CERMIN: Saya dan Selena Gomez Melawan Depresi
Rabu, 09 November 2022 - 13:55 WIB
JAKARTA - Tahun 2021. Selama beberapa waktu saya tak bergairah menatap hidup. Saya hanya ingin menikmati tidur yang panjang. Tak apa jika tak perlu bangun lagi.
Covid-19 memunculkan sebuah hal dari dalam diri saya yang tak pernah saya duga: sesuatu yang bernama depresi. Ada beberapa hari saat saya tak ingin beranjak dari tempat tidur. Beberapa hari lainnya saya merasa dunia saya seketika gelap gulita. Ada beberapa masa saat saya merasa hanya ingin meninggalkan dunia.
Tapi akhirnya saya melihat cahaya di ujung jalan. Sepenggal pengalaman hidup itu akhirnya saya masukkan di skenario miniseri yang saya tulis berjudul Klub Bunuh Diri. Skenario ini akhirnya diterbitkan sebagai novel dan disambut sejumlah kalangan yang pernah menghadapi hari-hari tanpa harapan seperti saya.
Tentu saja banyak yang mengalaminya. Termasuk Selena Gomez. Dalam film dokumenternya yang diputar di Apple TV, Selena membuka dirinya kepada orang-orang terdekat, kepada penggemarnya, dan kepada penonton seperti kita melalui kamera. Ia berbicara tentang hal-hal yang selama ini sering membuatnya gusar, sebagian karena ia tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.
Foto: Apple TV
Saya tak seberani Selena. Selama beberapa waktu, saya menyimpan rapat-rapat pengalaman buruk itu. Hingga akhirnya saya melihat pengakuan terbuka di Twitter dari salah satu jurnalis yang saya kagumi.
Sebuah pengakuan tentang bagaimana ia menghadapi masa-masa sulit saat pandemi, bagaimana merasa tak berguna, dan terutama hari saat ia ingin mengakhiri hidupnya begitu saja. Perasaan saya pun menjadi lega karena apa yang saya alami dan tak pernah bisa saya ceritakan ke siapa pun itu akhirnya bisa saya buka via media sosial.
Baca Juga: CERMIN: Kisah Pembasmian Muslim Bosnia Herzegovina
Depresi adalah seburuk-buruknya pengalaman yang pernah dialami seseorang. Apalagi seseorang seperti Selena. Jangan lihat stasus sosialnya sebagai superstar tapi sebagai manusia biasa yang bergelut dengan banyak masalah nan pelik. Ia mengidap lupus, mengalami cangkok ginjal, divonis bipolar, dan kini depresi.
Mungkin rasanya seperti dijatuhkan berkali-kali dari sebuah gedung pencakar langit. Tapi seperti saya, kita hanya ingin terlihat baik-baik saja di mata siapa pun. Kita tak ingin membuat siapa pun khawatir dengan yang kita alami. Dan sampai hari ini, kedua anak perempuan saya tak pernah tahu bahwa Papam-nya sempat mengalami depresi dan ingin bunuh diri.
Foto: Apple TV
Merasa berguna bisa jadi adalah salah satu obat terbaik. Bagi Selena, seperti yang diperlihatkan dalam dokumenternya, ia merasa berguna ketika terlibat kegiatan kemanusiaan di Kenya. Selama beberapa lama ia di sana, ia merasa bahagia dan seperti menemukan dirinya kembali. Bisa jadi karena ia kembali merasakan koneksi manusia.
Koneksi. Interaksi. Sesuatu yang kita pikir bisa kita jangkau hanya melalui media sosial. Padahal yang kita butuhkan mungkin memang bukan emoji hati tapi pelukan hangat. Yang kita butuhkan bisa jadi bukan sekadar kata-kata, “It’s okay not to be okay”, tapi seseorang mendengarkan kita bercerita tanpa menghakimi.
Selama pandemi kita dilarang bersentuhan satu sama lain dan seketika terasa ada yang hilang dari diri kita. Padahal kita mungkin hanya butuh jabat erat dari seseorang yang kita sayangi.
