Review RUN BOY RUN: Positif Berpenyakit
Rabu, 20 September 2023 - 13:26 WIB
JAKARTA - Terengah sehabis berlarian sekeliling pulau tempat tinggalnya, Ario yang tak lebih dari 10 tahun menatap liontin yang berisi foto almarhumah ibunya. "Tenang, Bu. Kita pasti bakal segera bertemu".
Anak itu lantas menendang bola ke gawang imajiner yang dijaga oleh ayah yang beberapa saat lalu mengejar Ario sekeliling pulau. Namun bola tendangannya ditepis. Ario terisak. Usahanya untuk lari dari kenyataan demi bertemu ibunya yang pergi lebih dulu, gagal.
Run Boy Run tidak serta merta melibas kita ke dalam rincian atas apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Ario. Kita diposisikan sebagai pengintip yang mencuri dengar permasalahan yang merundung mereka.
Sedikit demi sedikit informasi dibagikan. Lewat dialog, lewat interaksi Ario maupun ayahnya dengan penduduk kampung. Sebelum akhirnya kita paham. 'Penyakit beda' yang disebut ayah ternyata adalah penyakit kronis yang paling ditakuti semua manusia, penyakit menular yang membakar harapan hidup pengidapnya seperti api memakan kayu bakar. HIV.
Foto:Ziva Film
Ya, makanya Ario lari. Dia lari karena tidak mau ke rumah sakit. Tidak mau ke mana-mana. Karena harapan sudah hilang baginya saat Ibu direnggut terlebih dahulu. Run Boy Run garapan sineas asal Lampung Aji Aditya yang berhasil menembus world premiereBali Internasional Film Festival (Balinale) 2018 mengeksplorasi permasalahan yang sensitif.
Tak banyak yang berani blak-blakan menempatkan pengidap HIV ke dalam posisi orang yang putus asa seperti yang dilakukan film ini kepada Ario. Film tak berniat mendramatisasi penyakit tersebut. Tidak bermaksud menjadikannya semacam momok hebat yang harus dikalahkan. Film tidak bermanis-manis mengatakan hidup memang tidak adil dan mereka pantas untuk bertangis-tangis. Tidak.
Malahan film ingin meniupkan semangat kepada mereka. Ario adalah perwakilan dari semangat yang kecil. Sedangkan ayahnya - diperankan penuh komitmen oleh Chicco Jerikho - adalah pengaruh positif yang membawa gagasan film pendek yang dibuat dengan kompeten ini.
Tidak satupun adegan yang dirancang untuk membuat kita merasa iba kepada Ario. Ketika dia menangis kita tidak menunduk memandangnya. Melainkan, mengikuti sang ayah, kita duduk bersamanya.
Foto: Ziva Film
Adegan di saat ayah Ario melihat ibu warung membuang gelas sisa kopi yang tadi ia minum hanya memperlihatkan kenyataan bahwa memang reaksi itulah yang bakal diterima oleh pengidap, tetapi bukan berarti harus menanggapinya dengan bersedih hati.
Adegan kejar-kejaran pun tak pernah terasa intens dan membawa kita larut untuk menyemangati Ario supaya berhasil kabur. Film seperti tampak sengaja selalu salah dalam menampilkan jarak. Ketika Ario kabur naik kapal, kamera tidak merekam dengan wide.
Kita tidak diperlihatkan seberapa jauh jarak antara Ario dengan ayahnya di pinggir dermaga kecil, supaya kita tidak merasa lega dan merasa bebas walaupun Ario mengangkat tangan lega setinggi-tingginya. Saat mereka umpet-umpetan di hutan bakau, kamera justru merekam dengan wide shot, supaya tidak terasa intensitas.
Foto: Ziva Film
Karena kabur itu bukanlah jawaban. Bukan pada cerita film pendek ini. Bukan pula pada kehidupan nyata. Mengetahui kita bakal mati, bukan berarti kita harus meninggalkan segalanya dan tidak melakukan apa-apa sampai saat itu tiba.
Anak itu lantas menendang bola ke gawang imajiner yang dijaga oleh ayah yang beberapa saat lalu mengejar Ario sekeliling pulau. Namun bola tendangannya ditepis. Ario terisak. Usahanya untuk lari dari kenyataan demi bertemu ibunya yang pergi lebih dulu, gagal.
Run Boy Run tidak serta merta melibas kita ke dalam rincian atas apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Ario. Kita diposisikan sebagai pengintip yang mencuri dengar permasalahan yang merundung mereka.
Sedikit demi sedikit informasi dibagikan. Lewat dialog, lewat interaksi Ario maupun ayahnya dengan penduduk kampung. Sebelum akhirnya kita paham. 'Penyakit beda' yang disebut ayah ternyata adalah penyakit kronis yang paling ditakuti semua manusia, penyakit menular yang membakar harapan hidup pengidapnya seperti api memakan kayu bakar. HIV.
Foto:Ziva Film
Ya, makanya Ario lari. Dia lari karena tidak mau ke rumah sakit. Tidak mau ke mana-mana. Karena harapan sudah hilang baginya saat Ibu direnggut terlebih dahulu. Run Boy Run garapan sineas asal Lampung Aji Aditya yang berhasil menembus world premiereBali Internasional Film Festival (Balinale) 2018 mengeksplorasi permasalahan yang sensitif.
Tak banyak yang berani blak-blakan menempatkan pengidap HIV ke dalam posisi orang yang putus asa seperti yang dilakukan film ini kepada Ario. Film tak berniat mendramatisasi penyakit tersebut. Tidak bermaksud menjadikannya semacam momok hebat yang harus dikalahkan. Film tidak bermanis-manis mengatakan hidup memang tidak adil dan mereka pantas untuk bertangis-tangis. Tidak.
Malahan film ingin meniupkan semangat kepada mereka. Ario adalah perwakilan dari semangat yang kecil. Sedangkan ayahnya - diperankan penuh komitmen oleh Chicco Jerikho - adalah pengaruh positif yang membawa gagasan film pendek yang dibuat dengan kompeten ini.
Tidak satupun adegan yang dirancang untuk membuat kita merasa iba kepada Ario. Ketika dia menangis kita tidak menunduk memandangnya. Melainkan, mengikuti sang ayah, kita duduk bersamanya.
Foto: Ziva Film
Adegan di saat ayah Ario melihat ibu warung membuang gelas sisa kopi yang tadi ia minum hanya memperlihatkan kenyataan bahwa memang reaksi itulah yang bakal diterima oleh pengidap, tetapi bukan berarti harus menanggapinya dengan bersedih hati.
Adegan kejar-kejaran pun tak pernah terasa intens dan membawa kita larut untuk menyemangati Ario supaya berhasil kabur. Film seperti tampak sengaja selalu salah dalam menampilkan jarak. Ketika Ario kabur naik kapal, kamera tidak merekam dengan wide.
Kita tidak diperlihatkan seberapa jauh jarak antara Ario dengan ayahnya di pinggir dermaga kecil, supaya kita tidak merasa lega dan merasa bebas walaupun Ario mengangkat tangan lega setinggi-tingginya. Saat mereka umpet-umpetan di hutan bakau, kamera justru merekam dengan wide shot, supaya tidak terasa intensitas.
Foto: Ziva Film
Karena kabur itu bukanlah jawaban. Bukan pada cerita film pendek ini. Bukan pula pada kehidupan nyata. Mengetahui kita bakal mati, bukan berarti kita harus meninggalkan segalanya dan tidak melakukan apa-apa sampai saat itu tiba.
tulis komentar anda