One Piece Club Indonesia: Apresiasi Kolektor Muda
Sabtu, 09 September 2023 - 14:00 WIB
JAKARTA - Mengoleksi benda seni, kata Francois Pinault, pemimpin korporasi multinasional Kering Group yang memproduksi luxury brand seperti Gucci, percaya bahwa perlu sentuhan jiwa spiritual. Konglomerat dengan kekayaan tahun 2019 sebesar 15,9 miliar euro (Rp262 triliun) ini meyakini seni mampu menyatukan orang-orang, bahwa, “It unites people, its message is of common humanity”.
Pinault bersandar pada nilai-nilai spiritualitas dan pesan kemanusiaan, sementara Soekarno muda punya pengalaman agak berbeda. Mantan Presiden RI ini sekitar awal 1930-an sempat sangat dekat dengan pelukis Basoeki Abdullah, dan membantunya bertemu dengan cendekia dan budayawan RM. Sosrokartono—kakak kandung RA Kartini. Ini terjadi sebelum Basoeki melanjutkan studinya ke Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten di Den Haag, Belanda.
“Seni adalah manifestasi budaya sebuah bangsa dan patut kita promosikan seniman-seniman terbaik negeri ini ke mancanegara” ujar Soekarno. Proklamator Ri ini pada saat wafatnya meninggalkan hampir 10 ribu koleksi privatnya berupa sebagian lukisan-lukisan terbaik seniman Indonesia dan patung-patung seni. Ini adalah harta tak ternilai bagi negeri ini.
Pinauld dan Soekarno berbeda zaman, tapi keduanya meski dalam pandangan berlainan, adalah patron seni rupa yang kuat. Mereka sepakat bahwa mengoleksi seni selaras dengan upaya menghormati “nilai-nilai hakiki tertentu” secara personal terhadap konsep “menjadi manusia secara spiritual” dan “mencintai negeri dalam ingatan kolektif” pada benda seni.
Sangat menarik saat menyimak satu perkumpulan para kolektor bernama One Piece Club (OPC) Indonesia, yang awalnya dikenalkan di Jepang oleh pencinta seni Hiroko Ishinabe pada 2007. OPC Indonesia akhir Agustus lalu menghelat pameran di ruang pamer ROH Project, Menteng, Jakarta. OPC perwakilan Indonesia diinisiasi oleh figur sentral seperti Melani W. Setiawan dan Tom Tandio, yang didampingi oleh board members seperti Cosmas Gozali, Winda Malika Siregar, dan Dian Sastrowardoyo.
Penulis menyempatkan mewawancarai dua kolektor perempuan muda yang diikutkan koleksi karyanya pada pameran Coalesce di Menteng tersebut dengan motivasi rasa penasaran. Apa sebenarnya yang menjadi misi mereka, pada usia muda membeli benda seni dan memilih seniman tertentu?
Yang pertama ada anak muda berusia sekitar 30-an tahun, Gita Prihanto, seorang Chief Operating Officer (COO) sebuah perusahaan teknologi finansial. Lalu ada Inez Tiffany, pemilik perusahan bisnis konstruksi dengan latar pendidikan bisnis berbasis medis, menyambut wawancara dengan antusias.
Gita memulai awal sebagai kolektor sekitar empat tahun lalu. Ia mengaku persentuhannya dalam dunia seni rupa tak lepas dari 'perasaan kosong, tapi menjadikannya manusia utuh' kala mengoleksi benda seni.
“Saya mengoleksi sebab merasa seperti menjadi manusia dalam posisi pada kondisi psikis keseimbangan, tak hanya bekerja saja—memimpin sebuah perusahaan. Namun ada sebuah pesan dan konsep tertentu yang memikat saya pada obyek seni rupa itu. Saya mendapatkan perasaan nyaman sekaligus juga mencerahkan secara nalar,” ujar Gita.
Gita menyukai karya perupa Mujahiddin Nurahman yang memprovokasi pikiran dengan gaya Arabesque berbentuk dwi matra. Selintas karya yang dikoleksi pada 2021 itu, yang terbuat dari komposisi materi kertas yang diiris dengan detail, tinta, dan plexiglass cukup kompleks untuk diapresiasi walau nyaman dilihat mata.
