CERMIN: Menemukan Cinta (Lagi) di Bali
Sabtu, 01 Oktober 2022 - 08:42 WIB
JAKARTA - Tahun 1989. Saya masih duduk di bangku SD dan penonton bioskop seluruh dunia dikejutkan dengan kisah Harry dan Sally.
Harry Burns dan Sally Albright adalah karakter fiktif yang diciptakan penulis skenario komedi romantis terbaik sepanjang masa, Nora Ephron. Melalui When Harry Met Sally, kita bertemu dengan manusia yang sejak awal memperlihatkan ketertarikan satu sama lain, mencoba menolak ide bahwa mereka sesungguhnya berjodoh tapi akhirnya pasrah membiarkan diri mereka jatuh dalam cinta. Dan sejak itu genre komedi romantis ditulis ulang.
Dalam banyak hal, film When Harry Met Sallymenjadi tonggak bagaimana karakter pria dan perempuan dalam sebuah film digambarkan sejajar, punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan menjadi manusia dengan caranya sendiri-sendiri. Kita terpaku melihat Sally butuh waktu hingga 30 menit hanya untuk memesan sepotong sandwich,dan terbahak mengetahui bahwa bagi Harry kue Mallomars adalah kue terhebat sepanjang masa.
Lebih dari 30 tahun kemudian, kita bertemu dengan David dan Georgia. Mereka adalah bekas suami-istri yang telah 20 tahun bercerai. Dalam banyak hal, mereka selalu beradu mulut. Dalam banyak hal, mereka selalu berkompetisi.
Foto: Universal Pictures
Namun siapa, sih, di antara kita, para penonton, yang masih tak melihat binar-binar cinta di mata keduanya ketika saling menatap? Siapa yang tak merasakan debar-debar pelan yang terasa ketika mereka berada dalam situasi romantis?
Perceraian dalam banyak hal hampir selalu memperlihatkan kondisi terburuk dari sepasang manusia. Perceraian yang berakhir dengan sangat berantakan sering kali membawa luka yang bertahan melewati dekade. Tapi jika sebuah situasi mengharuskan mereka bertemu di pulau paling romantis di dunia, apalagi yang bisa diharapkan selain terjatuh (cinta) lagi untuk kedua kalinya?
Baca Juga: CERMIN: Kisah Sapu Tangan Berwarna Kuning
Tapi setelah bercerai, kita memang akan sangat menahan diri untuk terjatuh lagi. Kita akan lebih banyak melakukan refleksi atas kegagalan hubungan yang dilakukan sebelumnya. Kita akan lebih banyak bertindak secara hati-hati jika bersangkutan dengan soal hati. Karena kita tak ingin patah lagi, kita tak ingin terjatuh lagi.
David dan Georgia sebenarnya serupa dengan Harry dan Sally. Mereka tahu mereka masih saling tertarik satu sama lain tapi setelah trauma mendalam, bagaimana bisa kita menyalahkan perasaan manusia untuk mencoba berhenti merasakan?
Foto: Universal Pictures
Dalam Ticket to Paradise, selain bertemu dengan David dan Georgia yang tampak sinis soal cinta yang mempertahankan satu sama lain, kita akan berkenalan dengan Lily dan Gede yang justru merasakan bahwa cinta sejatinya akan membuat sepasang manusia menampilkan sisi terbaiknya, dan tak merasa perlu berkorban satu sama lain. Kita melihat bagaimana cinta dimaknai dalam dua sisi di sana.
Cinta memang tak pernah berhenti menjadi masalah. Tapi juga tak pernah berhenti berupaya menjadi solusi. Cinta adalah anugerah terbaik yang diberikan Tuhan bagi manusia. Cinta memang sering kali mengobarkan peperangan tapi cinta pula yang memberi kedamaian di bumi.
Di pulau tempat dewa-dewa bersatu, Bali, kita kembali melihat cinta dalam wujudnya yang berbeda-beda. Cinta David dan Georgia adalah cinta yang meringkaskan banyak hal untuk kemudian berkata bahwa cinta tak cukup. Sementara bagi Lily dan Gede, cinta memang tak pernah cukup, tapi kita bisa mencukupi apa pun dalam hidup dengan cinta itu.
