CERMIN: Gairah Masa Muda dari Perempuan yang Sedang Jatuh Cinta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2011. Saya berusia 32 tahun saat anak pertama saya lahir tanpa disangka-sangka. Seorang perempuan yang kelak menghiasi hari-hari saya.
Tahun ini anak pertama saya itu sudah menginjak usia 12 tahun. Dan 3 tahun lagi ia sudah memasuki masa SMA seperti Laras. Dengan segala kemajuan teknologi dan semakin mudahnya akses terhadap hal-hal berbau pornografi. Tentu saja saya sebagai orangtua merasa was-was.
Tentu saja saya juga pernah muda. Saya pernah berada dalam usia seperti Laras, juga David dan Dilla. Salah satu masa terbaik dalam hidup saya dengan segala kegaduhan dan drama di dalamnya. Dan tentu saja seperti Laras, saya juga pernah merasakan gairah masa muda.
Tak ada yang salah dengan gairah. Ada yang mengajak untuk membentengi diri dengan iman, ada yang menyerukan untuk menaklukkannya dengan berolahraga, dan masih sedikit yang secara terbuka menyuarakan pentingnya pendidikan seks untuk anak-anak kita di sekolah.
Foto: Netflix
Dalam film Dear Davidyang tayang di Netflix, gairah adalah sumber dari segala sumber. Laras menyembunyikan gairah rapat-rapat. Ia menuliskan gairahnya dalam cerita berbalut fantasi seksualnya, yang juga hanya ditulisnya untuk dinikmatinya sendiri.
Namun ketika musibah terjadi dan seantero sekolah menghebohkan tulisan yang dianggap berbau pornografi itu, siapa dari kita yang paling pantas menghakimi?
Saya teringat kisah sedih dari Luna Maya saat video pribadinya dengan Ariel tersebar luas pada 2010. Saya mengenal Luna sejak tahun 2004 saat diminta membantu promosi film yang pertama kali menempatkannya sebagai pemeran utama, Bangsal 13.
Ketika video pribadi itu tersebar, saya ikut bersedih hati. Karena siapa dari kita yang merasa paling pantas menghakimi urusan kamar tidur seseorang, termasuk seorang yang kita kenal sekalipun?
Foto: Netflix
Laras, juga Luna, adalah korban dari penghakiman sewenang-wenang dari publik. Tapi Laras punya kesempatan untuk mengakui bahwa ia penulis cerita fantasi tersebut, sayangnya ia tak melakukannya. Lebih parahnya lagi, ia membiarkan laki-laki yang menjadi obyek fantasi seksualnya, David, ikut menjadi korban.
Belum lagi dengan Dilla yang telanjur dicap sebagai "cewek pecun” yang harus menanggung segala 'kesalahan' yang dilakukan oleh Laras.
Baca Juga: CERMIN: Kesombongan Itu Bernama Titanic
Di sinilah letak problematiknya Dear David. Seakan-akan ingin berpihak pada korban tapi justru membuat banyak pihak berjatuhan sebagai korban. Kita pun susah untuk bersimpati kepada Laras ketika ia tak berusaha memperbaiki segala karut-marut yang terjadi akibat tulisannya.
Kita pun susah bersimpati kepada David karena ia tak pernah terlihat betul-betul marah ketika citranya sebagai pemuda alim hancur seketika karena tulisan-tulisan Laras. Tak sekali pun terlontar keberatan dari David yang menjadi obyek fantasi seksual yang seakan mengesahkan konvensi bahwa laki-laki memang tak pantas menjadi korban pelecehan seksual. Padahal dalam Dear David, jelas sekali bahwa David adalah korban pelecehan seksual.
Foto: Netflix
Bagaimana dengan Dilla? Yang terjadi dalam Dear Davidadalah seakan semua karakter ditulis satu dimensi. Sehingga kita tak diberi ruang untuk menyelami kegelisahan-kegelisahannya, menyesali kegagalan-kegagalannya, dan memperjuangkan mimpi-mimpinya.
Dilla seharusnya adalah karakter paling menarik dari film ini karena ia berani memberitahukan perasaan-perasaan terdalam yang dipendamnya selama bertahun-tahun kepada sahabatnya.
Baca Juga: 10 Film Romance Klasik Ini Menyasar Penonton Usia 25+ Tahun
Saya sendiri gemas betul karena Dear Davidpunya banyak potensi untuk bersuara lantang tentang banyak hal: tentang kemunafikan, tentang ketidakadilan, tentang penghakiman, dan tentang memaafkan. Sayangnya memang karena semuanya hanya dibicarakan secara superfisial, tak berusaha lebih keras untuk membicarakannya satu persatu dengan lebih lantang dan lebih berani. Dan akhirnya yang diingat sebagian penonton hanyalah adegan ciuman dalam porsi yang cukup banyak dan tentu saja preferensi seksual LGBT.
Laras tak salah. Apa yang salah dengan menyuarakan gairah dalam diam? Bahkan ketika ia disuarakan dengan lantang pun, itu adalah hak asasi setiap manusia. Saya mendukung Laras karena berani bersikap, meski terlambat. Karena tak ada yang salah dengan gairah masa muda dari seorang perempuan yang sedang jatuh cinta.
