CERMIN: Malam Pencabut Nyawa, Film Horor yang Lebih Berhasil sebagai Drama
Jum'at, 24 Mei 2024 - 09:44 WIB
JAKARTA - Tahun 2005. Belum lama berselang setelah sukses Heart, Hanny Saputra datang dengan film horor berjudul Mirror. Menariknya Mirror lebih kuat sebagai drama dan toh terbukti laris mendatangkan hingga 800 ribu penonton ke bioskop.
Hanny menyerahkan tanggung jawab besar pada Nirina Zubir untuk mengerahkan segala kemampuan dramatiknya. Sebagai Kikan, gadis yang secara kebetulan dianugerahi/dikutuk dengan kemampuan melihat hal-hal gaib melalui cermin, Nirina sukses membuat Mirror menarik diikuti meskipun dipromosikan sebagai film horor.
Hampir 20 tahun berselang kejadian serupa berulang kembali. Kali inipadaMalam Pencabut Nyawa garapan Sidharta Tata. Dibanding film horor lokal lainnya, Malam Pencabut Nyawa digarap jauh lebih matang, jauh lebih "wah" dan dengan cerita yang sesungguhnya menarik.
Malam Pencabut Nyawa tidak mendasarkan ceritanya pada faktor kebetulan. Respati, si protagonis, mengidap insomnia sejak ayah dan ibunya tewas mengenaskan dalam sebuah peristiwa perampokan. Tak sekadar insomnia, ia bisa bertualang ke alam mimpi yang sering kali mengerikan.
Bagi anak seusianya, pengalaman seperti itu tentu menjadi sesungguh-sungguhnya mimpi buruk. Ia terlalu malu untuk mengakui keanehan atau ketidaknormalan yang dialaminya, dan ia juga terlalu takut untuk menceritakan apa saja yang dilihatnya dalam mimpinya setiap malam.
Foto: BASE Entertainment
Hingga suatu ketika sejumlah peristiwa mengenaskan terjadi. Korban pembunuhan misterius berjatuhan. Di sinilah skenario mulai terasa goyah.
Respati diperlihatkan apa yang akan terjadi pada korban-korban itu sebelum berhadapan dengan maut. Hanya saja kita tak bisa memahami koneksi langsung peristiwa-peristiwa pembunuhan misterius itu dengan Respati, kecuali sebuah informasi yang rasanya terlalu dibetul-betulkan.
Kebetulan demi kebetulan kembali tak terhindarkan dalam film horor yang sesungguhnya tak perlu terjadi jika tim produksi memberi waktu lebih untuk melihat kembali cerita secara keseluruhan, mencermati segala kelemahan, dan memperbaikinya sebelum skenario dinyatakan final draft dan siap syuting.
Namun'keajaiban' terjadi pada Malam Pencabut Nyawa sebagaimana halnya yang dialami Mirror. Ia lebih berhasil sebagai drama. Respati dengan segala trauma yang terus menghantuinya menjadi pintu masuk yang asyik untuk membongkar dinamika relasi dalam sebuah keluarga.
Ditinggal kedua orang tua dan dibesarkan kakeknya seorang diri, Respati merasa sendirian. Ia merasa kakeknya tak pernah bisa mengerti dirinya. Ada jurang menganga bernama komunikasi yang macet di antara mereka.
Foto: BASE Entertainment
Sayangnya memang skenario terlalu sibuk membuat jumpscare hingga sightings yang lebih banyak gagal dibanding sukses. Padahal sisi dramatik ini jika digarap lebih ketat akan bisa tampil semenarik Mirror.
Mirror mengukuhkan keberadaan Nirina sebagai aktris brilian, dan Malam Pencabut Nyawa terasa seperti melahirkan kembali Devano Danendra sebagai seorang aktor. Devano yang biasanya diserahi peran remeh temeh dalam film hingga serial, kali ini kejatuhan beban sebagai remaja problematik dengan sisi-sisi menarik pada dirinya untuk diulik lebih tajam.
Sebagai Respati, Devano meniupkan ruh ke dalam dirinya sehingga menjelma sebagai seorang pemuda yang sering kali tak memahami yang sesungguhnya terjadi pada dirinya. Berkat olah tubuh hingga penghayatannya, kita bisa merasakan betapa tak enaknya menjadi Respati dengan segala beban dan trauma yang terus membuntutinya ke mana pun, bahkan hingga ke alam mimpi.
