CERMIN: Pemberontakan Elvis Presley
Sabtu, 24 September 2022 - 19:55 WIB
JAKARTA - Tahun 1954. Dunia pertama kalinya berkenalan dengan Elvis Presley. Dan dunia musik tak akan sama lagi setelahnya.
Siapa Elvis Presley? Bagaimana ia memilih lagu-lagu yang akan dinyanyikannya? Bagaimana ia mencampurkan banyak pengaruh musik ke dalam dirinya? Dan bagaimana ia membentuk imajinya sebagai seorang pemberontak?
Selama 159 menit, Baz Luhrmann menyajikan Elvis versinya ke kita. Dan melalui film Elvisyang tayang di HBO Go, kita melihat bagaimana Elvis mendapat pengaruh musiknya sejak kecil, bagaimana ia dengan santuy-nya bergaul dengan musisi kulit hitam di saat segregasi masih nyata dan bagaimana pengaruh keluarganya membentuk dirinya. Ini yang paling menarik; kita melihat Elvis dari kacamata manajernya, Kolonel Tom Parker.
Selalu menarik melihat cara pembuat film garda depan membuat sosok legenda seperti Elvis, Freddy Mercury atau Elton John menjadi manusia biasa. Di tangan mereka, kita akan melihat sosok-sosok manusia yang bekerja luar biasa keras demi meraih impiannya, yang lantas terperangkap dalam mimpinya sendiri dan sering kali dibuat kesepian ketika mimpinya melambung terlalu tinggi.
Foto: HBO Go
Di dunia nyata, sosok-sosok ini bahkan sering dikultuskan, sering dipuja selayaknya pemimpin dunia/agama, tapi bagi pembuat film, mereka sejatinya adalah manusia biasa dengan segala problematikanya.
Kita belum lupa bagaimana film memperkenalkan kembali Freddy Mercury yang sukses dimainkan Rami Malek. Bagaimana Rami membuat Freddy hampir tak jauh berbeda dengan kita kebanyakan. Bagaimana Freddy yang awalnya terasing karena berbeda, yang menemukan jati dirinya dalam musik dan melambung tinggi karenanya.
Kita juga melihat bagaimana hati Freddy hancur lebur ketika ia dinyatakan mengidap AIDS dan sosok perempuan yang dicintainya sepenuh hati meninggalkannya. Tapi mata kita juga berbinar-binar menyaksikan karismanya ketika sedang bernyanyi di depan mikrofon atau mengguncang Wembley Stadium dalam konser Live Aid.
Baca Juga: CERMIN: Gadis Paya dan Prasangka Kita
Drama memang lebih banyak terjadi di balik panggung. Masa kecil Elvis tak sepenuhnya menyenangkan. Ia terasing dari “sesamanya” dan justru berakibat positif membuat dirinya melihat tak ada beda antara kulit putih dan hitam. Hanya beda warna kulit semata, tak lebih.
Elvis mendapatkan banyak pengaruh musiknya dari jenis musik yang biasa dilantunkan musisi kulit hitam. Ia merayakannya dengan caranya sendiri. Ia melakukan pemberontakan dalam usianya yang masih muda pertama kali melalui musik.
Foto: HBO Go
Baz Luhrmann membangun semesta Elvisdengan segala kemegahannya, serba chaotic, tumpang tindih, sebagaimana hidup Elvis sesungguhnya yang akhirnya berbalik 180 derajat setelah ia mulai mengecap sukses. Di tangannya, dunia Elvis berwarna-warni dan riuh, tak pernah betul-betul tenang hingga ketika ia berduka.
Dunia Elvis berubah menjadi hitam putih ketika ia berduka dengan kematian Martin Luther King. Sosok penting di balik perjuangan kaum kulit hitam menuju kesetaraan. Hatinya hancur melihat dunia yang berduka dan sedang tak baik-baik saja. Tapi akhirnya ia sadar bahwa ia punya senjata paling ampuh untuk diledakkan.
Senjata itu adalah musik. “Jika kata-kata terlalu berbahaya untuk dilontarkan, maka nyanyikanlah”. Elvis menjelma lebih dari sekadar penyanyi dengan sosok urakan, musik menggetarkan rock ‘n roll, dan gerakan pinggul yang membuat perempuan-perempuan muda menjerit. Ia tahu ia lebih dari itu. Ia menggunakan musik untuk menyampaikan keresahan hatinya.