DEAR DAVID
Produser: Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy
Sutradara: Lucky Kuswandi
Penulis Skenario: Winnie Benjamin, Daud Sumolang
Pemain: Shenina Cinnamon, Emir Mahira, Caitlin North-Lewis
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Tahun ini anak pertama saya itu sudah menginjak usia 12 tahun. Dan 3 tahun lagi ia sudah memasuki masa SMA seperti Laras. Dengan segala kemajuan teknologi dan semakin mudahnya akses terhadap hal-hal berbau pornografi. Tentu saja saya sebagai orangtua merasa was-was.
Tentu saja saya juga pernah muda. Saya pernah berada dalam usia seperti Laras, juga David dan Dilla. Salah satu masa terbaik dalam hidup saya dengan segala kegaduhan dan drama di dalamnya. Dan tentu saja seperti Laras, saya juga pernah merasakan gairah masa muda.
Tak ada yang salah dengan gairah. Ada yang mengajak untuk membentengi diri dengan iman, ada yang menyerukan untuk menaklukkannya dengan berolahraga, dan masih sedikit yang secara terbuka menyuarakan pentingnya pendidikan seks untuk anak-anak kita di sekolah.
Foto: Netflix
Dalam film Dear Davidyang tayang di Netflix, gairah adalah sumber dari segala sumber. Laras menyembunyikan gairah rapat-rapat. Ia menuliskan gairahnya dalam cerita berbalut fantasi seksualnya, yang juga hanya ditulisnya untuk dinikmatinya sendiri.
Namun ketika musibah terjadi dan seantero sekolah menghebohkan tulisan yang dianggap berbau pornografi itu, siapa dari kita yang paling pantas menghakimi?
Saya teringat kisah sedih dari Luna Maya saat video pribadinya dengan Ariel tersebar luas pada 2010. Saya mengenal Luna sejak tahun 2004 saat diminta membantu promosi film yang pertama kali menempatkannya sebagai pemeran utama, Bangsal 13.
Ketika video pribadi itu tersebar, saya ikut bersedih hati. Karena siapa dari kita yang merasa paling pantas menghakimi urusan kamar tidur seseorang, termasuk seorang yang kita kenal sekalipun?
Foto: Netflix
Laras, juga Luna, adalah korban dari penghakiman sewenang-wenang dari publik. Tapi Laras punya kesempatan untuk mengakui bahwa ia penulis cerita fantasi tersebut, sayangnya ia tak melakukannya. Lebih parahnya lagi, ia membiarkan laki-laki yang menjadi obyek fantasi seksualnya, David, ikut menjadi korban.
Belum lagi dengan Dilla yang telanjur dicap sebagai "cewek pecun” yang harus menanggung segala 'kesalahan' yang dilakukan oleh Laras.
Baca Juga: CERMIN: Kesombongan Itu Bernama Titanic
Di sinilah letak problematiknya Dear David. Seakan-akan ingin berpihak pada korban tapi justru membuat banyak pihak berjatuhan sebagai korban. Kita pun susah untuk bersimpati kepada Laras ketika ia tak berusaha memperbaiki segala karut-marut yang terjadi akibat tulisannya.
Kita pun susah bersimpati kepada David karena ia tak pernah terlihat betul-betul marah ketika citranya sebagai pemuda alim hancur seketika karena tulisan-tulisan Laras. Tak sekali pun terlontar keberatan dari David yang menjadi obyek fantasi seksual yang seakan mengesahkan konvensi bahwa laki-laki memang tak pantas menjadi korban pelecehan seksual. Padahal dalam Dear David, jelas sekali bahwa David adalah korban pelecehan seksual.
Foto: Netflix
Bagaimana dengan Dilla? Yang terjadi dalam Dear Davidadalah seakan semua karakter ditulis satu dimensi. Sehingga kita tak diberi ruang untuk menyelami kegelisahan-kegelisahannya, menyesali kegagalan-kegagalannya, dan memperjuangkan mimpi-mimpinya.
Dilla seharusnya adalah karakter paling menarik dari film ini karena ia berani memberitahukan perasaan-perasaan terdalam yang dipendamnya selama bertahun-tahun kepada sahabatnya.
Baca Juga: 10 Film Romance Klasik Ini Menyasar Penonton Usia 25+ Tahun
Saya sendiri gemas betul karena Dear Davidpunya banyak potensi untuk bersuara lantang tentang banyak hal: tentang kemunafikan, tentang ketidakadilan, tentang penghakiman, dan tentang memaafkan. Sayangnya memang karena semuanya hanya dibicarakan secara superfisial, tak berusaha lebih keras untuk membicarakannya satu persatu dengan lebih lantang dan lebih berani. Dan akhirnya yang diingat sebagian penonton hanyalah adegan ciuman dalam porsi yang cukup banyak dan tentu saja preferensi seksual LGBT.
Laras tak salah. Apa yang salah dengan menyuarakan gairah dalam diam? Bahkan ketika ia disuarakan dengan lantang pun, itu adalah hak asasi setiap manusia. Saya mendukung Laras karena berani bersikap, meski terlambat. Karena tak ada yang salah dengan gairah masa muda dari seorang perempuan yang sedang jatuh cinta.
DEAR DAVID
Produser: Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy
Sutradara: Lucky Kuswandi
Penulis Skenario: Winnie Benjamin, Daud Sumolang
Pemain: Shenina Cinnamon, Emir Mahira, Caitlin North-Lewis
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
(ita)