CERMIN: di Bawah Lindungan Jebediah Pyre
Rabu, 27 Juli 2022 - 14:45 WIB
JAKARTA - Tahun 2007. Saya masih menikmati karier sebagai publicist film dan Andrew Garfield mulai menarik perhatian lewat peran utama pertamanya dalam film Boy A.
Berperan sebagai Jack yang baru saja keluar dari tempat rehabilitasi anak nakal, Garfield membiarkan dirinya tampil rapuh. Menampilkan kerapuhan secara telanjang selalu menjadi salah satu cara bagi penonton maupun kritikus menilai keaktoran seseorang.
Kerapuhan juga menjadi jendela bagi penonton untuk menyelami seorang karakter dan mengidentifikasi dirinya dengan karakter tersebut.
Tiga tahun setelahnya, Garfield sukses “menenggelamkan” Jesse Eisenberg dalam kisah nyata pendirian media sosial terbesar sedunia, Facebook, dalam film The Social Network. Kita masih ingat bagaimana mangkelnya Eduardo Saverin, nama karakter yang diperankan Garfield, berteriak dengan suara lantang kepada Mark Zuckerberg [(imainkan Eisenberg), “My Prada’s at the cleaners!”
Setelah memainkan salah satu karakter superhero paling dicintai, Spiderman, Garfield terus menantang dirinya dengan mengambil peran-peran beragam dan sulit. Namun yang menarik, dalam beberapa filmnya, ia memerankan tokoh yang bersinggungan dengan agama.
Foto: Hulu
Entah sebagai tentara religius dalam Hacksaw Ridge,atau sebagai pastor Katolik yang bertualang ke Jepang dalam Silence,hingga menjadi pastor penyeleweng uang jemaat dalam The Eyes of Tammy Faye.
Selalu menarik mencermati pilihan-pilihan peran yang diambil secara sadar oleh para aktor kelas satu seperti Garfield. Juga selalu menarik mencermati bagaimana mereka memainkan karakter yang dipercayakan pada mereka dan memasukkan banyak emosi dan sisi rapuh ke dalamnya.
Seperti yang sekali lagi diperlihatkan Garfield dalam serial Under the Banner of Heaven. Premis serial ini sangat menarik minat saya. Bagaimana rasanya menjadi seorang detektif yang religius ketika menyelidiki kasus pembunuhan ibu dan anak dan pelan-pelan merasa imannya tengah digerogoti dari dalam?
Garfield bermain sebagai Jebediah Pyre dalam cerita berlatar tahun 1980-an ini. Kita melihat ia memainkan dua karakter dalam sebuah serial: sebagai pimpinan keluarga yang religius tapi juga sebagai detektif yang meragu.
Bagaimana kita meyakini bahwa apa yang kita imani benar? Bagaimana jika agama yang kita jalani selama ini ternyata menyimpan borok-borok masa lalu yang teramat busuk? Bagaimana pula kita bersikap sebagai ayah dan suami di tengah keluarga yang kukuh mengimani agama yang diyakini itu?
Baca Juga: CERMIN: Autisme dan di Atas Normal
Iman bukanlah memercayai apa yang terang tanpa memercayai apa yang gelap. Saya sepakat dengan yang dikatakan Goenawan Mohamad tersebut dalam Catatan Pinggir. Dalam iman tak hanya terang, juga ada gelap, bahkan abu-abu.
Foto: Hulu
Dan ragu selalu diperkenankan agar kita terus mencari kebenaran yang hakiki. Bahkan ragu adalah jalan sunyi dalam pergulatan iman seseorang yang kita tak pernah tahu akan berakhir di mana ujungnya. Tapi kita percaya ragulah yang akan kembali mendekatkan kita pada yang kita yakini.
Sebagai detektif, Pyre tentu tak bisa memilih kasus yang akan dihadapinya. Apalagi jika kasusnya bersinggungan langsung dengan agama yang diyakininya.
Semakin lama kasus tersebut bergulir, keraguan Pyre semakin bertambah. Dalam sebuah adegan yang sangat intens, di dalam mobil yang terparkir di garasinya, Pyre gemetar mengambil buku merah dari dashboard. Buku merah itu mencatat sejarah yang tak pernah dibacanya tentang agama yang diyakininya, Kristen Mormon. Dan ia gentar.
