Review Film Dua Pilar Satu Atap: Drama Keluarga tentang Indahnya Bertoleransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorangperempuandengan tangan bertato terlihat duduk seenaknya di kursi. Sosoknya yang membelakangi layar tampak tak terlihat, selain gerakan ayunan tangannya yang memegang sebatang rokok yang masih menyala.
Di hadapannya, terduduk seorang gadis yang terlihat sedih nan muram. Dari dialog yang mereka lontarkan, terbuka fakta bahwa si perempuan bukanlah ibu kandung si gadis muda itu. Ia ternyata anak hibahan yang diberi keluarga biologisnya ke perempuan itu untuk membuang sial sesuai tradisi Tionghoa. Kini si perempuan memintanya kembali ke keluarga aslinya yang sekarang, karena mereka mau mengambil si gadis kembali sebagai anggota keluarga mereka.
Deskripsi adegan pembuka film pendek Dua Pilar Satu Atap yang dramatis di atas rupanya tidak menggambarkan tema keseluruhan filmnya. Selepas adegan prolog tadi, penonton lalu dibawa pada kehidupan keluarga biologis gadis itu.
Setelah ibunya meninggal, kini sang ayah memutuskan mengambil kembali anak yang dahulu dianggapnya membawa bala. Menjalani keseharian baru bersama keluarga aslinya memang cukup asing dan kagok, untungnya dalam prosesnya begitu banyak kehangatan yang hadir dengan sebuah kejutan menarik di akhir cerita.
Film pendek produksi kolaborasi Shockfilm dan Imasfek Universitas Sriwijaya asal Palembang, Sumatera Selatan, ini memang memiliki kisah yang cukup bombastis di menit awalnya, tapi saat mengalir malah terasa hangat ke belakang hingga kredit bergulir.
Dalam tiap adegan hanya digambarkan ada sesuatu yang belum terlihat saat keluarga ini masih terlihat kaku menyambut si gadis yang bernama Daisy. Daisy bahkan dipasang untuk memunggungi penonton di tiap adegan makan malam. Hingga di pengujung alur baru terlihat ternyata Daisy memiliki gesture tangan yang berbeda saat berdoa sebelum menyantap makan malamnya.
Hal ini juga terlihat melalui eksterior set film yang memperlihatkan patung dewi Kwan Im dan garu khas warga Tionghoa penganut Konghucu, tapi Daisy lalu tampak sedang mengaji di kamarnya selepas ibadah salat. Dalam satu adegan juga terlihat keluarga ini menyingkirkan panci wajan dan alat makan mereka untuk diganti dengan yang baru, menegaskan toleransi mereka pada Daisy yang pantang mengonsumsi babi, termasuk menggunaka peralatan bekas hewan yang dianggap najis dalam agamanya tersebut.
Adegan ini sangathalus, tapi menekankan betapa tolerannya keluarga ini terhadap anggota baru mereka. Betapa sang ayah yang merasa berdosa pernah membuang anak kandungnya sendiri demi kepercayaan yang dianutnya.
Karena selain toleransi yang tersirat dalam filmnya, Dua Pilar Satu Atap juga membawa pesan mengampuni dosa keluarga. Daisy yang awalnya tak terima dengan realita dirinya dibuang sejak masih kecil ke PSK, harus melepas amarahnya dan memaafkan ayahnya. Dengan dukungan sang kakak, Lily, ia lalu bisa mengampuni ayahnya dan memulai lembaran baru bersama keluarganya.
Foto:Shockfilm
Walaupun, tradisi buang anak ini belum saya temui literatur maupun faktanya dalam warga Tionghoa, yang bisa jadi cuma rekaan untuk keperluan dramatisasi cerita. Meskipun tradisi ini ada di kalangan masyarakat suku Jawa, dengan syarat si anak yang dititipkan ke keluarga jauhnya bakal diambil lagi setelah beberapa tahun.
Satu hal yang pasti, pesan toleransi antar-agama dalam film ini terasa begitu kuat. Halus tapi terasa pekat tertanam di benak penonton. Sesuatu yang dirasa sangat penting mengingat buruknya situasi toleransi antar umat beragama di negeri ini. Seharusnya ada lebih banyak film-film dengan pesan subtil toleransi yang bisa dilihat penonton.
