CERMIN: Waluyo Kehilangan Uang, Rumah, Keluarga, dan Harga Dirinya
Jum'at, 29 Desember 2023 - 07:01 WIB
JAKARTA - Tahun 2020. Setelah memutuskan mengubah arah karier menjadi sutradara setahun sebelumnya, saya memutuskan untuk 'berjudi'.
Saya paham betul bahwa tak akan banyak kesempatan yang mendatangi saya sebagai sutradara baru yang belum punya pembuktian apa pun kecuali 1 serial dan 2 film pendek yang waktu itu baru tayang di layanan streaming video. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk 'berjudi' yaitu menginvestasikan uang yang jumlahnya cukup besar untuk memproduksi tiga judul miniseri yang tayang perdana di salah satu layanan streaming pada 2020 – 2021.
Sayangnya 'perjudian' saya nyaris gagal total. Meski secara kualitas salah satu miniseri yang saya sutradarai dipujikan beberapa media ternama, tapi secara bisnis, itu adalah bisnis yang buruk. Hingga hari ini investasi tersebut baru kembali 20% dan membuat saya terjerumus ke dalam lubang yang tak pernah saya pijak sebelumnya.
Saya kehilangan banyak hal dalam 'perjudian' itu terutama harga diri saya. Kepercayaan diri saya hancur berantakan ditambah deraan dari pandemi selama dua tahun. Saya pun mengalami depresi hingga dua tahun setelahnya dan kini masih mencoba bangkit dari sisa-sisa yang masih ada. Tapi saya bisa jadi masih lebih beruntung dari Waluyo, salah satu karakter dalam film 13 Bom di Jakarta.
Waluyo (diperankan dengan cemerlang oleh Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 2019, Muhammad Khan), seorang peretas genius dengan tampilan dan logat medok, harus kehilangan jauh lebih banyak dari saya. Ia harus kehilangan uang akibat investasi bodong di sebuah koperasi, juga harus di-PHK dan membuatnya kehilangan rumah yang dicicilnya selama bertahun-tahun.
Foto: Visinema Pictures
Seperti masih belum cukup, ia juga harus kehilangan ibunya dan mungkin setelahnya, sebagaimana yang saya alami sebagai seorang laki-laki, kehilangan harga dirinya. Karena itulah saya bersimpati pada apa yang yang diyakini Waluyo yang membuatnya mau bergabung dalam sebuah gerakan bawah tanah yang dipimpin Ismail untuk merebut kembali kedaulatan keuangan dari para mafia.
Sayangnya memang Waluyo bukan karakter sentral dari film 13 Bom di Jakarta. Peran itu milik Ismail yang seharusnya diberi ruang lebih lebar oleh skenario untuk dikembangkan latar belakangnya, bukan sekadar dialog demi dialog panjang yang mudah dilupakan. Protagonis film ini adalah Ismail yang seharusnya membuat kita bersimpati pada apa yang diperjuangkannya, meskipun sebagaimana Waluyo, kita juga mengutuk bagaimana Ismail tak menghiraukan korban yang berjatuhan sebagai collateral damage.
Lawan Ismail dalam film ini adalah Karin yang juga karena kelemahan skenario justru tak pernah diperlihatkan duel satu lawan satu dengannya. Skenario yang ditulis Irfan Ramly dan Angga Dwimas Sasongko juga tak mau bersusah payah membangun latar belakang kokoh bagi seorang agen intelijen perempuan yang berjibaku dengan tugasnya sebagai seorang ibu. Bisa dibandingkan dengan dua karakter utama (perempuan) dalam She Said besutan Maria Schrader yang berjuang mati-matian di antara tanggung jawab sebagai jurnalis dan sebagai ibu.
Foto: Visinema Pictures
Tapi Angga sebagai sutradara bisa jadi tahu bagaimana cara menambal skenario yang tak berfungsi sepenuhnya dengan baik itu. Angga berkomitmen penuh menjadikan film ini sebagai parade aksi mendebarkan selama nyaris 2,5 jam. Penyutradaraannya yang solid membuat karakter demi karakter yang cukup banyak bisa berlalu lalang dengan baik dalam adegan.
Kamera yang juga terus menerus bergerak dengan perhitungan matang, penyuntingan yang menjalani ritme yang rapi, penataan musik yang sukses membuat jantung kita terus menerus berdebar. Terutama bagaimana Angga mengarahkan ensembel aktor dengan sangat baik.
Dalam sebuah kesempatan, saya pernah ditanya oleh seseorang. “Bisa nggak, sih, kita bikin film action yang keren?” Jawaban saya tentu saja, “Bisa!” Angga sudah memulainya dengan menarik dalam Mencuri Raden Salehpada tahun lalu dan meningkatkan terus tantangan yang harus dihadapinya kali ini dalam 13 Bom di Jakarta. Tentu saja sebagai sebuah karya, kelemahan masih saja ada, tapi keutuhan film ini sebagai aksi yang sanggup membetot perhatian penonton selama 2,5 jam memang perlu diberi tepuk tangan panjang.