Berperan sebagai Jack yang baru saja keluar dari tempat rehabilitasi anak nakal, Garfield membiarkan dirinya tampil rapuh. Menampilkan kerapuhan secara telanjang selalu menjadi salah satu cara bagi penonton maupun kritikus menilai keaktoran seseorang.
Kerapuhan juga menjadi jendela bagi penonton untuk menyelami seorang karakter dan mengidentifikasi dirinya dengan karakter tersebut.
Tiga tahun setelahnya, Garfield sukses “menenggelamkan” Jesse Eisenberg dalam kisah nyata pendirian media sosial terbesar sedunia, Facebook, dalam film The Social Network. Kita masih ingat bagaimana mangkelnya Eduardo Saverin, nama karakter yang diperankan Garfield, berteriak dengan suara lantang kepada Mark Zuckerberg [(imainkan Eisenberg), “My Prada’s at the cleaners!”
Setelah memainkan salah satu karakter superhero paling dicintai, Spiderman, Garfield terus menantang dirinya dengan mengambil peran-peran beragam dan sulit. Namun yang menarik, dalam beberapa filmnya, ia memerankan tokoh yang bersinggungan dengan agama.
Foto: Hulu
Entah sebagai tentara religius dalam Hacksaw Ridge,atau sebagai pastor Katolik yang bertualang ke Jepang dalam Silence,hingga menjadi pastor penyeleweng uang jemaat dalam The Eyes of Tammy Faye.
Selalu menarik mencermati pilihan-pilihan peran yang diambil secara sadar oleh para aktor kelas satu seperti Garfield. Juga selalu menarik mencermati bagaimana mereka memainkan karakter yang dipercayakan pada mereka dan memasukkan banyak emosi dan sisi rapuh ke dalamnya.
Seperti yang sekali lagi diperlihatkan Garfield dalam serial Under the Banner of Heaven. Premis serial ini sangat menarik minat saya. Bagaimana rasanya menjadi seorang detektif yang religius ketika menyelidiki kasus pembunuhan ibu dan anak dan pelan-pelan merasa imannya tengah digerogoti dari dalam?
Garfield bermain sebagai Jebediah Pyre dalam cerita berlatar tahun 1980-an ini. Kita melihat ia memainkan dua karakter dalam sebuah serial: sebagai pimpinan keluarga yang religius tapi juga sebagai detektif yang meragu.
Bagaimana kita meyakini bahwa apa yang kita imani benar? Bagaimana jika agama yang kita jalani selama ini ternyata menyimpan borok-borok masa lalu yang teramat busuk? Bagaimana pula kita bersikap sebagai ayah dan suami di tengah keluarga yang kukuh mengimani agama yang diyakini itu?
Baca Juga: CERMIN: Autisme dan di Atas Normal
Iman bukanlah memercayai apa yang terang tanpa memercayai apa yang gelap. Saya sepakat dengan yang dikatakan Goenawan Mohamad tersebut dalam Catatan Pinggir. Dalam iman tak hanya terang, juga ada gelap, bahkan abu-abu.
Foto: Hulu
Dan ragu selalu diperkenankan agar kita terus mencari kebenaran yang hakiki. Bahkan ragu adalah jalan sunyi dalam pergulatan iman seseorang yang kita tak pernah tahu akan berakhir di mana ujungnya. Tapi kita percaya ragulah yang akan kembali mendekatkan kita pada yang kita yakini.
Sebagai detektif, Pyre tentu tak bisa memilih kasus yang akan dihadapinya. Apalagi jika kasusnya bersinggungan langsung dengan agama yang diyakininya.
Semakin lama kasus tersebut bergulir, keraguan Pyre semakin bertambah. Dalam sebuah adegan yang sangat intens, di dalam mobil yang terparkir di garasinya, Pyre gemetar mengambil buku merah dari dashboard. Buku merah itu mencatat sejarah yang tak pernah dibacanya tentang agama yang diyakininya, Kristen Mormon. Dan ia gentar.
tulis komentar anda