Duka Lingkungan dan Masyarakat Akibat TPA Cipeucang
Selasa, 30 Juni 2020 - 20:52 WIB
TANGSEL - Bagi warga Tangerang Selatan, terutama Kelurahan Kademangan, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang ibarat tong sampah besar.
Pasalnya, TPA yang beroperasi sejak Juni 2012 dan memiliki luas 2,4 hektare itu dapat menerima kiriman sampah 300 ton setiap hari.
Namun, memasuki usia delapan tahun beroperasi, terjadi longsoran sampah ke sungai akibat jebolnya turap yang menopang TPA Cipeucang.
Sebagian sampah sudah terbawa arus sehingga memenuhi sepanjang aliran sungai dan sisanya masih menumpuk di badan sungai. Tumpukan sampah ini menghambat arus sungai sehingga daerah pemukiman akan rawan banjir jika hujan turun.
Longsornya sampah ini juga menyebabkan polusi udara karena bau menyengat dari tumpukan sampah yang mengandung gas metana.
Akibatnya, menimbulkan penyakit pernapasan, serta mengancam kualitas air sungai yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirta Benteng untuk disalurkan ke rumah-rumah warga.
Belum lagi dampak dari air lindi yang meresap ke tanah dan mengancam sumur – sumur sekitar TPA Cipeucang.
Sejak awal banyak dilakukan penolakan oleh warga sekitar karena lokasi TPA Cipeucang persis berada di sempadan Sungai Cisadane.
Menurut Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, bahwa lokasi TPA tidak boleh berada di kawasan lindung.
Sementara TPA Cipeucang hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari pemukiman warga, tetapi pemerintah Kota Tangerang tetap melanjutkan penetapan lokasi TPA Cipeucang tanpa mengindahkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Selain itu, penetapan lokasi TPA Cipeucang persis di sepadan sungai juga bertentangan dengan Peraturan Menteri PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.
Penetapan lokasi TPA Cipeucang sedari awal memang sudah menyalahi aturan. Selain berdampak buruk bagi ekosistem sungai, penetapan lokasi di sepadan sungai juga mengancam kesehatan masyarakat.
Karena permasalahan besar itu, beberapa warga, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta dan organisasi sosial yang juga tergabung dalam Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane, pada Sabtu (20/6) menggelar aksi pengarungan Sungai Cisadane mulai dari titik awal Jembatan Keranggan hingga titik akhir pengarungan di jembatan Kademangan.
Aksi ini untuk menuntut tanggung jawab pemerintah kota Tangerang Selatan terkait jebolnya turap penyangga sampah TPA Cipeucang yang longsor memenuhi lebar Sungai Cisadane.
Hulu Cisadane yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS) mengalir melewati Kabupaten Bogor, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang Kota dan Tangerang Kabupaten.
Pencemaran ekosistem di Sungai Cisadane, maka dampaknya akan diterima masyarakat tidak hanya wilayah Kabupaten Tangerang Selatan, Tangerang Kota, dan Tangerang Kabupaten tetapi Kabupaten Kepulauan Seribu juga.
Berlanjut lima hari kemudian, tepatnya pada Kamis (25/6), beberapa warga yang tergabung dalam Aliansi Warga Serpong menuntut Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Tangerang Selatan, menutup penuh TPA Cipeucang. Warga kesal karena aroma busuk dari pencemaran TPA itu semakin tidak terkendali.
Rehwinda Naibaho dari Walhi DKI Jakarta memprotes adanya TPA Cipeucang yang berada di sempadan sungai dan nyaris berada di pinggir sungai serta mendesak TPA itu harus ditutup karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Ini masih seluas 2,4 hektare, bagaimana jika rencana perluasan hingga 10 hektare? Mau serusak apa lagi lingkungan ini nanti? Pemerintah seharusnya sudah punya grand design pengelolaan sampah mulai dari hulu hingga ke hilir dan harus jelas sasarannya siapa, tanggung jawabnya apa, sehingga tidak melimpahkan beban semua ke lingkungan hidup,” ujarnya.