Foto: Visinema Pictures
Juga yang perlu diberi kredit khusus adalah bagaimana Angga mengemas isu politis secara halus dalam dua film aksinya yang disebutkan di atas. Tak sekedar politis tapi juga berusaha terkoneksi dengan apa yang terjadi pada level masyarakat tertentu.
Saya paham betul bahwa tak akan banyak kesempatan yang mendatangi saya sebagai sutradara baru yang belum punya pembuktian apa pun kecuali 1 serial dan 2 film pendek yang waktu itu baru tayang di layanan streaming video. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk 'berjudi' yaitu menginvestasikan uang yang jumlahnya cukup besar untuk memproduksi tiga judul miniseri yang tayang perdana di salah satu layanan streaming pada 2020 – 2021.
Sayangnya 'perjudian' saya nyaris gagal total. Meski secara kualitas salah satu miniseri yang saya sutradarai dipujikan beberapa media ternama, tapi secara bisnis, itu adalah bisnis yang buruk. Hingga hari ini investasi tersebut baru kembali 20% dan membuat saya terjerumus ke dalam lubang yang tak pernah saya pijak sebelumnya.
Saya kehilangan banyak hal dalam 'perjudian' itu terutama harga diri saya. Kepercayaan diri saya hancur berantakan ditambah deraan dari pandemi selama dua tahun. Saya pun mengalami depresi hingga dua tahun setelahnya dan kini masih mencoba bangkit dari sisa-sisa yang masih ada. Tapi saya bisa jadi masih lebih beruntung dari Waluyo, salah satu karakter dalam film 13 Bom di Jakarta.
Waluyo (diperankan dengan cemerlang oleh Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 2019, Muhammad Khan), seorang peretas genius dengan tampilan dan logat medok, harus kehilangan jauh lebih banyak dari saya. Ia harus kehilangan uang akibat investasi bodong di sebuah koperasi, juga harus di-PHK dan membuatnya kehilangan rumah yang dicicilnya selama bertahun-tahun.
Foto: Visinema Pictures
Seperti masih belum cukup, ia juga harus kehilangan ibunya dan mungkin setelahnya, sebagaimana yang saya alami sebagai seorang laki-laki, kehilangan harga dirinya. Karena itulah saya bersimpati pada apa yang yang diyakini Waluyo yang membuatnya mau bergabung dalam sebuah gerakan bawah tanah yang dipimpin Ismail untuk merebut kembali kedaulatan keuangan dari para mafia.
Sayangnya memang Waluyo bukan karakter sentral dari film 13 Bom di Jakarta. Peran itu milik Ismail yang seharusnya diberi ruang lebih lebar oleh skenario untuk dikembangkan latar belakangnya, bukan sekadar dialog demi dialog panjang yang mudah dilupakan. Protagonis film ini adalah Ismail yang seharusnya membuat kita bersimpati pada apa yang diperjuangkannya, meskipun sebagaimana Waluyo, kita juga mengutuk bagaimana Ismail tak menghiraukan korban yang berjatuhan sebagai collateral damage.
Lawan Ismail dalam film ini adalah Karin yang juga karena kelemahan skenario justru tak pernah diperlihatkan duel satu lawan satu dengannya. Skenario yang ditulis Irfan Ramly dan Angga Dwimas Sasongko juga tak mau bersusah payah membangun latar belakang kokoh bagi seorang agen intelijen perempuan yang berjibaku dengan tugasnya sebagai seorang ibu. Bisa dibandingkan dengan dua karakter utama (perempuan) dalam She Said besutan Maria Schrader yang berjuang mati-matian di antara tanggung jawab sebagai jurnalis dan sebagai ibu.
Foto: Visinema Pictures
Tapi Angga sebagai sutradara bisa jadi tahu bagaimana cara menambal skenario yang tak berfungsi sepenuhnya dengan baik itu. Angga berkomitmen penuh menjadikan film ini sebagai parade aksi mendebarkan selama nyaris 2,5 jam. Penyutradaraannya yang solid membuat karakter demi karakter yang cukup banyak bisa berlalu lalang dengan baik dalam adegan.
Kamera yang juga terus menerus bergerak dengan perhitungan matang, penyuntingan yang menjalani ritme yang rapi, penataan musik yang sukses membuat jantung kita terus menerus berdebar. Terutama bagaimana Angga mengarahkan ensembel aktor dengan sangat baik.
Dalam sebuah kesempatan, saya pernah ditanya oleh seseorang. “Bisa nggak, sih, kita bikin film action yang keren?” Jawaban saya tentu saja, “Bisa!” Angga sudah memulainya dengan menarik dalam Mencuri Raden Salehpada tahun lalu dan meningkatkan terus tantangan yang harus dihadapinya kali ini dalam 13 Bom di Jakarta. Tentu saja sebagai sebuah karya, kelemahan masih saja ada, tapi keutuhan film ini sebagai aksi yang sanggup membetot perhatian penonton selama 2,5 jam memang perlu diberi tepuk tangan panjang.
Foto: Visinema Pictures
Juga yang perlu diberi kredit khusus adalah bagaimana Angga mengemas isu politis secara halus dalam dua film aksinya yang disebutkan di atas. Tak sekedar politis tapi juga berusaha terkoneksi dengan apa yang terjadi pada level masyarakat tertentu.
tulis komentar anda