CERMIN: Vino G Bastian dalam Peran Paling Menantang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2004. Salah satu aktor masa depan Indonesia terlahir. Dalam sebuah peran yang selayaknya mudah dilupakan tapi ternyata banyak yang terkesan dengannya.
Tahun 2004, Vino G Bastian memainkan peran kecil dalam film 30 Hari Mencari Cintabesutan Upi. Peran sebagai cowok kemayu bernama Erik sewajarnya bisa dengan mudah dilupakan orang tapi ternyata publik mengingatnya.
Hampir 20 tahun kemudian Vino masih bertahan di sinema dan menjadi salah satu aktor terbaik di negeri ini. Kini ia memainkan salah satu peran yang bisa jadi akan membuat masyarakat mengingatnya sepanjang kariernya: sebagai sosok sastrawan dan ulama terkenal, Buya Hamka.
Film Buya Hamka adalah proyek paling ambisius yang pernah dikerjakan Falcon Pictures. Selain menyedot biaya produksi super jumbo, proyek seambisius ini tentunya memerlukan persiapan panjang, kehati-hatian melakukan riset dan menulis skenario serta bagaimana sutradara mewujudkan visinya dalam memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat terutama anak muda.
Foto: Falcon Pictures
Sedikit sekali anak muda yang tahu sepak terjang beliau, tahu pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan bijaksana, tahu karya-karyanya yang pernah menyentuh hati jutaan masyarakat negeri ini. Semangat inilah yang seharusnya dijalankan Falcon Pictures dan Starvision sejak awal. Sebelum mengenalkan filmnya, terlebih dahulu penting sekali memperkenalkan kembali sosoknya.
Remaja yang menjadi target demografi terbesar penonton bioskop yang lahir pada tahun 2000 baru berusia 11 tahun ketika film Di Bawah Lindungan Ka’bahkembali dibuang ulang. Mereka baru berusia 13 tahun ketika film Tenggelamnya Kapal Van der Wijcksukses luar biasa.
Mana tahu mereka dengan penulis roman yang mendasari dua film tersebut sekaligus sosok ulama yang mengagungkan pentingnya menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat itu. Anak-anak muda itu mana tahu Buya Hamka juga sosok yang tak setuju dengan sikap yang mudah mengharamkan apa pun yang seharusnya tak perlu diharam-haramkan.
Bisa jadi terutama bagi remaja putri, mereka tak pernah tahu Buya Hamka adalah sosok yang tak menginginkan poligami dalam kehidupannya dengan alasan sederhana: karena ia takut tak bisa berbuat adil.
Tanpa perkenalan demi perkenalan sebelumnya yang selayaknya dilakukan 1-2 tahun sebelum film dirilis di bioskop membuat anak-anak muda itu tak akrab dengan Buya Hamka. Saya pun baru tahu cukup banyak tentang pemikiran-pemikiran beliau justru setelah menonton Buya Hamka.
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja, untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya.
Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut.
Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang. Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius, hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Foto: Falcon Pictures
Dalam sebuah adegan ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, kita melihat adegan yang begitu heroik dan Buya Hamka pun ikut larut di dalamnya. Saya membayangkan adegan alternatif dari yang tergambar di layar.
Saya ingat sebuah adegan mengesankan dari Lincolnbesutan Steven Spielberg ketika apa yang diperjuangkan Abraham Lincoln tercapai. Ia hanya duduk tepekur menatap jendela di hadapannya.
Saya membayangkan sosok Buya Hamka akan melakukan hal serupa ketika apa yang diperjuangkannya dengan gigih selama bertahun-tahun demi kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai. Mungkin ia bersyukur, mungkin ia merenung, mungkin ia meneteskan airmata dalam diam dan menatap masa depan dari jendela rumahnya. Mungkin anak-anak dan istrinya akan menghambur ke pelukannya.
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali. Ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
BUYA HAMKA
Produser: Frederica, Chand Parwez Servia
Sutradara: Fajar Bustomi
Penulis Skenario: Alim Sudio, Cassandra Massardi
Pemain: Vino G Bastian, Laudya Chintya Bella, Anjasmara
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Tahun 2004, Vino G Bastian memainkan peran kecil dalam film 30 Hari Mencari Cintabesutan Upi. Peran sebagai cowok kemayu bernama Erik sewajarnya bisa dengan mudah dilupakan orang tapi ternyata publik mengingatnya.
Hampir 20 tahun kemudian Vino masih bertahan di sinema dan menjadi salah satu aktor terbaik di negeri ini. Kini ia memainkan salah satu peran yang bisa jadi akan membuat masyarakat mengingatnya sepanjang kariernya: sebagai sosok sastrawan dan ulama terkenal, Buya Hamka.
Film Buya Hamka adalah proyek paling ambisius yang pernah dikerjakan Falcon Pictures. Selain menyedot biaya produksi super jumbo, proyek seambisius ini tentunya memerlukan persiapan panjang, kehati-hatian melakukan riset dan menulis skenario serta bagaimana sutradara mewujudkan visinya dalam memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat terutama anak muda.