Berada di industri hiburan memang mempertaruhkan banyak hal. Salah satunya adalah keinginan untuk menjadi sempurna. Mengerjakan sesuatu tanpa cela. Memproduksi sesuatu yang mesti selalu lebih baik dari sebelumnya.
Foto: Apple TV
Covid-19 memunculkan sebuah hal dari dalam diri saya yang tak pernah saya duga: sesuatu yang bernama depresi. Ada beberapa hari saat saya tak ingin beranjak dari tempat tidur. Beberapa hari lainnya saya merasa dunia saya seketika gelap gulita. Ada beberapa masa saat saya merasa hanya ingin meninggalkan dunia.
Tapi akhirnya saya melihat cahaya di ujung jalan. Sepenggal pengalaman hidup itu akhirnya saya masukkan di skenario miniseri yang saya tulis berjudul Klub Bunuh Diri. Skenario ini akhirnya diterbitkan sebagai novel dan disambut sejumlah kalangan yang pernah menghadapi hari-hari tanpa harapan seperti saya.
Tentu saja banyak yang mengalaminya. Termasuk Selena Gomez. Dalam film dokumenternya yang diputar di Apple TV, Selena membuka dirinya kepada orang-orang terdekat, kepada penggemarnya, dan kepada penonton seperti kita melalui kamera. Ia berbicara tentang hal-hal yang selama ini sering membuatnya gusar, sebagian karena ia tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.
Foto: Apple TV
Saya tak seberani Selena. Selama beberapa waktu, saya menyimpan rapat-rapat pengalaman buruk itu. Hingga akhirnya saya melihat pengakuan terbuka di Twitter dari salah satu jurnalis yang saya kagumi.
Sebuah pengakuan tentang bagaimana ia menghadapi masa-masa sulit saat pandemi, bagaimana merasa tak berguna, dan terutama hari saat ia ingin mengakhiri hidupnya begitu saja. Perasaan saya pun menjadi lega karena apa yang saya alami dan tak pernah bisa saya ceritakan ke siapa pun itu akhirnya bisa saya buka via media sosial.
Baca Juga: CERMIN: Kisah Pembasmian Muslim Bosnia Herzegovina
Depresi adalah seburuk-buruknya pengalaman yang pernah dialami seseorang. Apalagi seseorang seperti Selena. Jangan lihat stasus sosialnya sebagai superstar tapi sebagai manusia biasa yang bergelut dengan banyak masalah nan pelik. Ia mengidap lupus, mengalami cangkok ginjal, divonis bipolar, dan kini depresi.
Mungkin rasanya seperti dijatuhkan berkali-kali dari sebuah gedung pencakar langit. Tapi seperti saya, kita hanya ingin terlihat baik-baik saja di mata siapa pun. Kita tak ingin membuat siapa pun khawatir dengan yang kita alami. Dan sampai hari ini, kedua anak perempuan saya tak pernah tahu bahwa Papam-nya sempat mengalami depresi dan ingin bunuh diri.
Foto: Apple TV
Merasa berguna bisa jadi adalah salah satu obat terbaik. Bagi Selena, seperti yang diperlihatkan dalam dokumenternya, ia merasa berguna ketika terlibat kegiatan kemanusiaan di Kenya. Selama beberapa lama ia di sana, ia merasa bahagia dan seperti menemukan dirinya kembali. Bisa jadi karena ia kembali merasakan koneksi manusia.
Koneksi. Interaksi. Sesuatu yang kita pikir bisa kita jangkau hanya melalui media sosial. Padahal yang kita butuhkan mungkin memang bukan emoji hati tapi pelukan hangat. Yang kita butuhkan bisa jadi bukan sekadar kata-kata, “It’s okay not to be okay”, tapi seseorang mendengarkan kita bercerita tanpa menghakimi.
Selama pandemi kita dilarang bersentuhan satu sama lain dan seketika terasa ada yang hilang dari diri kita. Padahal kita mungkin hanya butuh jabat erat dari seseorang yang kita sayangi.
Berada di industri hiburan memang mempertaruhkan banyak hal. Salah satunya adalah keinginan untuk menjadi sempurna. Mengerjakan sesuatu tanpa cela. Memproduksi sesuatu yang mesti selalu lebih baik dari sebelumnya.
Foto: Apple TV
tulis komentar anda