Ini agar di alam bawah sadar banyak orang bisa menyadari betapa indahnya tolerasi itu, tanpa terkesan menggurui atau mendoktrin. Di negara yang majemuk dengan beragam budaya, etnis dan agama, belakangan ini rasa toleransi masyarakat mulai menipis berganti dengan rasa chauvinisme dan sektarianisme yang merusak dasar negara kita.
Memupuk rasa toleransi memang tidak semudah itu apalagi bila ego memiliki privilese mayoritas dan mengganggap orang lain yang berbeda sebagai sesuatu yang aneh dan wajib dipersekusi.
Masih terngiang bagaimana tragedi kerusuhan Mei 1998 di ingatan banyak orang, bagaiamana catatan kelam ini akan mewarnai sejarah Indonesia selamanya. Kini, tradisi toleransi bangsa kita yang terkenal ramah-tamah mulai terlihat pupus pelan-pelan , dengan maraknya aksi intoleran yang bisa kita lihat di portal-portal berita.
Foto: Shockfilm
Film sebagai media hiburan atau eskapisme bagi mereka yang kontemplatif, adalah sarana persuasif yang cukup efektif. Di zaman Perang Dunia II, NAZI bahkan memproduksi film-film propaganda. Ini dibalas melalui film propaganda buatan pemerintah Inggris yg menjadi portfolio awal sutradara kondang Alfred Hitchcock yang menyutradarai beberapa filmnya saat itu.
Dengan format audio visual, penonton film dapat tersugesti untuk mengambil 'sesuatu' dari film tersebut. Pengalaman menonton film pun juga sebuah penagalaman subyektif yang dirasa berbeda-beda dari tiap sudut pandang penontonnya. Maka bisa jadi film yang menurut si A bagus, tapi dianggap si B biasa-biasa saja, atau bahkan dicap buruk oleh si C.
Di hadapannya, terduduk seorang gadis yang terlihat sedih nan muram. Dari dialog yang mereka lontarkan, terbuka fakta bahwa si perempuan bukanlah ibu kandung si gadis muda itu. Ia ternyata anak hibahan yang diberi keluarga biologisnya ke perempuan itu untuk membuang sial sesuai tradisi Tionghoa. Kini si perempuan memintanya kembali ke keluarga aslinya yang sekarang, karena mereka mau mengambil si gadis kembali sebagai anggota keluarga mereka.
Deskripsi adegan pembuka film pendek Dua Pilar Satu Atap yang dramatis di atas rupanya tidak menggambarkan tema keseluruhan filmnya. Selepas adegan prolog tadi, penonton lalu dibawa pada kehidupan keluarga biologis gadis itu.
Setelah ibunya meninggal, kini sang ayah memutuskan mengambil kembali anak yang dahulu dianggapnya membawa bala. Menjalani keseharian baru bersama keluarga aslinya memang cukup asing dan kagok, untungnya dalam prosesnya begitu banyak kehangatan yang hadir dengan sebuah kejutan menarik di akhir cerita.
Film pendek produksi kolaborasi Shockfilm dan Imasfek Universitas Sriwijaya asal Palembang, Sumatera Selatan, ini memang memiliki kisah yang cukup bombastis di menit awalnya, tapi saat mengalir malah terasa hangat ke belakang hingga kredit bergulir.
Pesan Toleransi dan Alam Bawah Sadar Penonton
Disutradarai Ilham Prajatama yang juga bertindak sebagai penulis skenario filmnya, Dua Pilar Satu Atap sebenarnya hanyalah sebuah film keluarga dengan pesan subtil yang terasa penting untuk kondisi saat ini, yaitu indahnya bertoleransi. Dengan halus Ilham bahkan tidak menyinggung perbedaan agama yang dianut si gadis dan anggota keluarga lainnya secara lisan.Dalam tiap adegan hanya digambarkan ada sesuatu yang belum terlihat saat keluarga ini masih terlihat kaku menyambut si gadis yang bernama Daisy. Daisy bahkan dipasang untuk memunggungi penonton di tiap adegan makan malam. Hingga di pengujung alur baru terlihat ternyata Daisy memiliki gesture tangan yang berbeda saat berdoa sebelum menyantap makan malamnya.
