Saat Dihadapkan pada Pilihan, Haruskah Berkompromi?

Senin, 05 April 2021 - 20:03 WIB
loading...
Saat Dihadapkan pada Pilihan, Haruskah Berkompromi?
Konformitas atau melakukan kompromi kerap terpikirkan jika dihadapkan pada pilihan dalam lingkup kolektif. Foto/Shutterstock
A A A
JAKARTA - Coba bayangkan, kamu lagi di persimpangan jalan bersama teman-teman. Kamu sebenarnya ingin belok ke kiri, tapi teman-temanmu yang lain malah ingin belok ke kanan. Manakah yang akhirnya kamu pilih?

Kalau akhirnya kamu memilih mengikuti teman-teman, pilihan tersebut erat kaitannya dengan kompromi atau konformitas. Dari Mengutip dari buku "Psikologi Umum" (2012) yang ditulis Laura A. King, konformitas merupakan perubahan sukarela individu untuk menyelaraskan lebih dekat ke standar kelompok.

Sementara mengutip faculty.babson , psikolog sosial Solomon Asch sempat meneliti fenomena konformitas dengan menempatkan seorang individu dan beberapa sekutu di dalam satu ruangan.

Sekutu (confederates) adalah orang yang diberi peran dalam penelitian, sehingga konteks sosial atau perilakunya bisa dimodifikasi.

Saat Dihadapkan pada Pilihan, Haruskah Berkompromi?

Foto: Tomasz Walenta/The Wall Street Journal

Individu target diberikan beberapa gambar garis yang berbeda, yaitu garis A, B, atau C yang harus dicari manakah yang sesuai dengan garis X. Ia pun awalnya menjawab jawaban yang benar.

Baca Juga: Dua Tipe Passion: Harmonis dan Obsesif, Kamu yang Mana?

Tapi di sinilah peran dari sekutu, mereka beberapa kali kompak mengatakan jawaban yang salah. Hingga dalam gambar-gambar berikutnya, beberapa individu terpengaruh untuk memilih jawaban yang salah pula. Dari penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan sekitar sepertiga partisipan mengikuti jawaban yang keliru.

Hal-hal seperti itu tanpa sadar sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dampak baiknya, mungkin konformitas bisa mengurangi konflik karena pendapat seluruh orang hanya terpusat pada satu keputusan atau perilaku.

Saat Dihadapkan pada Pilihan, Haruskah Berkompromi?

Foto: USA Films

Sedangkan dalam beberapa kasus, dampaknya juga bisa sangat buruk kalau dibiarkan terus-menerus. Orang-orang akhirnya bisa memiliki tekanan untuk menyelaraskan yang kuat, bahkan terhadap hal-hal yang sudah jelas salah.

Jadi, haruskah kamu melakukan konformitas? Semua kembali ke konteksnya. Kalau kita sampai menjadi tidak produktif atau tidak jujur pada diri sendiri karenanya, maka konformitas bukanlah pilihan yang tepat.

Baca Juga: Déjà Rêvé: Variasi Lain dari Déjà Vu, Bagaimana Bentuknya?

"Kecenderungan untuk melakukan konformitas di tengah masyarakat sangat kuat hingga orang intelektual dan anak muda berpengetahuan rela untuk menyebut warna putih sebagai warna hitam," ujar Solomon Asch.

"Ini jadi menimbulkan pertanyaan tentang cara kita mendidik dan tentang nilai atau prinsip yang kita pegang," imbuhnya.

Amalia Simehatte
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @amaliasimehatte
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1973 seconds (0.1#10.140)