CERMIN: Benarkah Hercule Poirot Tak Percaya Tuhan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1920. Dunia untuk pertama kalinya berkenalan dengan seorang detektif bernama Hercule Poirot. Selanjutnya sang detektif mengisi lebih dari 30 judul novel dan lebih dari 50 cerita pendek yang ditulis oleh Agatha Christie.
Saya mulai berkenalan dengan novel-novel yang ditulis Agatha di bangku SMP. Ketika mulai membaca, Agatha begitu terampil memilin plot, menampilkan karakter-karakter menarik, mencecerkan hipotesis hingga deduksi sepanjang ratusan halaman novel. Salah satu karakter paling menarik dan bisa jadi paling sering menjadi karakter utama cerita-ceritanya adalah detektif bernama Hercule Poirot.
Hercule diperkenalkan oleh Agatha melalui novel The Mysterious Affair at Styles pada 1920. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, caranya mengumpulkan fakta demi fakta yang berceceran dan kelak membuat konklusi mengagumkan dan sering kali tak terpikirkan membuat banyak yang mengagumi sosok fiktif ini, termasuk saya.
Sejak film Murder on the Orient Express dirilis pada 2017, Kenneth Branagh memperkenalkan ulang tokoh detektif paling terkenal sejagat itu. Kenneth sekaligus memerankan Hercule dengan cemerlang meskipun ciri fisiknya tak seperti imajinasi mereka yang sudah membaca puluhan judul novel Agatha.
Di tangan Kenneth, Hercule tetap menjadi sosok detektif yang cerdik memosisikan dirinya di sudut netral. Tak banyak aspek-aspek pribadi tentang Hercule yang bisa dibongkar dalam Murder on the Orient Express(2017) dan Death on the Nile (2022). Tapi di jilid ketiganya berjudul A Haunting in Venice, ada satu hal yang menarik dibahas yaitu tentang Hercule yang tak memercayai Tuhan.
Foto:20th Century Studios
Kali ini Hercule melakukan petualangannya di Venice, Italia. Tak jelas apakah ia sedang berlibur di sana hingga seseorang yang mengaku sebagai temannya, penulis Ariadne Oliver, menghampirinya. Ia mengundang Hercule untuk datang ke acara pemanggilan arwah bertepatan dengan perayaan Helloween di seantero kota.
Anak-anak berhamburan ke sekujur kota dengan mengenakan kostum dan mengetuk pintu demi pintu agar bisa mendapatkan permen atau apapun dari tuan rumah. Hercule dengan setelan khasnya memenuhi undangan itu dengan ogah-ogahan. Dengan satu alasan jelas.
Hercule lantas bertemu Mrs Reynolds, seorang cenayang yang diminta secara khusus agar bisa membuka komunikasi antara Rowena dengan putrinya yang telah meninggal, Alicia. Hercule yang skeptis menurut saja ketika acara pemanggilan arwah dilakukan. Ia skeptis karena satu alasan jelas: bagaimana mungkin ia percaya arwah, jika ia pun sesungguhnya tak percaya Tuhan?
Tapi lupakan dulu soal Hercule yang tak percaya Tuhan. Karena di rumah besar dengan aura menakutkan itu pada akhirnya memang terjadi pembunuhan demi pembunuhan. Bahkan Hercule nyaris menjadi korbannya.
Hercule pun tak percaya ketika melihat dirinya bisa berkomunikasi dengan “mereka yang tak tampak”. Setelah peristiwa ini, apakah Hercule akan kembali percaya Tuhan?
Foto: 20th Century Studios
Mengadaptasi novel berikut karakter yang sudah dibaca puluhan juta orang di seluruh dunia memang tak mudah. Sejak awal Kenneth memanggul beban berat di pundaknya. Sejumlah kritik tak pernah reda menyebut soal penafsirannya akan karakter Hercule Poirot. Tokoh ini sudah diperankan banyak aktor, di antaranya bahkan sejumlah aktor kaliber.
Sebut saja Peter Ustinov (peraih dua Oscar melalui film Spartacus dan Topkapi), juga Albert Finney (nomine Oscar sebanyak lima kali) dan John Malkovich (nomine Oscar sebanyak dua kali). Kenneth sendiri baru sekali dinominasikan meraih Oscar pada 2012 untuk film My Week with Marylin.
