Video Via Vallen Plagiat IU? Ini Batasan Plagiat Versi Hukum Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Video musik terbaru penyanyi dangdut tersohor Via Vallen dengan Dyrga Dadali dituding plagiat dari video musik penyanyi solo asal Korea, IU .
Video musik dari lagu berjudul "Kasih Dengarkanlah" tersebut punya sejumlah kemiripan secara visual dengan video klip IU yang berjudul "Above The Time" yang lebih dahulu rilis.
Setelah diberitakan media di Korea dan menjadi perbincangan panas di tengah penggemar K-Pop Indonesia sampai internasional, Ascadamusik sebagai label yang menaungi Via Vallen dan Dadali langsung menurunkan video musik tersebut serta melayangkan tanggapannya lewat Instagram.
Via Vallen dan pihak manajemennya mengaku gak mengetahui adanya kemiripan-kemiripan tersebut karena gak ikut andil dalam merancang konsep video musiknya.
Kontroversi ini membuat kolom komentar Instagram milik Via Vallen banjir hujatan warganet. Kasus plagiarisme ini dianggap mencoreng nama Indonesia di dunia internasional.
Pertanyaannya, apakah kamu sudah tahu mengenai apakah plagiarisme, batasan, dan aturan hukumnya? ( )
Berdasarkan situs Merriam-Webster, plagiarisme adalah kegiatan mencuri, baik seluruh maupun sebagian, karya atau ide intelektual orang lain lalu mengklaimnya sebagai ciptaan baru dari pelaku.
Foto:Ascadamusik
Plagiarisme atau penjiplakan termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang dilindungi hukum di Indonesia dan diatur dalam UUHC (Undang-Undang Hak Cipta).
Hak cipta sendiri, berdasarkan UUHC, adalah hak eksklusif (dikhususkan) bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin ciptaannya untuk digunakan. Hak cipta secara otomatis ada ketika suatu karya dibuat sehingga seorang pencipta tidak perlu mendaftarkannya lagi.
Hak cipta menjadi sangat penting untuk melindungi pencipta suatu karya dari kerugian intelektual. Biasanya menyangkut kepentingan ekonomi di mana pelanggar hak cipta menyebarluaskan karya seseorang untuk mendapatkan uang.
Kebayang gak, sih, kalau kita sudah capek-capek membuat suatu karya, tapi orang lain mengambil untung atas karya kamu? Pasti kesal ‘kan? Itulah yang dirasakan para korban pelanggaran hak cipta. Hal ini jadi sangat penting pada masa sekarang yang serba mudah. Mencuri karya pun menjadi lebih mudah.
Kasus plagiarisme di Indonesia bukanlah hal yang baru, tapi masih menjadi perdebatan. Khususnya karya seni seperti musik , sinema, dan sebagainya.
Misalnya saja pada aturan umum dunia tentang plagiarisme musik, mengatakan bahwa sebuah musik dianggap menjiplak bahwa memiliki kesamaan dengan musik lain sebanyak 8 bar (kurang lebih 32 ketukan). Namun menurut sebagian musikus, aturan ini tidak bisa dijadikan patokan.
Maka dari itu, batasan hak cipta tidak bisa bertumpu pada perhitungan (kuantitatif), seperti aturan umum 8 bar pada musik, tapi dilihat pada substansinya (kualitatif), yaitu sejauh mana kemiripan suatu karya yang dianggap plagiat dengan karya aslinya.
Foto: YouTube IU Official/Ascadamusik
Jadi, semakin banyak kesamaan sebuah karya dengan karya lain, semakin besar indikasi plagiarismenya. Tak jarang untuk menganalisis tingkat plagiarisme ini, para ahli juga turut andil. Hal ini tertulis pada pasal 44 ayat (1) UUHC tertulis:
“Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap …”
Pada pasal tersebut juga tertulis kalau kita tidak mau terjerat UUHC, kita harus menulis sumber karya orang lain yang kita gunakan secara lengkap dan digunakan hanya untuk keperluan pendidikan, penulisan, karya ilmiah, keamanan, pemerintahan, pertunjukan, dan pementasan yang tidak dipungut biaya. Namun lebih baik untuk meminta izin kepada sang pencipta karya yang akan kita gunakan.
Untuk mengatur hukum hak cipta internasional, terdapat Konvensi Berne yang membahas perlindungan karya literatur dan seni. Konvensi ini telah ditandatangani banyak negara termasuk Indonesia.
Seluruh karya yang tercipta di dalam negara yang menandatangani Konvensi Berne, maka hak ciptanya dilindungi juga oleh Konvensi Berne. ( )
Dalam proses peradilan kasus hak cipta baik nasional maupun internasional - seperti kasus video musik Via Vallen dan Dyrga Dadali - dapat diadili pada peradilan niaga dengan sanksi maksimal 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Namun dalam penyelesaian kasus hak cipta dapat dilakukan mediasi, negosiasi, dan perjanjian sesuai hukum yang berlaku.
Lantas, apakah menurutmu video musik Via Vallen dan Dyrga Dadali ini sudah pasti pelanggaran hak cipta dan bisa dituntut?
