CERMIN: Kisah Pembasmian Muslim Bosnia Herzegovina
Sabtu, 05 November 2022 - 08:41 WIB
JAKARTA - Tahun 1995. Saya menikmati masa remaja sebagai siswa kelas 2 SMA, dan ribuan remaja seusia saya yang berada ribuan kilometer jauhnya dihabisi oleh tentara Serbia.
Setelah pembasmian Yahudi oleh Hitler, kita bisa jadi tak pernah menyangka akan ada lagi pembasmian manusia terkait agama di dunia ini setelahnya. Tapi itulah yang terjadi. Selama tujuh hari hari pada Juli 1995, tentara Serbia di bawah komando Jenderal Ratko Mladic mengepung Srebrenica, sebuah kota kecil di pegunungan di sebelah timur Bosnia dan Herzegovina.
Janji-janji manis dilontarkan oleh sang pemegang kuasa yang mudah saja dipercaya oleh mereka yang lemah dan tak berdaya di bawah todongan senjata. Dan segala ketakutan itu akhirnya terbukti. Lebih dari 8000 warga Muslim di sana dihabisi.
Bersama dengan dialog, “Mari kita lihat film yang sebenarnya”, teror itu dimulai dari bunyi senapan mesin membabi buta dan masih terasa traumanya hingga hari ini.
Dunia akhirnya mengenal Srebrenica, kota kecil itu, dengan cara paling buruk. Sebuah kota dengan tragedi kemanusiaan menganga di dalamnya. Sebuah kota yang enggan disebut karena teramat kejamnya aksi pembasmian tentara Serbia di sana. Sebuah kota yang disebut dengan pilu dan lirih oleh penyair Bosnia, Abdullah Sidran, dalam puisinya yang panjang dan terasa putus asa, Tears of the Mothers of Srebrenica.
Foto: Klik Film
Keputusasaan Abdullah dirasakan oleh kita semua yang dijejali informasi dari kota itu via media cetak dan televisi. Keputusasaan Abdullah bisa jadi adalah jeritan bagi para ibu. Seperti Aida dalam film Quo Vadis, Aidayang diputar di Klik Film dalam rangkaian World Cinema Week 2022.
Aida adalah sosok guru yang kemudian membantu PBB menjadi penerjemah di tengah konflik panas Serbia – Bosnia Herzegovina. Kakinya berpijak di dua tempat: di kawasan PBB yang mencoba mengupayakan jalan damai bagi Srebrenica agar tak diduduki tentara Serbia, dan di luar kawasan PBB yang mencari jalan untuk membantu suami dan dua anak laki-lakinya terhindar dari moncong senjata. Sebuah situasi yang sulit bagi Aida, juga situasi sulit bagi puluhan ribu manusia yang harus angkat kaki dari rumahnya sendiri yang sudah didiami puluhan tahun.
Baca Juga: CERMIN: Cerita dari Sekolah Paling Terpencil di Dunia
Mladic adalah reinkarnasi Amon Goeth. Ia tak punya perasaan apa pun ketika memerintahkan bawahannya menghabisi nyawa seorang tahanan. Seperti salah satu adegan dalam Schlinder’s Listketika Amon yang baru saja bangun pagi meregangkan tangannya dengan menembakkan senjata ke sembarang orang tahanan di kamp Auschwitz. Ia bahkan membagikan cokelat dan roti dan meyakinkan semua orang bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi kata “baik-baik saja” memang hampir selalu bermakna “malapetaka”.
Foto: Klik Film
Jasmila Zbanic memperlihatkan beragam adegan realistik yang mengoyak hati. Kita melihat ribuan orang bertahan di luar kawasan PBB dan berharap mereka bisa mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pasukan perdamaian. Kita melihat seorang ibu yang terpaksa melahirkan dengan kondisi seadanya. Pada akhirnya kita melihat ribuan manusia bergelimpangan di tangan Mladic.
Nyawa manusia menjadi tak ada artinya. Ia hanya statistik yang bahkan hanya masuk dalam sebuah daftar yang lantas dibuang begitu saja ke tong sampah. Perang tak hanya membuat kota mati tapi juga kemanusiaan pun ikut mati.
Dunia mencoba memalingkan muka. Mladic membasmi warga Srebrenica dengan begitu mudahnya atas nama agama.
Lagi-lagi agama dituding sebagai biang keladi atas tragedi berdarah. Agama yang diharapkan menjadi petunjuk bagi manusia menemukan jalan yang benar justru menjadi pembenaran bagi segelintir orang untuk memusnahkan kemanusiaan. Dan kita terus bertanya dalam hati, jika demikian untuk apa agama yang berbeda-beda hadir dan ada?