Namun yang juga banyak dikritik dari Kenneth adalah bagaimana ia menafsirkan beberapa hal spesifik yang sesungguhnya disebut secara jelas dalam novel-novel Agatha. Dalam A Haunting in Venice yang menjadi sorotan adalah bagaimana Hercule mengaku dirinya tak percaya Tuhan.
Padahal dalam beberapa judul novel disebutkan bahwa Hercule adalah seorang “penganut Katolik yang baik”. Dalam Murder in Mesopotamia terdapat petikan dialog yang menjelaskan hal tersebut.
"Then he said quite irrelevantly: ‘An interesting man, that Father Lavigny.’
‘A monk being an archaeologist seems odd to me,’ I said.
‘Ah, yes, you are a Protestant. Me, I am a good Catholic. I know something of priests and monks’".
Foto: 20th Century Studios
Bahkan dalam sebuah cerita berjudul Taken at the Flood, Hercule dikisahkan memasuki gereja Katolik untuk berdoa. Tak jelas betul apa motivasi Kenneth mengaburkan latar belakang yang cukup penting dari Hercule demi “memuluskan” cerita dalam A Haunting in Venice. Entah ada hubungannya atau tidak, juga terasa betul betapa kedodorannya skenario yang diracik Michelle Green ini.
Tak banyak aksi yang terjadi, apalagi yang sering kali mendebarkan. Dinamika ceritanya berjalan datar dan sering kali membosankan, juga tak ada upaya lebih untuk menggali latar belakang karakter-karakter yang hadir dalam cerita. Bahkan Hercule pun terasa seperti detektif biasa, bukan detektif berkepala bulat telur yang dipuja puluhan juta pembaca novel Agatha Christie.
Setelah trilogi Murder on the Orient Express, Death on the Nile, dan A Haunting in Venice, sebaiknya Kenneth berpikir ulang apakah ia masih cukup pantas memerankan Hercule dalam jilid-jilid selanjutnya, atau mungkin menyerahkannya kepada aktor yang secara fisik lebih mendekati imajinasi pembaca. Mungkin seperti Gary Oldman?
A Haunting in Venice
Produser: Kenneth Branagh, Judy Hofflund, Simon Kinberg, Ridley Scott
Sutradara: Kenneth Branagh
Penulis Skenario: Michelle Green
Pemain: Kenneth Branagh, Tina Fey, Kelly Reilly
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
Saya mulai berkenalan dengan novel-novel yang ditulis Agatha di bangku SMP. Ketika mulai membaca, Agatha begitu terampil memilin plot, menampilkan karakter-karakter menarik, mencecerkan hipotesis hingga deduksi sepanjang ratusan halaman novel. Salah satu karakter paling menarik dan bisa jadi paling sering menjadi karakter utama cerita-ceritanya adalah detektif bernama Hercule Poirot.
Hercule diperkenalkan oleh Agatha melalui novel The Mysterious Affair at Styles pada 1920. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, caranya mengumpulkan fakta demi fakta yang berceceran dan kelak membuat konklusi mengagumkan dan sering kali tak terpikirkan membuat banyak yang mengagumi sosok fiktif ini, termasuk saya.
Sejak film Murder on the Orient Express dirilis pada 2017, Kenneth Branagh memperkenalkan ulang tokoh detektif paling terkenal sejagat itu. Kenneth sekaligus memerankan Hercule dengan cemerlang meskipun ciri fisiknya tak seperti imajinasi mereka yang sudah membaca puluhan judul novel Agatha.
Di tangan Kenneth, Hercule tetap menjadi sosok detektif yang cerdik memosisikan dirinya di sudut netral. Tak banyak aspek-aspek pribadi tentang Hercule yang bisa dibongkar dalam Murder on the Orient Express(2017) dan Death on the Nile (2022). Tapi di jilid ketiganya berjudul A Haunting in Venice, ada satu hal yang menarik dibahas yaitu tentang Hercule yang tak memercayai Tuhan.
Foto:20th Century Studios
Kali ini Hercule melakukan petualangannya di Venice, Italia. Tak jelas apakah ia sedang berlibur di sana hingga seseorang yang mengaku sebagai temannya, penulis Ariadne Oliver, menghampirinya. Ia mengundang Hercule untuk datang ke acara pemanggilan arwah bertepatan dengan perayaan Helloween di seantero kota.