Hal ini juga terlihat melalui eksterior set film yang memperlihatkan patung dewi Kwan Im dan garu khas warga Tionghoa penganut Konghucu, tapi Daisy lalu tampak sedang mengaji di kamarnya selepas ibadah salat. Dalam satu adegan juga terlihat keluarga ini menyingkirkan panci wajan dan alat makan mereka untuk diganti dengan yang baru, menegaskan toleransi mereka pada Daisy yang pantang mengonsumsi babi, termasuk menggunaka peralatan bekas hewan yang dianggap najis dalam agamanya tersebut.
Adegan ini sangathalus, tapi menekankan betapa tolerannya keluarga ini terhadap anggota baru mereka. Betapa sang ayah yang merasa berdosa pernah membuang anak kandungnya sendiri demi kepercayaan yang dianutnya.
Karena selain toleransi yang tersirat dalam filmnya, Dua Pilar Satu Atap juga membawa pesan mengampuni dosa keluarga. Daisy yang awalnya tak terima dengan realita dirinya dibuang sejak masih kecil ke PSK, harus melepas amarahnya dan memaafkan ayahnya. Dengan dukungan sang kakak, Lily, ia lalu bisa mengampuni ayahnya dan memulai lembaran baru bersama keluarganya.
Foto:Shockfilm
Walaupun, tradisi buang anak ini belum saya temui literatur maupun faktanya dalam warga Tionghoa, yang bisa jadi cuma rekaan untuk keperluan dramatisasi cerita. Meskipun tradisi ini ada di kalangan masyarakat suku Jawa, dengan syarat si anak yang dititipkan ke keluarga jauhnya bakal diambil lagi setelah beberapa tahun.
Satu hal yang pasti, pesan toleransi antar-agama dalam film ini terasa begitu kuat. Halus tapi terasa pekat tertanam di benak penonton. Sesuatu yang dirasa sangat penting mengingat buruknya situasi toleransi antar umat beragama di negeri ini. Seharusnya ada lebih banyak film-film dengan pesan subtil toleransi yang bisa dilihat penonton.
Ini agar di alam bawah sadar banyak orang bisa menyadari betapa indahnya tolerasi itu, tanpa terkesan menggurui atau mendoktrin. Di negara yang majemuk dengan beragam budaya, etnis dan agama, belakangan ini rasa toleransi masyarakat mulai menipis berganti dengan rasa chauvinisme dan sektarianisme yang merusak dasar negara kita.
Memupuk rasa toleransi memang tidak semudah itu apalagi bila ego memiliki privilese mayoritas dan mengganggap orang lain yang berbeda sebagai sesuatu yang aneh dan wajib dipersekusi.
Masih terngiang bagaimana tragedi kerusuhan Mei 1998 di ingatan banyak orang, bagaiamana catatan kelam ini akan mewarnai sejarah Indonesia selamanya. Kini, tradisi toleransi bangsa kita yang terkenal ramah-tamah mulai terlihat pupus pelan-pelan , dengan maraknya aksi intoleran yang bisa kita lihat di portal-portal berita.
Foto: Shockfilm
Film sebagai media hiburan atau eskapisme bagi mereka yang kontemplatif, adalah sarana persuasif yang cukup efektif. Di zaman Perang Dunia II, NAZI bahkan memproduksi film-film propaganda. Ini dibalas melalui film propaganda buatan pemerintah Inggris yg menjadi portfolio awal sutradara kondang Alfred Hitchcock yang menyutradarai beberapa filmnya saat itu.
Dengan format audio visual, penonton film dapat tersugesti untuk mengambil 'sesuatu' dari film tersebut. Pengalaman menonton film pun juga sebuah penagalaman subyektif yang dirasa berbeda-beda dari tiap sudut pandang penontonnya. Maka bisa jadi film yang menurut si A bagus, tapi dianggap si B biasa-biasa saja, atau bahkan dicap buruk oleh si C.