Foto: Falcon Pictures
Sedikit sekali anak muda yang tahu sepak terjang beliau, tahu pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan bijaksana, tahu karya-karyanya yang pernah menyentuh hati jutaan masyarakat negeri ini. Semangat inilah yang seharusnya dijalankan Falcon Pictures dan Starvision sejak awal. Sebelum mengenalkan filmnya, terlebih dahulu penting sekali memperkenalkan kembali sosoknya.
Remaja yang menjadi target demografi terbesar penonton bioskop yang lahir pada tahun 2000 baru berusia 11 tahun ketika film Di Bawah Lindungan Ka’bahkembali dibuang ulang. Mereka baru berusia 13 tahun ketika film Tenggelamnya Kapal Van der Wijcksukses luar biasa.
Mana tahu mereka dengan penulis roman yang mendasari dua film tersebut sekaligus sosok ulama yang mengagungkan pentingnya menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat itu. Anak-anak muda itu mana tahu Buya Hamka juga sosok yang tak setuju dengan sikap yang mudah mengharamkan apa pun yang seharusnya tak perlu diharam-haramkan.
Bisa jadi terutama bagi remaja putri, mereka tak pernah tahu Buya Hamka adalah sosok yang tak menginginkan poligami dalam kehidupannya dengan alasan sederhana: karena ia takut tak bisa berbuat adil.
Tanpa perkenalan demi perkenalan sebelumnya yang selayaknya dilakukan 1-2 tahun sebelum film dirilis di bioskop membuat anak-anak muda itu tak akrab dengan Buya Hamka. Saya pun baru tahu cukup banyak tentang pemikiran-pemikiran beliau justru setelah menonton Buya Hamka.
Foto: Falcon Pictures
Skenario yang disusun Alim Sudio dan Cassandra Massardi memang sengaja dibuat sebagai pemahaman bahwa kita tahu sosok Buya Hamka seperti apa. Pengenalan karakternya tipis-tipis saja, untungnya memang di tangan Vino yang membawa beban besar di pundaknya, kita bisa mengenal Buya lebih jauh dan lantas dibuat kagum karenanya.
Dalam adegan pembuka yang mengesankan, Vino memberi tahu kita betapa sosok Buya berhati lembut, begitu mencintai istrinya, pekerjaannya, dan bagaimana ia mencoba memperjuangkan pemikiran-pemikirannya.
Vino mendapat lawan main sepadan, Laudya Chintya Bella, juga dalam peran terbaiknya, sebagai sang istri Siti Raham. Vino dan Bella menghilang ke dalam tubuh Hamka dan Raham dan kita melihatnya sebagai sepasang suami istri yang tak hanya saling mencintai tapi juga saling mendukung.
Dengan penuturan yang loncat-loncat dan bisa membuat penonton dengan mudah kehilangan arah, terutama untuk mereka yang tak pernah tahu bagaimana sosok Buya Hamka sesungguhnya, kemudi film berada sepenuhnya di tangan dua pemain utama tersebut.
Terutama Vino yang menjalankan tanggung jawab berat memainkan peran Buya Hamka dalam rentang waktu yang panjang. Dari menjadi pemuda dengan keingintahuan besar dan keinginan menjelajah dunia, menjadi suami yang menekuni dunia menulis dengan serius, hingga menjadi ulama yang memilih cara tak populer agar penjajah tak perlu menginjak-injak Islam di negerinya sendiri. Buya Hamka adalah sejatinya manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Foto: Falcon Pictures
Dalam sebuah adegan ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, kita melihat adegan yang begitu heroik dan Buya Hamka pun ikut larut di dalamnya. Saya membayangkan adegan alternatif dari yang tergambar di layar.
Saya ingat sebuah adegan mengesankan dari Lincolnbesutan Steven Spielberg ketika apa yang diperjuangkan Abraham Lincoln tercapai. Ia hanya duduk tepekur menatap jendela di hadapannya.
Saya membayangkan sosok Buya Hamka akan melakukan hal serupa ketika apa yang diperjuangkannya dengan gigih selama bertahun-tahun demi kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai. Mungkin ia bersyukur, mungkin ia merenung, mungkin ia meneteskan airmata dalam diam dan menatap masa depan dari jendela rumahnya. Mungkin anak-anak dan istrinya akan menghambur ke pelukannya.
Baca Juga
Buya Hamkaadalah sebuah perjalanan heroik dari Falcon Pictures untuk memperkenalkan kembali sosok Buya Hamka ke masyarakat. Kini kita tahu Buya Hamka bukan sekadar penulis dua roman yang difilmkan berkali-kali. Ia juga seorang pemikir cemerlang dan pendakwah yang gigih.
Setelah film usai dan kita bisa menyesapi peran demi peran dari Buya Hamka tersebut, kita tahu Vino G Bastian telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perannya yang paling menantang sepanjang kariernya.
BUYA HAMKA
Produser: Frederica, Chand Parwez Servia
Sutradara: Fajar Bustomi
Penulis Skenario: Alim Sudio, Cassandra Massardi
Pemain: Vino G Bastian, Laudya Chintya Bella, Anjasmara
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)