CERMIN: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1959. Sistem sekolah negeri di Los Angeles memulai sebuah program menarik: penyediaan instrumen musik secara gratis yang bisa diakses oleh seluruh siswa.
Program ini sungguh menggugah karena memberi akses secara luas kepada seni. Saya pun percaya bahwa anak-anak hingga remaja yang memberi ruang dalam dirinya untuk mengeksplorasi seni termasuk musik akan tumbuh menjadi generasi yang lebih beradab.
Film The Last Repair Shop yang baru saja memenangkan kategori Best Documentary Short dari Academy Awards 2024 membuka pintu selebar-lebarnya bagi kita di luar Los Angeles/Amerika untuk melihat bagaimana program itu bekerja efektif hingga puluhan tahun kemudian. Los Angeles menjadi satu dari sedikit kota di Amerika yang masih menerapkan program menarik tersebut.
Duo sutradara, Ben Proudfoot dan Kris Bowers, mengajak kita masuk ke semacam bengkel yang mengelola atau membetulkan lebih dari 80 ribu instrumen hingga hari ini. Kita akan bertemu empat orang berdedikasi yang dengan telaten merawat instrumen musik tersebut, memperbaikinya agar dapat digunakan kembali oleh para murid yang bisa jadi di antara mereka di masa depan adalah peraih Grammy Awards, bahkan peraih piala Oscar seperti Kris.
The Last Repair Shop yang bisa ditonton secara gratis di kanal YouTube Los Angeles Times itu memang terasa personal karena terkait langsung dengan salah satu pembuatnya. Dalam sebuah surat panjang nan menyentuh yang dimuat di Los Angeles Times, Kris menulis bagaimana empat orang berdedikasi yang pantas dianggap sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa itu begitu berarti buat hidupnya kelak.
Foto:YouTube Los Angeles Times
“Sebagai salah satu dari jutaan anak yang lulus dari Los Angeles Unified School District, saya menghabiskan setiap momen dengan piano sekolah. Di sana saya menemukan tempat yang aman dan saya menemukan suara saya," ujar Kris.
"Itulah momen-momen mendasar yang mendorong saya bergabung dengan band sekolah. Berkuliah di Juilliard. Mendapat piala Oscar. Untuk mewujudkan impian terliar saya dan bertemu pahlawan saya sebagai musisi dan komposer film. Satu-satunya orang yang tidak pernah saya temui adalah pria yang menyetel piano sekolah itu," imbuhnya.
Orang yang menyetel piano sekolah itu bernama Steve Bagmanyan, imigran asal Armenia, yang menjadi salah satu dari empat orang berdedikasi tersebut. Yang membuat The Last Repair Shop menyentuh hati hanya dalam 40 menit durasinya adalah juga kisah di balik perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Steve adalah sebuah kisah pilu dari sebuah negeri yang luluh lantak karena perang dan mengharuskan mereka keluar dari negerinya untuk memulai hidup baru. Biola menjadi instrumen pertama yang ditemui tak sengaja oleh Steve di sebuah pasar kaget yang memberinya harapan untuk hidup dan masa depan.
Foto: YouTube Los Angeles Times
Satu-satunya perempuan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu bernama Paty Moreno. Orang tua tunggal dari dua orang anak yang mencoba membuktikan perihal American Dream.
Ia menerobos kesusahan hidupnya dari Meksiko untuk sebuah fase yang lebih baik. Dan ternyata fase itu diperolehnya ketika membaktikan dirinya untuk sebuah bengkel musik.
Saya membayangkan bagaimana jadinya negeri ini jika puluhan tahun lalu program serupa bisa dijalankan oleh pemerintah. Tak terbayang seberapa banyaknya musisi hingga komposer sekelas Erwin Gutawa dan Addie MS yang bisa lahir dari program serupa.
Tak terbayang seberapa besar dampaknya melahirkan generasi-generasi baru yang lebih kaya batinnya sebagai akibat persentuhan langsung dengan musik sejak dini.
Bisa jadi kita tak cuma punya Joey Alexander, remaja kelahiran Bali yang sudah dua kali beroleh nomine Grammy Awards. Bisa jadi pula kita sudah punya komposer yang bekerja untuk sutradara kelas dunia dan karyanya bertarung di ajang seprestisius Oscar.
Foto: YouTube Los Angeles Times
Tapi bahkan seluruh kota di Amerika pun tak melihat dampak musik pada perkembangan generasi masa depan. Tentu saja ini memprihatinkan. Bayangkan jika program ini dijalankan, para remaja akan menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya untuk menempa dirinya selama berjam-jam hingga tak punya waktu lagi untuk tawuran atau melakukan seks bebas misalnya.
Mereka juga akan belajar disiplin dan berkomitmen tinggi untuk terus memperbaiki keterampilan musik mereka. Semua soft skills itu kelak sangat berguna hingga puluhan tahun kemudian.