Malam Pencabut Nyawa juga mungkin akan lebih menarik jika skenarionya tak melulu berkutat pada unsur klenik dan berani membentur-benturkan soal alam mimpi dengan sains. Tentu saja pendekatan ini akan menjadi sesuatu yang segar dan menarik, dan kita pun bisa terhindar dari bombardir film horor lokal yang semakin lama terasa semakin menjemukan.
Hanny menyerahkan tanggung jawab besar pada Nirina Zubir untuk mengerahkan segala kemampuan dramatiknya. Sebagai Kikan, gadis yang secara kebetulan dianugerahi/dikutuk dengan kemampuan melihat hal-hal gaib melalui cermin, Nirina sukses membuat Mirror menarik diikuti meskipun dipromosikan sebagai film horor.
Hampir 20 tahun berselang kejadian serupa berulang kembali. Kali inipadaMalam Pencabut Nyawa garapan Sidharta Tata. Dibanding film horor lokal lainnya, Malam Pencabut Nyawa digarap jauh lebih matang, jauh lebih "wah" dan dengan cerita yang sesungguhnya menarik.
Malam Pencabut Nyawa tidak mendasarkan ceritanya pada faktor kebetulan. Respati, si protagonis, mengidap insomnia sejak ayah dan ibunya tewas mengenaskan dalam sebuah peristiwa perampokan. Tak sekadar insomnia, ia bisa bertualang ke alam mimpi yang sering kali mengerikan.
Bagi anak seusianya, pengalaman seperti itu tentu menjadi sesungguh-sungguhnya mimpi buruk. Ia terlalu malu untuk mengakui keanehan atau ketidaknormalan yang dialaminya, dan ia juga terlalu takut untuk menceritakan apa saja yang dilihatnya dalam mimpinya setiap malam.
Foto: BASE Entertainment
Hingga suatu ketika sejumlah peristiwa mengenaskan terjadi. Korban pembunuhan misterius berjatuhan. Di sinilah skenario mulai terasa goyah.
Respati diperlihatkan apa yang akan terjadi pada korban-korban itu sebelum berhadapan dengan maut. Hanya saja kita tak bisa memahami koneksi langsung peristiwa-peristiwa pembunuhan misterius itu dengan Respati, kecuali sebuah informasi yang rasanya terlalu dibetul-betulkan.
Kebetulan demi kebetulan kembali tak terhindarkan dalam film horor yang sesungguhnya tak perlu terjadi jika tim produksi memberi waktu lebih untuk melihat kembali cerita secara keseluruhan, mencermati segala kelemahan, dan memperbaikinya sebelum skenario dinyatakan final draft dan siap syuting.
Namun'keajaiban' terjadi pada Malam Pencabut Nyawa sebagaimana halnya yang dialami Mirror. Ia lebih berhasil sebagai drama. Respati dengan segala trauma yang terus menghantuinya menjadi pintu masuk yang asyik untuk membongkar dinamika relasi dalam sebuah keluarga.
Ditinggal kedua orang tua dan dibesarkan kakeknya seorang diri, Respati merasa sendirian. Ia merasa kakeknya tak pernah bisa mengerti dirinya. Ada jurang menganga bernama komunikasi yang macet di antara mereka.
Foto: BASE Entertainment
Sayangnya memang skenario terlalu sibuk membuat jumpscare hingga sightings yang lebih banyak gagal dibanding sukses. Padahal sisi dramatik ini jika digarap lebih ketat akan bisa tampil semenarik Mirror.
Mirror mengukuhkan keberadaan Nirina sebagai aktris brilian, dan Malam Pencabut Nyawa terasa seperti melahirkan kembali Devano Danendra sebagai seorang aktor. Devano yang biasanya diserahi peran remeh temeh dalam film hingga serial, kali ini kejatuhan beban sebagai remaja problematik dengan sisi-sisi menarik pada dirinya untuk diulik lebih tajam.
Sebagai Respati, Devano meniupkan ruh ke dalam dirinya sehingga menjelma sebagai seorang pemuda yang sering kali tak memahami yang sesungguhnya terjadi pada dirinya. Berkat olah tubuh hingga penghayatannya, kita bisa merasakan betapa tak enaknya menjadi Respati dengan segala beban dan trauma yang terus membuntutinya ke mana pun, bahkan hingga ke alam mimpi.
Malam Pencabut Nyawa juga mungkin akan lebih menarik jika skenarionya tak melulu berkutat pada unsur klenik dan berani membentur-benturkan soal alam mimpi dengan sains. Tentu saja pendekatan ini akan menjadi sesuatu yang segar dan menarik, dan kita pun bisa terhindar dari bombardir film horor lokal yang semakin lama terasa semakin menjemukan.
tulis komentar anda