CERMIN: Begini Seharusnya Film dari Adaptasi Buku Dibuat
Jum'at, 20 Oktober 2023 - 13:25 WIB
JAKARTA - Tahun 2017. Jurnalis David Grann merilis buku nonfiksi berjudul Killers of the Flower Moon. Tak hanya sekadar laris, kelak buku tersebut juga masuk dalam daftar majalah Time sebagai salah satu buku terbaik pada 2017.
Buku tersebut juga mengundang pujian dari sejumlah media terkemuka. Dave Eggers memuji buku tersebut di New York Times sebagai "menakjubkan" dan menulis, "di halaman terakhir ini, Grann mengambil rekaman yang menarik dan disiplin dari bab yang terlupakan dalam sejarah Amerika, dan dengan bantuan anggota suku Osage yang masih tersisa, ia menjelaskan konspirasi memuakkan yang jauh lebih dalam daripada empat tahun kengerian itu. (Dan peristiwa ini) akan membakar jiwa Anda".
Sementara Sean Woods dari Rolling Stone memuji buku Grann, dengan menyatakan, "Dalam buku barunya yang luar biasa, Grann menceritakan kisah pembunuhan, pengkhianatan, kepahlawanan, dan perjuangan suatu bangsa untuk meninggalkan budaya perbatasannya dan memasuki dunia modern.. Berisi dengan karakter-karakter yang hampir mistis dari masa lalu kita – Texas Rangers yang tabah, bangsawan perampok yang korup, detektif swasta, dan pembunuh nekat seperti geng Al Spencer. Dan kisah Grann merupakan sejarah rahasia perbatasan Amerika”.
Enam tahun setelahnya sutradara auteur, Martin Scorsese, mengadaptasi buku tersebut menjadi film berdurasi 3,5 jam. Bukan saja soal durasinya sepanjang itu yang mencengangkan penonton, yang juga sekali lagi mengagumkan dari Martin adalah keberaniannya melakukan perombakan besar-besaran terutama terkait dari sisi perspektif bagaimana cerita ini dikisahkan.
Foto: Paramount Pictures
Dalam bukunya, David menuturkan dari kacamata agen FBI, Tom White, yang membongkar kejahatan demi kejahatan yang dilakukan dengan sistematis dan berdarah dingin atas suku Osage di Oklahoma pada era 1920-an. Sementara filmnya sendiri mendekatkan dirinya pada sumber cerita dan berpusat pada Ernest Burkhart, keponakan sekaligus kaki tangan dari William King Hale yang menjadi otak dari segala kejahatan biadab itu.
Yang paling menarik dari semua ini adalah bagaimana penulis bukunya, David Grann, sama sekali tak mempermasalahkan cara sutradara mengubah perspektif ceritanya. Buatnya mengubah perspektif tersebut justru membuat ceritanya lebih berpihak pada sejarah alih-alih mencoba berusaha setia pada materi aslinya.
Dalam buku The Art of Adaptation Turning Fact and Fiction into Film, Linda Seger menuliskan bahwa adaptasi merupakan sebuah proses transisi, pengubahan atau konversi dari satu medium ke medium lain. Menurutnya ada tiga proses yang perlu mendapat perhatian dalam proses kreatif adaptasi yaitu rethinking(berpikir ulang), reconceptualizing(mengonsep ulang) dan understanding (memahami) teks dari materi asli. Yang dilakukan Martin betul-betul menjalankan tiga proses ini dan menulis ulang kisah Killers of the Flower Moon bersama Eric Roth dengan kegairahan baru.
Dibandingkan dengan menonton film dari sudut pandang seorang penegak hukum, Killers of the Flower Moon memang terasa lebih menyegarkan dituturkan dari sudut pandang seorang laki-laki biasa saja, tak pintar amat-amat, cenderung mudah dimanipulasi tapi bisa dengan mudah jatuh cinta begitu saja dengan perempuan dari suku Osage.
Foto: Paramount Pictures
Karakter Ernest sedemikian menjadi pilihan paling menarik yang pernah dilakukan Leonardo DiCaprio sepanjang kariernya. Ernest yang abu-abu, kompleks dan susah untuk didefinisikan juga dimainkan dengan menarik olehnya.
Ernest yang baru saja pulang dari perang diterima secara terbuka oleh pamannya, William. Ia pun lantas bekerja sebagai sopir di sebuah wilayah yang tengah menanjak karena lahan-lahannya tiba-tiba dihujani minyak. Karuan saja suku Osage yang menjadi pemilik lahan-lahan tersebut menjadi Orang Kaya Baru.
Tapi OKB-OKB ini mesti berhadapan dengan kedengkian dari kaum kulit putih yang seperti tak ikhlas melihat mereka bisa kaya dalam semalam. Di tengah-tengah kedengkian yang menjalar di udara dan bisa meledak sekejap itu, Ernest jatuh cinta pada Mollie, perempuan dari suku Osage. Sebagaimana banyak laki-laki kulit putih yang menikahi perempuan suku Osage karena mengincar harta mereka, Ernest justru berbeda.
Ia mencintai Mollie dengan tulus tapi ia juga tak bisa mengelak ketika dirinya dijadikan kaki tangan oleh pamannya sendiri untuk sejumlah aksi kejahatan. Hingga akhirnya pembunuhan demi pembunuhan menjadi pandemi yang menakutkan bagi suku Osage dan kelak mencari perlindungan dari negara.