Pasalnya, TPA yang beroperasi sejak Juni 2012 dan memiliki luas 2,4 hektare itu dapat menerima kiriman sampah 300 ton setiap hari.
Namun, memasuki usia delapan tahun beroperasi, terjadi longsoran sampah ke sungai akibat jebolnya turap yang menopang TPA Cipeucang.
Sebagian sampah sudah terbawa arus sehingga memenuhi sepanjang aliran sungai dan sisanya masih menumpuk di badan sungai. Tumpukan sampah ini menghambat arus sungai sehingga daerah pemukiman akan rawan banjir jika hujan turun.
Longsornya sampah ini juga menyebabkan polusi udara karena bau menyengat dari tumpukan sampah yang mengandung gas metana.
Akibatnya, menimbulkan penyakit pernapasan, serta mengancam kualitas air sungai yang dimanfaatkan oleh PDAM Tirta Benteng untuk disalurkan ke rumah-rumah warga.
Belum lagi dampak dari air lindi yang meresap ke tanah dan mengancam sumur – sumur sekitar TPA Cipeucang.
Sejak awal banyak dilakukan penolakan oleh warga sekitar karena lokasi TPA Cipeucang persis berada di sempadan Sungai Cisadane.
Menurut Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, bahwa lokasi TPA tidak boleh berada di kawasan lindung.
Sementara TPA Cipeucang hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari pemukiman warga, tetapi pemerintah Kota Tangerang tetap melanjutkan penetapan lokasi TPA Cipeucang tanpa mengindahkan dampak buruk terhadap lingkungan.
Selain itu, penetapan lokasi TPA Cipeucang persis di sepadan sungai juga bertentangan dengan Peraturan Menteri PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.
Penetapan lokasi TPA Cipeucang sedari awal memang sudah menyalahi aturan. Selain berdampak buruk bagi ekosistem sungai, penetapan lokasi di sepadan sungai juga mengancam kesehatan masyarakat.
Karena permasalahan besar itu, beberapa warga, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta dan organisasi sosial yang juga tergabung dalam Koalisi Pemulihan Ekologis Sungai Cisadane, pada Sabtu (20/6) menggelar aksi pengarungan Sungai Cisadane mulai dari titik awal Jembatan Keranggan hingga titik akhir pengarungan di jembatan Kademangan.
Aksi ini untuk menuntut tanggung jawab pemerintah kota Tangerang Selatan terkait jebolnya turap penyangga sampah TPA Cipeucang yang longsor memenuhi lebar Sungai Cisadane.
Hulu Cisadane yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS) mengalir melewati Kabupaten Bogor, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang Kota dan Tangerang Kabupaten.
Pencemaran ekosistem di Sungai Cisadane, maka dampaknya akan diterima masyarakat tidak hanya wilayah Kabupaten Tangerang Selatan, Tangerang Kota, dan Tangerang Kabupaten tetapi Kabupaten Kepulauan Seribu juga.
Berlanjut lima hari kemudian, tepatnya pada Kamis (25/6), beberapa warga yang tergabung dalam Aliansi Warga Serpong menuntut Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Tangerang Selatan, menutup penuh TPA Cipeucang. Warga kesal karena aroma busuk dari pencemaran TPA itu semakin tidak terkendali.
Rehwinda Naibaho dari Walhi DKI Jakarta memprotes adanya TPA Cipeucang yang berada di sempadan sungai dan nyaris berada di pinggir sungai serta mendesak TPA itu harus ditutup karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Ini masih seluas 2,4 hektare, bagaimana jika rencana perluasan hingga 10 hektare? Mau serusak apa lagi lingkungan ini nanti? Pemerintah seharusnya sudah punya grand design pengelolaan sampah mulai dari hulu hingga ke hilir dan harus jelas sasarannya siapa, tanggung jawabnya apa, sehingga tidak melimpahkan beban semua ke lingkungan hidup,” ujarnya.
tulis komentar anda