Review Film Land of Bad, Kisah Generik tapi Masih Cukup Menegangkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Land of Bad kembali mengulang kisah heroik Amerika melawan para musuh abadinya. Kali ini bukan Uni Soviet atau Rusia, bukan pula komunis Vietnam, tapi kelompok teroris berbasis agama.
Dalam film-film perang atau mata-mata Amerika Serikat, tiga kategori musuh tersebut selalu muncul berulang dengan kemasan adegan aksi yang berbeda-beda. Misalnya saja Red Dawn(1984, dan versi remake-nya tahun 2012), Salt (2010) yang dimainkan Angelina Jolie, Mission: Impossible - Ghost Protocol (2011) yang diperankan oleh Tom Cruise, The Deer Hunter (1978), dan film-film berlatar 9/11.
Dalam film-film tersebut, pihak lawan selalu digambarkan sebagai sosok haus darah yang sangat kejam, gemar menyiksa, juga licik. Sementara pihak Amerika Serikat digambarkan sebagai protagonis yang setia kawan dan menjunjung nilai kemanusiaan.
Resep ini kembali diulang dalam film action thriller Land of Bad. Ceritanya tentang tim Delta Force yang terdiri dari empat orang. Mereka diberi misi menyelamatkan agen CIA yang disekap teroris di pedalaman Mindanao, Filipina.
Mereka adalah Sersan JJ "Playboy" Kinney (Liam Hemsworth), Sersan Abel (Luke Hemsworth), Sersan Bishop (Ricky Whittle), dan Sersan Utama John "Sugar" Sweet (Milo Ventimiglia). Adapun lawan mereka adalah kelompok teroris separatis Abu Sayyaf.
Foto: Paramount
Tim harus masuk menembus hutan tropis, wilayah yang mereka tak kenal sama sekali. Untungnya, mereka punya 'mata langit' alias drone yang dipandu oleh Kapten Eddie "Reaper" Grimm (Russell Crowe) dan Staf Sersan Nia Branson (Chika Ikogwe).
Dengan dronecanggih tersebut, Eddie memberi tahu rute aman yang bisa tim tersebut tempuh, apakah ada musuh yang bergerak di sekitar mereka, hingga meluncurkan rudal dan helikopter penyelamat bagi tim kecil tersebut. Inilah perang gaya baru dengan teknologi tinggi yang membantu prajurit di lapangan.
Sejak awal cerita, para teroris digambarkan sangat kejam. Mereka tega memenggal kepala seorang perempuan, dengan sebelumnya meneriakkan kalimat takbir. Seperti layaknya film-film heroik, karakter musuh hanya ditempatkan sebagai sosok satu dimensi yang tak punya fungsi lain dalam film selain jadi antagonis dan harus dimusnahkan.
Sedangkan karakter protagonis diberikan latar belakang kehidupan mereka untuk menarik simpati penonton. Misalnya saja Kinney yang dianggap anak bawang oleh rekan-rekannya karena minim pengalaman. Juga Eddie yang pemberontak, kariernya mandek, dan sedikit banyak kurang disukai rekan-rekannya.
Foto: Paramount
Dengan pemberian latar belakang tersebut, cerita tentang usaha penyelamatan dan keluar dari 'neraka' dalam kondisi hidup-hidup jadi sesuatu yang menegangkan untuk disaksikan. Misalnya saja saat Kinney bersembunyi di cekungan sungai, lalu tiba-tiba ada anjing yang mendekatinya, padahal saat itu banyak musuh berkeliaran.
Atau saat Kinney lagi-lagi terkepung musuh pada malam hari, padahal saat itu ia sudahditunggu helikopter penyelamat. Dalam adegan lainnya, ia juga tiba-tiba kehilangan kontak dengan Eddie. Kerap kali, Kinney harus berpacu dengan waktu agar bisa selamat dari maut, dan ini yang menimbulkan rasa tegang buat penonton.
Cara sutradara William Eubank, yang juga menulis skenarionya bersama David Frigerio, dalam merangkai drama di medan perang dengan drama di markas tentara tempat Eddie memandu, bisa dibilang cukup apik. Russel Crowe yang lebih banyak berakting dengan duduk di kursi pun tak kalah pesonanya dengan mereka yang berlaga di lapangan.