Peter Leonaldy ND
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @peterleonaldy
Video musik dari lagu berjudul "Kasih Dengarkanlah" tersebut punya sejumlah kemiripan secara visual dengan video klip IU yang berjudul "Above The Time" yang lebih dahulu rilis.
Setelah diberitakan media di Korea dan menjadi perbincangan panas di tengah penggemar K-Pop Indonesia sampai internasional, Ascadamusik sebagai label yang menaungi Via Vallen dan Dadali langsung menurunkan video musik tersebut serta melayangkan tanggapannya lewat Instagram.
Via Vallen dan pihak manajemennya mengaku gak mengetahui adanya kemiripan-kemiripan tersebut karena gak ikut andil dalam merancang konsep video musiknya.
Kontroversi ini membuat kolom komentar Instagram milik Via Vallen banjir hujatan warganet. Kasus plagiarisme ini dianggap mencoreng nama Indonesia di dunia internasional.
Pertanyaannya, apakah kamu sudah tahu mengenai apakah plagiarisme, batasan, dan aturan hukumnya? ( )
Berdasarkan situs Merriam-Webster, plagiarisme adalah kegiatan mencuri, baik seluruh maupun sebagian, karya atau ide intelektual orang lain lalu mengklaimnya sebagai ciptaan baru dari pelaku.
Foto:Ascadamusik
Plagiarisme atau penjiplakan termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang dilindungi hukum di Indonesia dan diatur dalam UUHC (Undang-Undang Hak Cipta).
Hak cipta sendiri, berdasarkan UUHC, adalah hak eksklusif (dikhususkan) bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin ciptaannya untuk digunakan. Hak cipta secara otomatis ada ketika suatu karya dibuat sehingga seorang pencipta tidak perlu mendaftarkannya lagi.
Hak cipta menjadi sangat penting untuk melindungi pencipta suatu karya dari kerugian intelektual. Biasanya menyangkut kepentingan ekonomi di mana pelanggar hak cipta menyebarluaskan karya seseorang untuk mendapatkan uang.
Kebayang gak, sih, kalau kita sudah capek-capek membuat suatu karya, tapi orang lain mengambil untung atas karya kamu? Pasti kesal ‘kan? Itulah yang dirasakan para korban pelanggaran hak cipta. Hal ini jadi sangat penting pada masa sekarang yang serba mudah. Mencuri karya pun menjadi lebih mudah.
Kasus plagiarisme di Indonesia bukanlah hal yang baru, tapi masih menjadi perdebatan. Khususnya karya seni seperti musik , sinema, dan sebagainya.
Misalnya saja pada aturan umum dunia tentang plagiarisme musik, mengatakan bahwa sebuah musik dianggap menjiplak bahwa memiliki kesamaan dengan musik lain sebanyak 8 bar (kurang lebih 32 ketukan). Namun menurut sebagian musikus, aturan ini tidak bisa dijadikan patokan.
Maka dari itu, batasan hak cipta tidak bisa bertumpu pada perhitungan (kuantitatif), seperti aturan umum 8 bar pada musik, tapi dilihat pada substansinya (kualitatif), yaitu sejauh mana kemiripan suatu karya yang dianggap plagiat dengan karya aslinya.
Foto: YouTube IU Official/Ascadamusik
Jadi, semakin banyak kesamaan sebuah karya dengan karya lain, semakin besar indikasi plagiarismenya. Tak jarang untuk menganalisis tingkat plagiarisme ini, para ahli juga turut andil. Hal ini tertulis pada pasal 44 ayat (1) UUHC tertulis:
“Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap …”
Pada pasal tersebut juga tertulis kalau kita tidak mau terjerat UUHC, kita harus menulis sumber karya orang lain yang kita gunakan secara lengkap dan digunakan hanya untuk keperluan pendidikan, penulisan, karya ilmiah, keamanan, pemerintahan, pertunjukan, dan pementasan yang tidak dipungut biaya. Namun lebih baik untuk meminta izin kepada sang pencipta karya yang akan kita gunakan.
Untuk mengatur hukum hak cipta internasional, terdapat Konvensi Berne yang membahas perlindungan karya literatur dan seni. Konvensi ini telah ditandatangani banyak negara termasuk Indonesia.
Seluruh karya yang tercipta di dalam negara yang menandatangani Konvensi Berne, maka hak ciptanya dilindungi juga oleh Konvensi Berne. ( )
Dalam proses peradilan kasus hak cipta baik nasional maupun internasional - seperti kasus video musik Via Vallen dan Dyrga Dadali - dapat diadili pada peradilan niaga dengan sanksi maksimal 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Namun dalam penyelesaian kasus hak cipta dapat dilakukan mediasi, negosiasi, dan perjanjian sesuai hukum yang berlaku.
Lantas, apakah menurutmu video musik Via Vallen dan Dyrga Dadali ini sudah pasti pelanggaran hak cipta dan bisa dituntut?
Peter Leonaldy ND
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @peterleonaldy
(it)