CERMIN: Belajar Bikin Film yang Keren dan Seksi dari Luca Guadagnino
Jum'at, 03 Mei 2024 - 15:21 WIB
JAKARTA - Tahun 2009. Pertama kalinya saya terpapar dengan film dari Luca Guadagnino, I Am Love. Saya tersentak melihat cara ia menggunakan beragam elemen usang menjadi terasa tak sekadar segar, tapi (terutama) juga seksi.
I Am Love memang menjadi gambaran betapa pentingnya visi sutradara dalam memahami materi yang akan diwujudkannya. Dalam I Am Love, Luca mencurahkan segala nafsu yang merangsang melalui gambar-gambar mewah, tak sekadar cantik, tapi juga penuh metafora. The Guardian menyanjung I Am Love sebagai “film yang mampu memberikan eksplorasi ketegangan erotik yang menggelitik”.
Lalu 15 tahun setelahnya Luca masih setia melakukan eksplorasi nafsu manusia paling purba itu. Dalam Challengers, ia menggunakan elemen olahraga tenis dan menjadikan tenis tak sekadar olahraga, tapi juga permainan menantang bahaya.
Tak pernah sekali pun saya sebagai penonton maupun sebagai pembuat film membayangkan film tentang olahraga tenis bisa seerotik dan sesensual Challengers.
Padahal Challengers mendasarkan ceritanya pada kisah yang sesungguhnya sederhana. Kita bertemu dengan dua petenis cowok yang sama-sama masih muda, sama-sama dalam usia emas, sama-sama ganteng, tapi dengan pribadi yang bertolak belakang.
Ada Art yang cenderung lebih kalem, tenang, dan sopan. Sedangkan di kutub lain ada Patrick yang terkesan lebih bandel, lebih terbuka, dan tak malu-malu memperlihatkan sisi-sisi liarnya.
Foto: Warner Bros. Pictures
Di tengah-tengahnya ada Tashi, petenis cewek yang tak hanya beringas di lapangan tenis, juga sekilas seperti malaikat cantik yang turun dari kahyangan, dan seperti ditugaskan menggoda petenis-petenis cowok muda seperti Art dan Patrick.
Art dan Patrick sudah bersahabat sejak usia 12 tahun sejak mereka bersama-sama belajar tenis di sebuah akademi. Persahabatan mereka kuat, dibarengi dengan persaingan tak kentara di antara keduanya. Persaingan yang kelak melibatkan Tashi dan membuat hubungan keduanya menjadi memanas.
Namunalih-alih membuat Challengers sekadar kisah perebutan seorang cewek dari dua orang cowok, Luca membawa cerita ini ke level tak terbayangkan. Cerita ini tentang nafsu yang menggebu-gebu, tentang upaya menahan diri habis-habisan, dan tentang bagaimana seorang perempuan berada di tengah medan pertempuran. Dan lapangan tenis menjadi medan pertempuran itu.
Luca membawa Challengers menjadi supermenarik, juga terutama karena penceritaannya yang maju-mundur dengan asyik yang dibuat oleh penulis skenario Justin Kuritzkes. Dengan linimasa yang betul-betul terjaga dan bisa dimengerti penonton, ini membuat kita memahami betul apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka bertiga.
Foto: Warner Bros. Pictures
Bekerja sama dengan sinematografer asal Thailand yang menjadi langganannya sejak Call Me By Your Name(2017) dan Suspiria (2018), Sayombhu Mukdeeprom, Luca konsisten menghadirkan petualangan ketiga anak muda ini lewat sejumlah komposisi gambar yang tak lazim, tapi anehnya terasa superkeren dan seksi dalam waktu bersamaan.
Sensualitas dihadirkan habis-habisan dalam gambar-gambar extreme close up dari ketiga karakter, juga ketika mereka berada di tengah lapangan yang menjadi medan pertempuran. Luca menghindar dari klise dengan sekadar menghadirkan adegan-adegan seks, tapi justru menghadirkan gambar-gambar yang terasa sensual, meski tak menyajikan adegan seks.
Seperti masih belum cukup percaya diri dengan gambar-gambar sensualnya, Luca masih mendorong Challengers melalui penataan musik yang bisa hadir energetik dan seksi dalam waktu yang bersamaan dari duo peraih dua Piala Oscar, Trent Reznor dan Atticus Ross.