Foto: Paramount Pictures
Buku tersebut juga mengundang pujian dari sejumlah media terkemuka. Dave Eggers memuji buku tersebut di New York Times sebagai "menakjubkan" dan menulis, "di halaman terakhir ini, Grann mengambil rekaman yang menarik dan disiplin dari bab yang terlupakan dalam sejarah Amerika, dan dengan bantuan anggota suku Osage yang masih tersisa, ia menjelaskan konspirasi memuakkan yang jauh lebih dalam daripada empat tahun kengerian itu. (Dan peristiwa ini) akan membakar jiwa Anda".
Sementara Sean Woods dari Rolling Stone memuji buku Grann, dengan menyatakan, "Dalam buku barunya yang luar biasa, Grann menceritakan kisah pembunuhan, pengkhianatan, kepahlawanan, dan perjuangan suatu bangsa untuk meninggalkan budaya perbatasannya dan memasuki dunia modern.. Berisi dengan karakter-karakter yang hampir mistis dari masa lalu kita – Texas Rangers yang tabah, bangsawan perampok yang korup, detektif swasta, dan pembunuh nekat seperti geng Al Spencer. Dan kisah Grann merupakan sejarah rahasia perbatasan Amerika”.
Enam tahun setelahnya sutradara auteur, Martin Scorsese, mengadaptasi buku tersebut menjadi film berdurasi 3,5 jam. Bukan saja soal durasinya sepanjang itu yang mencengangkan penonton, yang juga sekali lagi mengagumkan dari Martin adalah keberaniannya melakukan perombakan besar-besaran terutama terkait dari sisi perspektif bagaimana cerita ini dikisahkan.
Foto: Paramount Pictures
Dalam bukunya, David menuturkan dari kacamata agen FBI, Tom White, yang membongkar kejahatan demi kejahatan yang dilakukan dengan sistematis dan berdarah dingin atas suku Osage di Oklahoma pada era 1920-an. Sementara filmnya sendiri mendekatkan dirinya pada sumber cerita dan berpusat pada Ernest Burkhart, keponakan sekaligus kaki tangan dari William King Hale yang menjadi otak dari segala kejahatan biadab itu.
Yang paling menarik dari semua ini adalah bagaimana penulis bukunya, David Grann, sama sekali tak mempermasalahkan cara sutradara mengubah perspektif ceritanya. Buatnya mengubah perspektif tersebut justru membuat ceritanya lebih berpihak pada sejarah alih-alih mencoba berusaha setia pada materi aslinya.
Dalam buku The Art of Adaptation Turning Fact and Fiction into Film, Linda Seger menuliskan bahwa adaptasi merupakan sebuah proses transisi, pengubahan atau konversi dari satu medium ke medium lain. Menurutnya ada tiga proses yang perlu mendapat perhatian dalam proses kreatif adaptasi yaitu rethinking(berpikir ulang), reconceptualizing(mengonsep ulang) dan understanding (memahami) teks dari materi asli. Yang dilakukan Martin betul-betul menjalankan tiga proses ini dan menulis ulang kisah Killers of the Flower Moon bersama Eric Roth dengan kegairahan baru.
Dibandingkan dengan menonton film dari sudut pandang seorang penegak hukum, Killers of the Flower Moon memang terasa lebih menyegarkan dituturkan dari sudut pandang seorang laki-laki biasa saja, tak pintar amat-amat, cenderung mudah dimanipulasi tapi bisa dengan mudah jatuh cinta begitu saja dengan perempuan dari suku Osage.
Foto: Paramount Pictures
Karakter Ernest sedemikian menjadi pilihan paling menarik yang pernah dilakukan Leonardo DiCaprio sepanjang kariernya. Ernest yang abu-abu, kompleks dan susah untuk didefinisikan juga dimainkan dengan menarik olehnya.
Ernest yang baru saja pulang dari perang diterima secara terbuka oleh pamannya, William. Ia pun lantas bekerja sebagai sopir di sebuah wilayah yang tengah menanjak karena lahan-lahannya tiba-tiba dihujani minyak. Karuan saja suku Osage yang menjadi pemilik lahan-lahan tersebut menjadi Orang Kaya Baru.
Tapi OKB-OKB ini mesti berhadapan dengan kedengkian dari kaum kulit putih yang seperti tak ikhlas melihat mereka bisa kaya dalam semalam. Di tengah-tengah kedengkian yang menjalar di udara dan bisa meledak sekejap itu, Ernest jatuh cinta pada Mollie, perempuan dari suku Osage. Sebagaimana banyak laki-laki kulit putih yang menikahi perempuan suku Osage karena mengincar harta mereka, Ernest justru berbeda.
Ia mencintai Mollie dengan tulus tapi ia juga tak bisa mengelak ketika dirinya dijadikan kaki tangan oleh pamannya sendiri untuk sejumlah aksi kejahatan. Hingga akhirnya pembunuhan demi pembunuhan menjadi pandemi yang menakutkan bagi suku Osage dan kelak mencari perlindungan dari negara.
Foto: Paramount Pictures
Lihat Juga :
tulis komentar anda