Review Film A Shuttlecock to Tomorrow: Romansa nan Manis dan Tetap Sportif

Rabu, 21 Februari 2024 - 14:43 WIB
loading...
A A A
Sebelum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 ini terbit pun, pemerintah sudah memberikan apresiasi finansial bagi para atlet yang mengikuti dan menang dalam ajang Olimpiade Tokyo 2021.

Apresiasi tertinggi bagi peraih medali emas diberikan uang sebesar Rp5,5 miliar, perak Rp2,5 miliar, dan perunggu Rp1,5 miliar. Tak hanya itu, apresiasi berupa uang pun diberikan bagi pelatih dan atlet yang tidak menang saat itu.

Saat itu, atlet bulu tangkis ganda putri Greysia Polii dan Apriyani Rahayu mendapatkan bonus dari medali emas, dan lifter Eko Yuli Irawan menerima bonus dari medali perak. Adapun para peraih medali perunggu yaitu Windy Cantika Aisah (angkat besi), Rahmat Erwin Abdullah (angkat besi), dan Anthony Sinisuka Ginting (bulu tangkis).

Review Film A Shuttlecock to Tomorrow: Romansa nan Manis dan Tetap Sportif

Foto: Vidsee

Pemberian bonus dengan angka tersebut dinilai baru dan fantastis sehingga membawa angin segar bagi para calon atlet dan atlet yang sedang aktif saat ini. Harapan menjadi atlet bisa menjamin hidup pun semakin terbuka.

Tokoh Ibu dalam film A Shuttlecock to Tomorrow ini juga menyakini bahwa hidup seorang atlet sekarang akan lebih sejahtera. Dia mengatakan bahwa sejak muda pendidikan seorang atlet profesional bisa ditopang dari beasiswa. Meskipun dari keadaan ekonomi keluarga yang kurang baik, seorang atlet pada akhirnya bisa bersekolah tinggi dan nantinya punya kesempatan profesional lainnya.

Pendapat si Ibu tidak salah. Jika mencari di mesin pencarian dengan kata kunci “beasiswa untuk atlet” akan kita temui banyak universitas di Indonesia memberi tawaran beasiswa lewat jalur prestasi olahraga. Tidak hanya universitas, jenjang SMP dan SMA negeri pun memberi kuota untuk siswa baru berprestasi olahraga setiap tahunnya. Demikian juga di beberapa sekolah swasta.

Dilansir dari situs Kemenpora.go.id, Menteri Pemuda dan Olahraga RI Zainudin Amali, pada 2022 sempat juga bekerja sama dengan Universitas Prof. Dr. Moestopo dalam penyediaan beasiswa bagi lima atlet berprestasi dari cabang atletik. Ke depannya, Kemenpora berharap bahwa perguruan tinggi akan jadi tempat menuai para kader berprestasi, salah satunya adalah atlet.

Kisah Para Atlet dalam Film

Semangat pantang menyerah dan jiwa sportif biasanya adalah hal menonjol yang diceritakan dalam film-film bertemakan olahraga. Demikian halnya yang menjadi akar dari film A Shuttlecock to Tomorrow.

Tokoh utama si calon atlet perempuan ini berkali-kali gagal dalam audisi, tetapi juga tak menyerah karena punya satu tujuan. Semangat tak mudah putus asa itu pun tergambarkan hingga akhir cerita meskipun jalan yang dia tempuh sudah berbeda.

Masih lekat dalam ingatan film Garuda di Dadaku yang dirilis pada 2009. Kisah Bayu, siswa kelas 6 SD, yang punya cita-cita menjadi pemain sepak bola terinspirasi dari keinginan bapaknya dulu.

Keinginan Bayu ditentang Usman, kakeknya. Meski dilarang, Bayu tetap tidak pantang menyerah. Dia pun berhasil menjadi bagian dari Timnas U13 yang akan berhadapan dengan Jepang kala itu. Garuda Di Dadaku berhasil menyabet Piala Citra kategori Film Anak Terbaik FFI 2009 dan masuk di beberapa nominasi untuk aktor terbaik, penulis skenario terbaik, dan tata musik terbaik.

Selain Garuda Di Dadaku, ada juga 3 Srikandi. Orang yang awam mengenai cabang olahraga memanah menjadi tahu bahwa Indonesia pernah punya tiga orang atlet gemilang pada masanya. Terinspirasi dari kisah nyata, film ini menceritakan perjuangan Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies (Chelsea Islan) dan Kusuma (Tara Basro) saat merebut medall perak pertama dalam ajang Olimpiade Seoul 1988.

Review Film A Shuttlecock to Tomorrow: Romansa nan Manis dan Tetap Sportif

Foto: Vidsee

Dalam film ini ada tokoh Donald Pandiangan, “Robin Hood Indonesia“, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Donald adalah seorang atlet lawas yang kecewa kepada pemerintah karena batal bertanding di Olimpiade Musim Panas 1980 di Moskwa karena alasan politis.

Sesungguhnya, keadaan semacam itu realita yang terjadi dalam dunia olahraga Indonesia. Film-film Hollywood termasuk banyak menyuguhkan tema-tema olahraga dari aneka cabang olahraga dan sudut pandang tokoh yang berbeda.

Tidak hanya atlet, Home Team (2022) adalah salah satu yang bercerita tentang kisah nyata seorang pelatih, Sean Payton. Cerita mengambil latar waktu ketika Sean ditangguhkan oleh NFL selama setahun dan kembali ke kampung halamannya, menemui anak lelakinya yang berusia 12 tahun.

Invictus (2009) adalah salah satu yang sukses pada masanya dan berhasil masuk sebagai nomine Oscar 2009 kategori aktor terbaik dan pemeran pendukung pria terbaik. Kisahnya adalah nyata tentang Nelson Mandela setelah keluar dari penjara pada tahun 1990.



Empat tahun setelahnya, ketika dinobatkan sebagai Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, ia menanggapi isu rasisme dengan bekerja sama dengan kapten tim Rugby berkulit putih, Francois Pienaar, saat menjadi tuan rumah Rugby World Cup 1995.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1389 seconds (0.1#10.140)