Bagi penggemar film perang dan terorisme, Land of Badbisa jadi adalah kisah yang menghibur. Namun bagi penonton yang sudah bosan dengan film berbau propaganda Amerika Serikat, film ini bukan pilihan terbaik untuk ditonton.
Dalam film-film perang atau mata-mata Amerika Serikat, tiga kategori musuh tersebut selalu muncul berulang dengan kemasan adegan aksi yang berbeda-beda. Misalnya saja Red Dawn(1984, dan versi remake-nya tahun 2012), Salt (2010) yang dimainkan Angelina Jolie, Mission: Impossible - Ghost Protocol (2011) yang diperankan oleh Tom Cruise, The Deer Hunter (1978), dan film-film berlatar 9/11.
Dalam film-film tersebut, pihak lawan selalu digambarkan sebagai sosok haus darah yang sangat kejam, gemar menyiksa, juga licik. Sementara pihak Amerika Serikat digambarkan sebagai protagonis yang setia kawan dan menjunjung nilai kemanusiaan.
Resep ini kembali diulang dalam film action thriller Land of Bad. Ceritanya tentang tim Delta Force yang terdiri dari empat orang. Mereka diberi misi menyelamatkan agen CIA yang disekap teroris di pedalaman Mindanao, Filipina.
Mereka adalah Sersan JJ "Playboy" Kinney (Liam Hemsworth), Sersan Abel (Luke Hemsworth), Sersan Bishop (Ricky Whittle), dan Sersan Utama John "Sugar" Sweet (Milo Ventimiglia). Adapun lawan mereka adalah kelompok teroris separatis Abu Sayyaf.
Foto: Paramount
Tim harus masuk menembus hutan tropis, wilayah yang mereka tak kenal sama sekali. Untungnya, mereka punya 'mata langit' alias drone yang dipandu oleh Kapten Eddie "Reaper" Grimm (Russell Crowe) dan Staf Sersan Nia Branson (Chika Ikogwe).
Dengan dronecanggih tersebut, Eddie memberi tahu rute aman yang bisa tim tersebut tempuh, apakah ada musuh yang bergerak di sekitar mereka, hingga meluncurkan rudal dan helikopter penyelamat bagi tim kecil tersebut. Inilah perang gaya baru dengan teknologi tinggi yang membantu prajurit di lapangan.
Sejak awal cerita, para teroris digambarkan sangat kejam. Mereka tega memenggal kepala seorang perempuan, dengan sebelumnya meneriakkan kalimat takbir. Seperti layaknya film-film heroik, karakter musuh hanya ditempatkan sebagai sosok satu dimensi yang tak punya fungsi lain dalam film selain jadi antagonis dan harus dimusnahkan.
Sedangkan karakter protagonis diberikan latar belakang kehidupan mereka untuk menarik simpati penonton. Misalnya saja Kinney yang dianggap anak bawang oleh rekan-rekannya karena minim pengalaman. Juga Eddie yang pemberontak, kariernya mandek, dan sedikit banyak kurang disukai rekan-rekannya.
Foto: Paramount
Dengan pemberian latar belakang tersebut, cerita tentang usaha penyelamatan dan keluar dari 'neraka' dalam kondisi hidup-hidup jadi sesuatu yang menegangkan untuk disaksikan. Misalnya saja saat Kinney bersembunyi di cekungan sungai, lalu tiba-tiba ada anjing yang mendekatinya, padahal saat itu banyak musuh berkeliaran.
Atau saat Kinney lagi-lagi terkepung musuh pada malam hari, padahal saat itu ia sudahditunggu helikopter penyelamat. Dalam adegan lainnya, ia juga tiba-tiba kehilangan kontak dengan Eddie. Kerap kali, Kinney harus berpacu dengan waktu agar bisa selamat dari maut, dan ini yang menimbulkan rasa tegang buat penonton.
Cara sutradara William Eubank, yang juga menulis skenarionya bersama David Frigerio, dalam merangkai drama di medan perang dengan drama di markas tentara tempat Eddie memandu, bisa dibilang cukup apik. Russel Crowe yang lebih banyak berakting dengan duduk di kursi pun tak kalah pesonanya dengan mereka yang berlaga di lapangan.
Bagi penggemar film perang dan terorisme, Land of Badbisa jadi adalah kisah yang menghibur. Namun bagi penonton yang sudah bosan dengan film berbau propaganda Amerika Serikat, film ini bukan pilihan terbaik untuk ditonton.
(ita)