Anak-anak berhamburan ke sekujur kota dengan mengenakan kostum dan mengetuk pintu demi pintu agar bisa mendapatkan permen atau apapun dari tuan rumah. Hercule dengan setelan khasnya memenuhi undangan itu dengan ogah-ogahan. Dengan satu alasan jelas.
Hercule lantas bertemu Mrs Reynolds, seorang cenayang yang diminta secara khusus agar bisa membuka komunikasi antara Rowena dengan putrinya yang telah meninggal, Alicia. Hercule yang skeptis menurut saja ketika acara pemanggilan arwah dilakukan. Ia skeptis karena satu alasan jelas: bagaimana mungkin ia percaya arwah, jika ia pun sesungguhnya tak percaya Tuhan?
Tapi lupakan dulu soal Hercule yang tak percaya Tuhan. Karena di rumah besar dengan aura menakutkan itu pada akhirnya memang terjadi pembunuhan demi pembunuhan. Bahkan Hercule nyaris menjadi korbannya.
Hercule pun tak percaya ketika melihat dirinya bisa berkomunikasi dengan “mereka yang tak tampak”. Setelah peristiwa ini, apakah Hercule akan kembali percaya Tuhan?
Foto: 20th Century Studios
Mengadaptasi novel berikut karakter yang sudah dibaca puluhan juta orang di seluruh dunia memang tak mudah. Sejak awal Kenneth memanggul beban berat di pundaknya. Sejumlah kritik tak pernah reda menyebut soal penafsirannya akan karakter Hercule Poirot. Tokoh ini sudah diperankan banyak aktor, di antaranya bahkan sejumlah aktor kaliber.
Sebut saja Peter Ustinov (peraih dua Oscar melalui film Spartacus dan Topkapi), juga Albert Finney (nomine Oscar sebanyak lima kali) dan John Malkovich (nomine Oscar sebanyak dua kali). Kenneth sendiri baru sekali dinominasikan meraih Oscar pada 2012 untuk film My Week with Marylin.
Namun yang juga banyak dikritik dari Kenneth adalah bagaimana ia menafsirkan beberapa hal spesifik yang sesungguhnya disebut secara jelas dalam novel-novel Agatha. Dalam A Haunting in Venice yang menjadi sorotan adalah bagaimana Hercule mengaku dirinya tak percaya Tuhan.
Padahal dalam beberapa judul novel disebutkan bahwa Hercule adalah seorang “penganut Katolik yang baik”. Dalam Murder in Mesopotamia terdapat petikan dialog yang menjelaskan hal tersebut.
"Then he said quite irrelevantly: ‘An interesting man, that Father Lavigny.’
‘A monk being an archaeologist seems odd to me,’ I said.
‘Ah, yes, you are a Protestant. Me, I am a good Catholic. I know something of priests and monks’".
Foto: 20th Century Studios
Bahkan dalam sebuah cerita berjudul Taken at the Flood, Hercule dikisahkan memasuki gereja Katolik untuk berdoa. Tak jelas betul apa motivasi Kenneth mengaburkan latar belakang yang cukup penting dari Hercule demi “memuluskan” cerita dalam A Haunting in Venice. Entah ada hubungannya atau tidak, juga terasa betul betapa kedodorannya skenario yang diracik Michelle Green ini.
Tak banyak aksi yang terjadi, apalagi yang sering kali mendebarkan. Dinamika ceritanya berjalan datar dan sering kali membosankan, juga tak ada upaya lebih untuk menggali latar belakang karakter-karakter yang hadir dalam cerita. Bahkan Hercule pun terasa seperti detektif biasa, bukan detektif berkepala bulat telur yang dipuja puluhan juta pembaca novel Agatha Christie.
Setelah trilogi Murder on the Orient Express, Death on the Nile, dan A Haunting in Venice, sebaiknya Kenneth berpikir ulang apakah ia masih cukup pantas memerankan Hercule dalam jilid-jilid selanjutnya, atau mungkin menyerahkannya kepada aktor yang secara fisik lebih mendekati imajinasi pembaca. Mungkin seperti Gary Oldman?
A Haunting in Venice
Produser: Kenneth Branagh, Judy Hofflund, Simon Kinberg, Ridley Scott
Sutradara: Kenneth Branagh
Penulis Skenario: Michelle Green
Pemain: Kenneth Branagh, Tina Fey, Kelly Reilly
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Lihat Juga: Sinopsis Film Korea Omniscient Reader's Viewpoint dan Daftar 8 Pemainnya, Bujet Rp354 Miliar
(ita)