Foto: HBO Go
Siapa Elvis Presley? Bagaimana ia memilih lagu-lagu yang akan dinyanyikannya? Bagaimana ia mencampurkan banyak pengaruh musik ke dalam dirinya? Dan bagaimana ia membentuk imajinya sebagai seorang pemberontak?
Selama 159 menit, Baz Luhrmann menyajikan Elvis versinya ke kita. Dan melalui film Elvisyang tayang di HBO Go, kita melihat bagaimana Elvis mendapat pengaruh musiknya sejak kecil, bagaimana ia dengan santuy-nya bergaul dengan musisi kulit hitam di saat segregasi masih nyata dan bagaimana pengaruh keluarganya membentuk dirinya. Ini yang paling menarik; kita melihat Elvis dari kacamata manajernya, Kolonel Tom Parker.
Selalu menarik melihat cara pembuat film garda depan membuat sosok legenda seperti Elvis, Freddy Mercury atau Elton John menjadi manusia biasa. Di tangan mereka, kita akan melihat sosok-sosok manusia yang bekerja luar biasa keras demi meraih impiannya, yang lantas terperangkap dalam mimpinya sendiri dan sering kali dibuat kesepian ketika mimpinya melambung terlalu tinggi.
Foto: HBO Go
Di dunia nyata, sosok-sosok ini bahkan sering dikultuskan, sering dipuja selayaknya pemimpin dunia/agama, tapi bagi pembuat film, mereka sejatinya adalah manusia biasa dengan segala problematikanya.
Kita belum lupa bagaimana film memperkenalkan kembali Freddy Mercury yang sukses dimainkan Rami Malek. Bagaimana Rami membuat Freddy hampir tak jauh berbeda dengan kita kebanyakan. Bagaimana Freddy yang awalnya terasing karena berbeda, yang menemukan jati dirinya dalam musik dan melambung tinggi karenanya.
Kita juga melihat bagaimana hati Freddy hancur lebur ketika ia dinyatakan mengidap AIDS dan sosok perempuan yang dicintainya sepenuh hati meninggalkannya. Tapi mata kita juga berbinar-binar menyaksikan karismanya ketika sedang bernyanyi di depan mikrofon atau mengguncang Wembley Stadium dalam konser Live Aid.
Baca Juga: CERMIN: Gadis Paya dan Prasangka Kita
Drama memang lebih banyak terjadi di balik panggung. Masa kecil Elvis tak sepenuhnya menyenangkan. Ia terasing dari “sesamanya” dan justru berakibat positif membuat dirinya melihat tak ada beda antara kulit putih dan hitam. Hanya beda warna kulit semata, tak lebih.
Elvis mendapatkan banyak pengaruh musiknya dari jenis musik yang biasa dilantunkan musisi kulit hitam. Ia merayakannya dengan caranya sendiri. Ia melakukan pemberontakan dalam usianya yang masih muda pertama kali melalui musik.
Foto: HBO Go
Baz Luhrmann membangun semesta Elvisdengan segala kemegahannya, serba chaotic, tumpang tindih, sebagaimana hidup Elvis sesungguhnya yang akhirnya berbalik 180 derajat setelah ia mulai mengecap sukses. Di tangannya, dunia Elvis berwarna-warni dan riuh, tak pernah betul-betul tenang hingga ketika ia berduka.
Dunia Elvis berubah menjadi hitam putih ketika ia berduka dengan kematian Martin Luther King. Sosok penting di balik perjuangan kaum kulit hitam menuju kesetaraan. Hatinya hancur melihat dunia yang berduka dan sedang tak baik-baik saja. Tapi akhirnya ia sadar bahwa ia punya senjata paling ampuh untuk diledakkan.
Senjata itu adalah musik. “Jika kata-kata terlalu berbahaya untuk dilontarkan, maka nyanyikanlah”. Elvis menjelma lebih dari sekadar penyanyi dengan sosok urakan, musik menggetarkan rock ‘n roll, dan gerakan pinggul yang membuat perempuan-perempuan muda menjerit. Ia tahu ia lebih dari itu. Ia menggunakan musik untuk menyampaikan keresahan hatinya.
Foto: HBO Go
Lihat Juga :
tulis komentar anda