CERMIN: Selamat Tinggal, Ted!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2020. Saat pandemi tengah menyesakkan warga sedunia, hidup Jason Sudeikis justru didefinisikan ulang melalui serial Ted Lasso.
Serial Ted Lassotayang perdana di layanan streaming Apple TV pada 14 Agustus 2020. Ini saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena Covid-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
Jason bukan bintang baru tentunya. Ia sudah malang melintang sebagai aktor, dipasangkan dengan sejumlah bintang populer seperti Jennifer Aniston dalam We’re the Millers(2013). Namun kariernya tak pernah benar-benar cemerlang hingga ia memainkan peran sebagai Ted Lasso, seorang manajer sepak bola di Liga Inggris yang tak pernah betul-betul mengerti soal sepak bola.
Di tangan Jason, Ted menjelma sebagai salah satu peran ikonis dalam sejarah serial di Amerika yang membuatnya beroleh SAG Awards, Golden Globe, Critics Choice Awards hingga Primetime Emmy.
Foto: Apple TV
Siapa yang tak jatuh hati dengan sosok Ted? Ia tampak menyenangkan, selalu berusaha melucu dalam situasi apa pun, tak mudah menampakkan emosinya. Ted Lasso tampak seperti Robin Williams dalam kehidupan nyata.
Namun itu pula akar masalahnya. Ted selalu berusaha memperlihatkan hidupnya yang baik-baik saja meskipun ia tengah bergelut dengan masalah rumah tangganya, kesulitan hidup jauh dari putranya dan menyembunyikan rapat soal depresinya. Kita tahu semua masalah-masalah ini tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Tapi Ted Lassotak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia, bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Bagi pembuat film seperti saya, menonton Ted Lassoadalah cara belajar paling efektif tentang cara membuat cerita/skenario yang tak cuma efektif, tapi juga memberi rasa hangat di hati penonton.
Foto: Apple TV
Semua pembuat film/serial/miniseri di Indonesia wajib belajar dari serial ini dengan segala kompleksitas ceritanya, dengan begitu banyak karakter di dalamnya, tapi mampu menjaga fokus dari musim ke musim, dari episode ke episode hingga berakhir di episode 34 di musim ke-3 pada Rabu (31/5) kemarin.
Selama tiga tahun, kita melihat Ted Lassosebagaimana yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang ingin menulis ulang hidupnya, menjalani kehidupan baru di tempat baru yang sesungguhnya serba sulit tapi dijalani dengan ikhlas.
Jika tak ikhlas, Ted mungkin bisa berang tiap hari setiap melihat perkembangan timnya yang sering kali lamban. Jika tak menjalani sepenuh hati, Ted mungkin akan pulang ke Amerika. Tapi ia bertahan sebagaimana kita yang bertahan menjalani hari demi hari.
Sebagai seorang pelatih klub sepak bola, Ted dipaksa untuk belajar mengelola manusia. Pemain-pemainnya bukan robot yang bisa disetel sesuka hatinya. Mereka punya hati, punya kehidupan, yang perlu untuk diketahui.
Manajer, humas hingga tukang bersih-bersih di klub adalah manusia yang juga perlu perhatian dari Ted. Tapi ketika Ted bisa memperhatikan semua orang dan bisa begitu peduli pada mereka, siapa yang akan peduli padanya?
Foto: Apple TV
Sepak bola adalah sebuah bisnis besar. Melibatkan begitu banyak orang. Melibatkan modal puluhan juta dolar. Dan Ted berada di tengah-tengahnya dengan segala kenaifan yang dimilikinya. Tapi mungkin pula kenaifan itu yang terasa menenangkan bagi siapa pun yang berada di dekatnya, termasuk kita sebagai penonton.
Kenaifan itu selalu membuatnya berprasangka baik pada siapa pun. Ted adalah sosok malaikat berwujud manusia di tengah lapangan hijau dengan segala kelebihan dan ketaksempurnaannya.
Karena segala kualitas itu pula lah kita mencintai Ted. Mencintainya sepenuh hati selama tiga tahun. Mengikuti apa yang dilaluinya, merasakan apa yang dirasakannya, bersedih ketika ia berduka, turut bahagia ketika ia senang. Jason membuat Ted menjadi karakter yang terasa hidup di tengah-tengah masyarakat. Dan setelah ini, kita akan merindukan sosok Ted.
Terima kasih sudah menjadi teman yang baik selama tiga tahun terakhir ini, Ted. Terima kasih sudah menemani saat-saat terburuk ketika merasa hidup seolah akan berakhir.
Terima kasih sudah menyenangkan hati tatkala merasa hidup tak baik-baik saja. Dan terima kasih dengan segala ketulusan, kenaifan, kejujuran, dan ketaksempurnaan darimu yang membuatmu menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari. You will be missed.
Selamat tinggal, Ted!
Ted Lasso
Produser: Brendan Hunt, Leann Bowen, Andrew Warren, Ashley Nicole Black, Phoebe Walsh, Tina Pawlik
Penulis Skenario: Brendan Hunt, Joe Kelly, Jason Sudeikis, Phoebe Walsh, Brett Goldstein, Sasha Garron, Keeley Hazell, Dylan Marron, jane Becker, Leann Bowen, Jamie Lee, Bill Wrubel, Ashley Nicole Black, Chuck Hayward
Sutradara: Declan Lowney, M.J Delaney, Matt Lipsey, Erica Dunton, Tom Marshall, Elliot Hegarty, Destiny Ekaragha, Zach Braff, Ezra Edelman, Sam Jones
Pemain: Jason Suideikis, Brett Goldstein, Brendan Hunt
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Serial Ted Lassotayang perdana di layanan streaming Apple TV pada 14 Agustus 2020. Ini saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena Covid-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
Jason bukan bintang baru tentunya. Ia sudah malang melintang sebagai aktor, dipasangkan dengan sejumlah bintang populer seperti Jennifer Aniston dalam We’re the Millers(2013). Namun kariernya tak pernah benar-benar cemerlang hingga ia memainkan peran sebagai Ted Lasso, seorang manajer sepak bola di Liga Inggris yang tak pernah betul-betul mengerti soal sepak bola.