Kita masih bisa merasakan kekhasan ilustrasi musik yang dihadirkan Trent dan Atticus sebagaimana yang mereka tampilkan dalam dua film yang membuat mereka membawa pulang Academy Awards, The Social Network (2011) dan Soul (2021). Dan entah bagaimana terasa betul-betul sinkron dengan gambar-gambar sensual dari Sayombhu.
I Am Love memang menjadi gambaran betapa pentingnya visi sutradara dalam memahami materi yang akan diwujudkannya. Dalam I Am Love, Luca mencurahkan segala nafsu yang merangsang melalui gambar-gambar mewah, tak sekadar cantik, tapi juga penuh metafora. The Guardian menyanjung I Am Love sebagai “film yang mampu memberikan eksplorasi ketegangan erotik yang menggelitik”.
Lalu 15 tahun setelahnya Luca masih setia melakukan eksplorasi nafsu manusia paling purba itu. Dalam Challengers, ia menggunakan elemen olahraga tenis dan menjadikan tenis tak sekadar olahraga, tapi juga permainan menantang bahaya.
Tak pernah sekali pun saya sebagai penonton maupun sebagai pembuat film membayangkan film tentang olahraga tenis bisa seerotik dan sesensual Challengers.
Padahal Challengers mendasarkan ceritanya pada kisah yang sesungguhnya sederhana. Kita bertemu dengan dua petenis cowok yang sama-sama masih muda, sama-sama dalam usia emas, sama-sama ganteng, tapi dengan pribadi yang bertolak belakang.
Ada Art yang cenderung lebih kalem, tenang, dan sopan. Sedangkan di kutub lain ada Patrick yang terkesan lebih bandel, lebih terbuka, dan tak malu-malu memperlihatkan sisi-sisi liarnya.
Foto: Warner Bros. Pictures
Di tengah-tengahnya ada Tashi, petenis cewek yang tak hanya beringas di lapangan tenis, juga sekilas seperti malaikat cantik yang turun dari kahyangan, dan seperti ditugaskan menggoda petenis-petenis cowok muda seperti Art dan Patrick.
Art dan Patrick sudah bersahabat sejak usia 12 tahun sejak mereka bersama-sama belajar tenis di sebuah akademi. Persahabatan mereka kuat, dibarengi dengan persaingan tak kentara di antara keduanya. Persaingan yang kelak melibatkan Tashi dan membuat hubungan keduanya menjadi memanas.
Namunalih-alih membuat Challengers sekadar kisah perebutan seorang cewek dari dua orang cowok, Luca membawa cerita ini ke level tak terbayangkan. Cerita ini tentang nafsu yang menggebu-gebu, tentang upaya menahan diri habis-habisan, dan tentang bagaimana seorang perempuan berada di tengah medan pertempuran. Dan lapangan tenis menjadi medan pertempuran itu.
Luca membawa Challengers menjadi supermenarik, juga terutama karena penceritaannya yang maju-mundur dengan asyik yang dibuat oleh penulis skenario Justin Kuritzkes. Dengan linimasa yang betul-betul terjaga dan bisa dimengerti penonton, ini membuat kita memahami betul apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka bertiga.
Foto: Warner Bros. Pictures
Bekerja sama dengan sinematografer asal Thailand yang menjadi langganannya sejak Call Me By Your Name(2017) dan Suspiria (2018), Sayombhu Mukdeeprom, Luca konsisten menghadirkan petualangan ketiga anak muda ini lewat sejumlah komposisi gambar yang tak lazim, tapi anehnya terasa superkeren dan seksi dalam waktu bersamaan.
Sensualitas dihadirkan habis-habisan dalam gambar-gambar extreme close up dari ketiga karakter, juga ketika mereka berada di tengah lapangan yang menjadi medan pertempuran. Luca menghindar dari klise dengan sekadar menghadirkan adegan-adegan seks, tapi justru menghadirkan gambar-gambar yang terasa sensual, meski tak menyajikan adegan seks.
Seperti masih belum cukup percaya diri dengan gambar-gambar sensualnya, Luca masih mendorong Challengers melalui penataan musik yang bisa hadir energetik dan seksi dalam waktu yang bersamaan dari duo peraih dua Piala Oscar, Trent Reznor dan Atticus Ross.
Kita masih bisa merasakan kekhasan ilustrasi musik yang dihadirkan Trent dan Atticus sebagaimana yang mereka tampilkan dalam dua film yang membuat mereka membawa pulang Academy Awards, The Social Network (2011) dan Soul (2021). Dan entah bagaimana terasa betul-betul sinkron dengan gambar-gambar sensual dari Sayombhu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda