CERMIN: Oppenheimer dan Bagaimana Seharusnya Film Biopik Dibuat

Jum'at, 21 Juli 2023 - 13:25 WIB
loading...
CERMIN: Oppenheimer dan Bagaimana Seharusnya Film Biopik Dibuat
Film biopik Oppenheimer menggambarkan tokoh utamanya sebagai sosok dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Foto/Universal Pictures
A A A
JAKARTA - Tahun 2019. Setelah menyaksikan film biopik Susi Susanti: Love Alldi bioskop, saya berujar dalam hati, “Udah segini aja, nih? Bagus, sih, tapi kok berasa nggak ada perspektif baru yang ditawarkan?”

Lalu tiga tahun setelahnya saya kembali menyaksikan film biopik berbiaya jumbo, Buya Hamka Vol 1. Tentu saja sebagai sesama pembuat film, saya mengapresiasi niat baik Falcon Pictures merawat kenangan dari pemikir sebesar Buya Hamka. Tapi terasa ada yang mengganjal di hati usai menyaksikannya di bioskop. Saya merasa filmnya terlalu ingin membicarakan banyak hal dan membuat banyak hal justru terasa tak tuntas dibahas.

Hingga akhirnya saya menonton Oppenheimer. Tentu saja saya tahu siapa Robert J Oppenheimer dan bagaimana ia dijuluki Bapak Bom Atom. Tapi sebagaimana kebiasaan saya sebelum menonton film, saya jarang sekali membaca sinopsisnya. Karena saya selalu ingin membiarkan diri saya dikejutkan oleh film yang saya tonton.



Saya tahu Christopher Nolan memijakkan ceritanya pada soal bagaimana Robert dan timnya membuat bom atom. Bom yang kelak meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang sekaligus bom yang kelak juga meluluhlantakkan perasaan orang-orang yang terlibat dalam proyek yang dipimpin Robert, termasuk Robert sendiri.

CERMIN: Oppenheimer dan Bagaimana Seharusnya Film Biopik Dibuat

Foto: Universal Pictures

Yang membuat saya terkesima adalah bagaimana Christopher mengambil pendekatan yang tak pernah terbayangkan. Ia menjadikan kisah bagaimana Robert yang sebelumnya dianggap berjasa oleh negaranya lantas integritasnya hendak dihancurkan oleh kalangan tertentu hanya karena dendam pribadi. kita pun melihat Robert sama saja seperti kita, yang tak pernah imun dengan prasangka, selalu bergulat dengan emosi-emosi internalnya yang kompleks dan tak tercerabut dari statusnya sebagai seorang suami dan ayah.

Selama tiga jam dipaku ke kursi bioskop, saya menyadari satu hal yang tak pernah sejelas ini sebelumnya di kepala saya: begini seharusnya kita membuat film biopik. Fokus, intens, dan memuat pergulatan-pergulatan emosi seorang manusia.

Dalam sebuah wawancara, pembuat film dokumenter peraih Oscar, Alex Gibney, mengatakan bahwa film biopik memang selayaknya punya esensi dan tahu titik serangnya. “It’s finding an essence. It’s finding an attack”. D

Ia menambahkan lagi bahwa film biopik yang bagus selayaknya menghindar dari keinginan melakukan semuanya. “I think the ones that are less successful are the ones that dutifully try to do everything, and in trying to do everything, end up with nothing” ujar Alex.

Ada berbagai alasan mengapa pembuat film memutuskan untuk mengangkat kisah hidup seseorang ke dalam film. Dalam bukunya Bio/Pics: How Hollywood Constructed Public History (1992), George Custen menganggap bahwa biopik telah dan terus akan memiliki peran penting sebagai alat penerjemah sejarah.

Meski begitu, pihak produser memproduksi film biopik bisa saja murni karena alasan komersial. Mary Murphy dalam bukunya Model Lives: The Social Value of Filmed Arts Livesmengatakan bahwa “film biopik dapat menjadi media yang baik dalam menjembatani tuntutan pasar terkait tontonan yang tak hanya menghibur tapi juga mengedukasi”.

CERMIN: Oppenheimer dan Bagaimana Seharusnya Film Biopik Dibuat

Foto: Universal Pictures

Namun sebagai pembuat film yang baik, apakah tanggung jawab kita hanya sebatas memotret kualitas terbaik dari sang tokoh? Sebagaimana film pada umumnya, toh dramatisasi tetap saja diperlukan untuk membuat film menjadi lebih menarik dan tak membosankan.

Dennis P Bingham dalam bukunya Whose Lives Are They Anyway? The Biopic as Contemporary Film Genre (2010) berujar, “... detak nadi dari biopik adalah dorongan untuk mendramatisir kenyataan”. Namun apakah semua formula ini sudah cukup?

Saya mengamini yang dikatakan penulis buku Tom Brown seusai terkesima menyaksikan Oppenheimer. Di tangan Christopher Nolan, kisahnya menjadi sebuah studi karakter yang luar biasa menarik. Kita melihatnya menguliti karakter Robert, si tokoh utama, tidak saja kualitas terbaiknya tapi juga kualitas terburuknya yang menjadikannya manusiawi.

Namun tak cukup cuma itu. Christopher juga memperlihatkan bagaimana ia mengupas karakter begitu banyak orang yang berseliweran di sepanjang hidup Robert dan membuat Oppenheimermenonjol sebagai sebuah film biopik yang sukses.

The ones that I most enjoy are the ones that do something different, something unexpected, films that take the idea of how to tell a story about a life and invert it,” ujar Tom yang menjadi co-editor buku The Biopic in Contemporary Film Culture.

CERMIN: Oppenheimer dan Bagaimana Seharusnya Film Biopik Dibuat

Foto: Universal Pictures

Begitupun saya membayangkan tak mudah memperlihatkan kualitas buruk dari seorang tokoh di film biopik Indonesia. Sulit membayangkan film biopik tentang Soekarno akan memotret sisi gelap presiden pertama Indonesia itu yang pernah memenjarakan banyak lawan-lawan politiknya tanpa pengadilan dan dasar yang jelas.

Atau membuat film biopik tentang Kartini yang menyuarakan keras pemikirannya soal pengetahuan dan modernitas Barat yang dibawa oleh kolonialis Belanda, yang dianggapnya bisa menghapuskan tradisionalisme Jawa dan membebaskan perempuan Jawa.



“Orang menganggap penuh ‘omong-kosong’ terhadap buku-buku yang datang dari Barat .. Pendapat orang tadi tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu .. benci akan keadaan yang sejak zaman dahulu kala telah ada dan merupakan azab bagi semua kaum yang bernama perempuan. Keinginan terhadap kebebasan, berdiri sendiri dan kemerdekaan, bukan baru-baru saja .. Keadaan dalam lingkungan yang langsung dan tidak langsunglah yang menumbuhkannya.”

Saya yang telah menyiapkan membuat film biopik tentang pahlawan sepak bola asal Sulawesi Selatan, Ramang, sejak tahun 2012 seperti mendapat pencerahan usai menyaksikan Oppenheimer. Saya membayangkan filmnya akan dimulai dari bagaimana Ramang dituduh terlibat dalam Skandal Senayan yang membuat harga diri dan hidupnya terpuruk bertahun-tahun setelahnya.


Oppenheimer
Produser: Christopher Nolan, Charles Roven, Emma Thomas
Sutradara: Christopher Nolan
Penulis Skenario: Christopher Nolan
Pemain: Cillian Murphy, Robert Downey Jr, Emily Blunt

Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2563 seconds (0.1#10.140)