, ponsel canggih dengan logo apel, bersama segerombolan teman-teman berduit (diperankan oleh Gema Cantika dan Milka Gabriela). Viola hanya bisa gigit jari menyadari kemewahan yang coba ia raih, tapi masih jauh dari genggaman.

Film Pendek 'LAKA', Cinta Buta dan Harga Diri yang Terlupa

Foto: Genflix

Cinta Pak Kusnandar kepada anak gadis semata wayang yang ia besarkan sendirian, sungguh mengalahkan level “kebucinan” lelaki mabuk asmara. Segala sujud dari lelaki kuyu yang bekerja sebagai tukang ojek ini, seolah sia-sia. Pun ceramah agama yang dia dengarkan sebagai pengisi waktu istirahatnya. hanya masuk kuping kiri dan keluar di kuping kanan.

Menjadi orang tua tunggal, apalagi berseberangan gender, memiliki tingkat kesulitan berlipat ganda. Film pendek "Laka" berlawanan arah dengan film “Fatherhood” yang sama-sama mengangkat perjuangan ayah tunggal, tapi berbeda dalam konteks status keluarga dan dukungan dari lingkungan sekitar.

Film yang tayang di Genflix ini menyajikan sebuah tamparan kenyataan dari masyarakat kaum menengah ke bawah di kota besar yang sangat tidak ramah.

Teringat sebuah kalimat yang diungkapkan oleh Mercutio, sahabat Romeo, dari karya William Shakespeare yang legendaris itu: “If love be blind, love can not hit the mark.” (Jika cinta buta, ia takkan mampu mengenai sasarannya.)

Baca Juga: Film Pendek Hari ke-40, Mahasiswa Demonstran dan Kebaikan yang Diwariskan

Pak Kusnandar terpicu untuk melawan nilai dan kepercayaan yang dianutnya, setelah mendengar sang putri berang tak dipenuhi keinginannya punya ponsel mahal. Viola tega menyebut kata “papa tiri” membuat ego sang ayah sontak terkoyak. Ia takkan rela, Viola akan lari ke pria lain yang kini mengisi posisi bak “ayah tandingan”.

Mencermati tingkah polah Viola, sang remaja putri, ia mewakili banyak sosok yang berseliweran di media sosial. Masih duduk di bangku SMA, Viola sudah sangat ngoyo menjalani “panjat sosial” (pansos) demi eksistensi.

Di dunia nyata, jangan terkejut, gadis-gadis seusia Viola sampai hati mengejar harta dengan ”open BO”, menipu atau memeras habis cowok berduit, bahkan rela jadi simpanan “papa gula” alias “sugar daddy”. Tentunya Viola, yang sampai diceletuki, “Nge-room saja sana!” sudah mencapai kematangan seksual yang belum seharusnya ia punya. Ranjau berbahaya yang ia pijak tanpa sadar.

Film Pendek 'LAKA', Cinta Buta dan Harga Diri yang Terlupa

Foto: Genflix

Harga diri bisa terlupa begitu saja karena cinta yang kelewatan menutup mata, menggelapkan pandangan. Baik Pak Kusnandar dan Viola, keduanya adalah budak cinta (bucin) yang buta dalam “target” berbeda.

Baca Juga: Mengulik Makna Bucin alias Budak Cinta dari Perspektif Sains

Pada akhirnya, keduanya pun memilih jalan pintas untuk mencapai arti bahagia dan menyenangkan orang yang mereka gilai. Meskipun tentu, bukan pilihan yang pantas, apalagi terbaik.

Adegan di tengah “post-credit scene” menjadi puncak dari konsekuensi cinta buta yang dilakoni ayah dan anak ini. Setiap keputusan tanpa pertimbangan matang dan kedewasaan, menghadirkan bencana dan masalah tiada akhir. Inilah lingkaran setan sesungguhnya, jauh lebih sadis dari “sumpah kecelakaan” yang diterima Pak Kusnandar.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2410 seconds (0.1#10.140)