Di tangan Jason, Ted menjelma sebagai salah satu peran ikonis dalam sejarah serial di Amerika yang membuatnya beroleh SAG Awards, Golden Globe, Critics Choice Awards hingga Primetime Emmy.
Foto: Apple TV
Siapa yang tak jatuh hati dengan sosok Ted? Ia tampak menyenangkan, selalu berusaha melucu dalam situasi apa pun, tak mudah menampakkan emosinya. Ted Lasso tampak seperti Robin Williams dalam kehidupan nyata.
Namun itu pula akar masalahnya. Ted selalu berusaha memperlihatkan hidupnya yang baik-baik saja meskipun ia tengah bergelut dengan masalah rumah tangganya, kesulitan hidup jauh dari putranya dan menyembunyikan rapat soal depresinya. Kita tahu semua masalah-masalah ini tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Tapi Ted Lassotak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia, bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Bagi pembuat film seperti saya, menonton Ted Lassoadalah cara belajar paling efektif tentang cara membuat cerita/skenario yang tak cuma efektif, tapi juga memberi rasa hangat di hati penonton.
Foto: Apple TV
Semua pembuat film/serial/miniseri di Indonesia wajib belajar dari serial ini dengan segala kompleksitas ceritanya, dengan begitu banyak karakter di dalamnya, tapi mampu menjaga fokus dari musim ke musim, dari episode ke episode hingga berakhir di episode 34 di musim ke-3 pada Rabu (31/5) kemarin.
Selama tiga tahun, kita melihat Ted Lassosebagaimana yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang ingin menulis ulang hidupnya, menjalani kehidupan baru di tempat baru yang sesungguhnya serba sulit tapi dijalani dengan ikhlas.
Jika tak ikhlas, Ted mungkin bisa berang tiap hari setiap melihat perkembangan timnya yang sering kali lamban. Jika tak menjalani sepenuh hati, Ted mungkin akan pulang ke Amerika. Tapi ia bertahan sebagaimana kita yang bertahan menjalani hari demi hari.
Sebagai seorang pelatih klub sepak bola, Ted dipaksa untuk belajar mengelola manusia. Pemain-pemainnya bukan robot yang bisa disetel sesuka hatinya. Mereka punya hati, punya kehidupan, yang perlu untuk diketahui.
Manajer, humas hingga tukang bersih-bersih di klub adalah manusia yang juga perlu perhatian dari Ted. Tapi ketika Ted bisa memperhatikan semua orang dan bisa begitu peduli pada mereka, siapa yang akan peduli padanya?
Foto: Apple TV
Sepak bola adalah sebuah bisnis besar. Melibatkan begitu banyak orang. Melibatkan modal puluhan juta dolar. Dan Ted berada di tengah-tengahnya dengan segala kenaifan yang dimilikinya. Tapi mungkin pula kenaifan itu yang terasa menenangkan bagi siapa pun yang berada di dekatnya, termasuk kita sebagai penonton.
Kenaifan itu selalu membuatnya berprasangka baik pada siapa pun. Ted adalah sosok malaikat berwujud manusia di tengah lapangan hijau dengan segala kelebihan dan ketaksempurnaannya.
Karena segala kualitas itu pula lah kita mencintai Ted. Mencintainya sepenuh hati selama tiga tahun. Mengikuti apa yang dilaluinya, merasakan apa yang dirasakannya, bersedih ketika ia berduka, turut bahagia ketika ia senang. Jason membuat Ted menjadi karakter yang terasa hidup di tengah-tengah masyarakat. Dan setelah ini, kita akan merindukan sosok Ted.
Terima kasih sudah menjadi teman yang baik selama tiga tahun terakhir ini, Ted. Terima kasih sudah menemani saat-saat terburuk ketika merasa hidup seolah akan berakhir.
Terima kasih sudah menyenangkan hati tatkala merasa hidup tak baik-baik saja. Dan terima kasih dengan segala ketulusan, kenaifan, kejujuran, dan ketaksempurnaan darimu yang membuatmu menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari. You will be missed.
Selamat tinggal, Ted!
Ted Lasso
Produser: Brendan Hunt, Leann Bowen, Andrew Warren, Ashley Nicole Black, Phoebe Walsh, Tina Pawlik
Penulis Skenario: Brendan Hunt, Joe Kelly, Jason Sudeikis, Phoebe Walsh, Brett Goldstein, Sasha Garron, Keeley Hazell, Dylan Marron, jane Becker, Leann Bowen, Jamie Lee, Bill Wrubel, Ashley Nicole Black, Chuck Hayward
Sutradara: Declan Lowney, M.J Delaney, Matt Lipsey, Erica Dunton, Tom Marshall, Elliot Hegarty, Destiny Ekaragha, Zach Braff, Ezra Edelman, Sam Jones
Pemain: Jason Suideikis, Brett Goldstein, Brendan Hunt
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)