Program ini sungguh menggugah karena memberi akses secara luas kepada seni. Saya pun percaya bahwa anak-anak hingga remaja yang memberi ruang dalam dirinya untuk mengeksplorasi seni termasuk musik akan tumbuh menjadi generasi yang lebih beradab.
Film The Last Repair Shop yang baru saja memenangkan kategori Best Documentary Short dari Academy Awards 2024 membuka pintu selebar-lebarnya bagi kita di luar Los Angeles/Amerika untuk melihat bagaimana program itu bekerja efektif hingga puluhan tahun kemudian. Los Angeles menjadi satu dari sedikit kota di Amerika yang masih menerapkan program menarik tersebut.
Duo sutradara, Ben Proudfoot dan Kris Bowers, mengajak kita masuk ke semacam bengkel yang mengelola atau membetulkan lebih dari 80 ribu instrumen hingga hari ini. Kita akan bertemu empat orang berdedikasi yang dengan telaten merawat instrumen musik tersebut, memperbaikinya agar dapat digunakan kembali oleh para murid yang bisa jadi di antara mereka di masa depan adalah peraih Grammy Awards, bahkan peraih piala Oscar seperti Kris.
The Last Repair Shop yang bisa ditonton secara gratis di kanal YouTube Los Angeles Times itu memang terasa personal karena terkait langsung dengan salah satu pembuatnya. Dalam sebuah surat panjang nan menyentuh yang dimuat di Los Angeles Times, Kris menulis bagaimana empat orang berdedikasi yang pantas dianggap sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa itu begitu berarti buat hidupnya kelak.
Foto:YouTube Los Angeles Times
“Sebagai salah satu dari jutaan anak yang lulus dari Los Angeles Unified School District, saya menghabiskan setiap momen dengan piano sekolah. Di sana saya menemukan tempat yang aman dan saya menemukan suara saya," ujar Kris.
"Itulah momen-momen mendasar yang mendorong saya bergabung dengan band sekolah. Berkuliah di Juilliard. Mendapat piala Oscar. Untuk mewujudkan impian terliar saya dan bertemu pahlawan saya sebagai musisi dan komposer film. Satu-satunya orang yang tidak pernah saya temui adalah pria yang menyetel piano sekolah itu," imbuhnya.
Orang yang menyetel piano sekolah itu bernama Steve Bagmanyan, imigran asal Armenia, yang menjadi salah satu dari empat orang berdedikasi tersebut. Yang membuat The Last Repair Shop menyentuh hati hanya dalam 40 menit durasinya adalah juga kisah di balik perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Steve adalah sebuah kisah pilu dari sebuah negeri yang luluh lantak karena perang dan mengharuskan mereka keluar dari negerinya untuk memulai hidup baru. Biola menjadi instrumen pertama yang ditemui tak sengaja oleh Steve di sebuah pasar kaget yang memberinya harapan untuk hidup dan masa depan.
Foto: YouTube Los Angeles Times
Satu-satunya perempuan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu bernama Paty Moreno. Orang tua tunggal dari dua orang anak yang mencoba membuktikan perihal American Dream.
Ia menerobos kesusahan hidupnya dari Meksiko untuk sebuah fase yang lebih baik. Dan ternyata fase itu diperolehnya ketika membaktikan dirinya untuk sebuah bengkel musik.
Saya membayangkan bagaimana jadinya negeri ini jika puluhan tahun lalu program serupa bisa dijalankan oleh pemerintah. Tak terbayang seberapa banyaknya musisi hingga komposer sekelas Erwin Gutawa dan Addie MS yang bisa lahir dari program serupa.
Tak terbayang seberapa besar dampaknya melahirkan generasi-generasi baru yang lebih kaya batinnya sebagai akibat persentuhan langsung dengan musik sejak dini.
Bisa jadi kita tak cuma punya Joey Alexander, remaja kelahiran Bali yang sudah dua kali beroleh nomine Grammy Awards. Bisa jadi pula kita sudah punya komposer yang bekerja untuk sutradara kelas dunia dan karyanya bertarung di ajang seprestisius Oscar.
Foto: YouTube Los Angeles Times
Tapi bahkan seluruh kota di Amerika pun tak melihat dampak musik pada perkembangan generasi masa depan. Tentu saja ini memprihatinkan. Bayangkan jika program ini dijalankan, para remaja akan menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya untuk menempa dirinya selama berjam-jam hingga tak punya waktu lagi untuk tawuran atau melakukan seks bebas misalnya.
Mereka juga akan belajar disiplin dan berkomitmen tinggi untuk terus memperbaiki keterampilan musik mereka. Semua soft skills itu kelak sangat berguna hingga puluhan tahun kemudian.