Foto: Universal Pictures
Saya ingat sebait puisi membius dari Khalil Gibran tentang cinta. Yang menggambarkan kompleksitas dan betapa problematiknya cinta.
Harry Burns dan Sally Albright adalah karakter fiktif yang diciptakan penulis skenario komedi romantis terbaik sepanjang masa, Nora Ephron. Melalui When Harry Met Sally, kita bertemu dengan manusia yang sejak awal memperlihatkan ketertarikan satu sama lain, mencoba menolak ide bahwa mereka sesungguhnya berjodoh tapi akhirnya pasrah membiarkan diri mereka jatuh dalam cinta. Dan sejak itu genre komedi romantis ditulis ulang.
Dalam banyak hal, film When Harry Met Sallymenjadi tonggak bagaimana karakter pria dan perempuan dalam sebuah film digambarkan sejajar, punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan menjadi manusia dengan caranya sendiri-sendiri. Kita terpaku melihat Sally butuh waktu hingga 30 menit hanya untuk memesan sepotong sandwich,dan terbahak mengetahui bahwa bagi Harry kue Mallomars adalah kue terhebat sepanjang masa.
Lebih dari 30 tahun kemudian, kita bertemu dengan David dan Georgia. Mereka adalah bekas suami-istri yang telah 20 tahun bercerai. Dalam banyak hal, mereka selalu beradu mulut. Dalam banyak hal, mereka selalu berkompetisi.
Foto: Universal Pictures
Namun siapa, sih, di antara kita, para penonton, yang masih tak melihat binar-binar cinta di mata keduanya ketika saling menatap? Siapa yang tak merasakan debar-debar pelan yang terasa ketika mereka berada dalam situasi romantis?
Perceraian dalam banyak hal hampir selalu memperlihatkan kondisi terburuk dari sepasang manusia. Perceraian yang berakhir dengan sangat berantakan sering kali membawa luka yang bertahan melewati dekade. Tapi jika sebuah situasi mengharuskan mereka bertemu di pulau paling romantis di dunia, apalagi yang bisa diharapkan selain terjatuh (cinta) lagi untuk kedua kalinya?
Baca Juga: CERMIN: Kisah Sapu Tangan Berwarna Kuning
Tapi setelah bercerai, kita memang akan sangat menahan diri untuk terjatuh lagi. Kita akan lebih banyak melakukan refleksi atas kegagalan hubungan yang dilakukan sebelumnya. Kita akan lebih banyak bertindak secara hati-hati jika bersangkutan dengan soal hati. Karena kita tak ingin patah lagi, kita tak ingin terjatuh lagi.
David dan Georgia sebenarnya serupa dengan Harry dan Sally. Mereka tahu mereka masih saling tertarik satu sama lain tapi setelah trauma mendalam, bagaimana bisa kita menyalahkan perasaan manusia untuk mencoba berhenti merasakan?
Foto: Universal Pictures
Dalam Ticket to Paradise, selain bertemu dengan David dan Georgia yang tampak sinis soal cinta yang mempertahankan satu sama lain, kita akan berkenalan dengan Lily dan Gede yang justru merasakan bahwa cinta sejatinya akan membuat sepasang manusia menampilkan sisi terbaiknya, dan tak merasa perlu berkorban satu sama lain. Kita melihat bagaimana cinta dimaknai dalam dua sisi di sana.
Cinta memang tak pernah berhenti menjadi masalah. Tapi juga tak pernah berhenti berupaya menjadi solusi. Cinta adalah anugerah terbaik yang diberikan Tuhan bagi manusia. Cinta memang sering kali mengobarkan peperangan tapi cinta pula yang memberi kedamaian di bumi.
Di pulau tempat dewa-dewa bersatu, Bali, kita kembali melihat cinta dalam wujudnya yang berbeda-beda. Cinta David dan Georgia adalah cinta yang meringkaskan banyak hal untuk kemudian berkata bahwa cinta tak cukup. Sementara bagi Lily dan Gede, cinta memang tak pernah cukup, tapi kita bisa mencukupi apa pun dalam hidup dengan cinta itu.
Foto: Universal Pictures
Saya ingat sebait puisi membius dari Khalil Gibran tentang cinta. Yang menggambarkan kompleksitas dan betapa problematiknya cinta.
tulis komentar anda