Foto: Klik Film
Setelah pembasmian Yahudi oleh Hitler, kita bisa jadi tak pernah menyangka akan ada lagi pembasmian manusia terkait agama di dunia ini setelahnya. Tapi itulah yang terjadi. Selama tujuh hari hari pada Juli 1995, tentara Serbia di bawah komando Jenderal Ratko Mladic mengepung Srebrenica, sebuah kota kecil di pegunungan di sebelah timur Bosnia dan Herzegovina.
Janji-janji manis dilontarkan oleh sang pemegang kuasa yang mudah saja dipercaya oleh mereka yang lemah dan tak berdaya di bawah todongan senjata. Dan segala ketakutan itu akhirnya terbukti. Lebih dari 8000 warga Muslim di sana dihabisi.
Bersama dengan dialog, “Mari kita lihat film yang sebenarnya”, teror itu dimulai dari bunyi senapan mesin membabi buta dan masih terasa traumanya hingga hari ini.
Dunia akhirnya mengenal Srebrenica, kota kecil itu, dengan cara paling buruk. Sebuah kota dengan tragedi kemanusiaan menganga di dalamnya. Sebuah kota yang enggan disebut karena teramat kejamnya aksi pembasmian tentara Serbia di sana. Sebuah kota yang disebut dengan pilu dan lirih oleh penyair Bosnia, Abdullah Sidran, dalam puisinya yang panjang dan terasa putus asa, Tears of the Mothers of Srebrenica.
Foto: Klik Film
Keputusasaan Abdullah dirasakan oleh kita semua yang dijejali informasi dari kota itu via media cetak dan televisi. Keputusasaan Abdullah bisa jadi adalah jeritan bagi para ibu. Seperti Aida dalam film Quo Vadis, Aidayang diputar di Klik Film dalam rangkaian World Cinema Week 2022.
Aida adalah sosok guru yang kemudian membantu PBB menjadi penerjemah di tengah konflik panas Serbia – Bosnia Herzegovina. Kakinya berpijak di dua tempat: di kawasan PBB yang mencoba mengupayakan jalan damai bagi Srebrenica agar tak diduduki tentara Serbia, dan di luar kawasan PBB yang mencari jalan untuk membantu suami dan dua anak laki-lakinya terhindar dari moncong senjata. Sebuah situasi yang sulit bagi Aida, juga situasi sulit bagi puluhan ribu manusia yang harus angkat kaki dari rumahnya sendiri yang sudah didiami puluhan tahun.
Baca Juga: CERMIN: Cerita dari Sekolah Paling Terpencil di Dunia
Mladic adalah reinkarnasi Amon Goeth. Ia tak punya perasaan apa pun ketika memerintahkan bawahannya menghabisi nyawa seorang tahanan. Seperti salah satu adegan dalam Schlinder’s Listketika Amon yang baru saja bangun pagi meregangkan tangannya dengan menembakkan senjata ke sembarang orang tahanan di kamp Auschwitz. Ia bahkan membagikan cokelat dan roti dan meyakinkan semua orang bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi kata “baik-baik saja” memang hampir selalu bermakna “malapetaka”.
Foto: Klik Film
Jasmila Zbanic memperlihatkan beragam adegan realistik yang mengoyak hati. Kita melihat ribuan orang bertahan di luar kawasan PBB dan berharap mereka bisa mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pasukan perdamaian. Kita melihat seorang ibu yang terpaksa melahirkan dengan kondisi seadanya. Pada akhirnya kita melihat ribuan manusia bergelimpangan di tangan Mladic.
Nyawa manusia menjadi tak ada artinya. Ia hanya statistik yang bahkan hanya masuk dalam sebuah daftar yang lantas dibuang begitu saja ke tong sampah. Perang tak hanya membuat kota mati tapi juga kemanusiaan pun ikut mati.
Dunia mencoba memalingkan muka. Mladic membasmi warga Srebrenica dengan begitu mudahnya atas nama agama.
Lagi-lagi agama dituding sebagai biang keladi atas tragedi berdarah. Agama yang diharapkan menjadi petunjuk bagi manusia menemukan jalan yang benar justru menjadi pembenaran bagi segelintir orang untuk memusnahkan kemanusiaan. Dan kita terus bertanya dalam hati, jika demikian untuk apa agama yang berbeda-beda hadir dan ada?
Foto: Klik Film
Lihat Juga :
tulis komentar anda