“Saya menyukai komposi visual yang harmoni, tapi menyimpan cerita yang memprovokasi pikiran dan rasa. Guntingan-guntingan kertas itu mengonstruksi sebuah tatanan visual yang indah, meskipun itu simbol senjata AK 47. Semacam membuat jukstaposisi yang membuat penasaran, elok sekaligus merangkai sebuah intimidasi ataukah justru proteksi?," ujar Gita.
Mujahiddin dikenal seniman terdidik asal Bandung yang piawai mengombinasikan antara kemampuan membuat struktur visual yang indah dengan narasi kritikal ideologi tertentu. Kekerasan di muka bumi terjadi justru pada saat seseorang atau masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah dan isu terhangat tentang konsep keadilan dalam perspektif rumit tentang kesalihan personal versus kesalihan sosial.
Inez Tiffany, kolektor yang masih berusia 37 tahun menyampaikan pendapatnya menyoal ketertarikannya pada seni rupa. Ini karena baginya seperti membaca sebuah buku harian.
“Ya, semacam diary, yang menjadikan saya seperti sebuah cermin tentang cerita sang seniman plus kehidupan privatnya, dan itu berefleksi pada diri saya sendiri” ungkap Inez.
Hal itulah, menurut Inez, seperti membuatnya tersentuh terhadap sesuatu, yang pada akhirnya membangun perlahan empati sosial dalam memahami segala sesuatu tentang hidup. Terutama pada kehidupan seniman lokal dan dunia seni secara umum di Indonesia.
Inez menghabiskan waktunya mengoleksi sejak delapan tahun lampau yang berkonsentrasi pada karya fine art— menurutnya, jenis lukisan cat minyak di kanvas-- yang tetiba empat tahun terakhir ia terpikat pada seni kontemporer. Baginya seni kontemporer itu beragam dan berubah-ubah, sesuatu yang sangat menantang untuk dihayati sebagai kolektor.
Pinault bersandar pada nilai-nilai spiritualitas dan pesan kemanusiaan, sementara Soekarno muda punya pengalaman agak berbeda. Mantan Presiden RI ini sekitar awal 1930-an sempat sangat dekat dengan pelukis Basoeki Abdullah, dan membantunya bertemu dengan cendekia dan budayawan RM. Sosrokartono—kakak kandung RA Kartini. Ini terjadi sebelum Basoeki melanjutkan studinya ke Koninklijke Academie Van Beeldenden Kunsten di Den Haag, Belanda.
“Seni adalah manifestasi budaya sebuah bangsa dan patut kita promosikan seniman-seniman terbaik negeri ini ke mancanegara” ujar Soekarno. Proklamator Ri ini pada saat wafatnya meninggalkan hampir 10 ribu koleksi privatnya berupa sebagian lukisan-lukisan terbaik seniman Indonesia dan patung-patung seni. Ini adalah harta tak ternilai bagi negeri ini.
Pinauld dan Soekarno berbeda zaman, tapi keduanya meski dalam pandangan berlainan, adalah patron seni rupa yang kuat. Mereka sepakat bahwa mengoleksi seni selaras dengan upaya menghormati “nilai-nilai hakiki tertentu” secara personal terhadap konsep “menjadi manusia secara spiritual” dan “mencintai negeri dalam ingatan kolektif” pada benda seni.
Inisiasi One Piece Club Indonesia
Sangat menarik saat menyimak satu perkumpulan para kolektor bernama One Piece Club (OPC) Indonesia, yang awalnya dikenalkan di Jepang oleh pencinta seni Hiroko Ishinabe pada 2007. OPC Indonesia akhir Agustus lalu menghelat pameran di ruang pamer ROH Project, Menteng, Jakarta. OPC perwakilan Indonesia diinisiasi oleh figur sentral seperti Melani W. Setiawan dan Tom Tandio, yang didampingi oleh board members seperti Cosmas Gozali, Winda Malika Siregar, dan Dian Sastrowardoyo.
Penulis menyempatkan mewawancarai dua kolektor perempuan muda yang diikutkan koleksi karyanya pada pameran Coalesce di Menteng tersebut dengan motivasi rasa penasaran. Apa sebenarnya yang menjadi misi mereka, pada usia muda membeli benda seni dan memilih seniman tertentu?
Yang pertama ada anak muda berusia sekitar 30-an tahun, Gita Prihanto, seorang Chief Operating Officer (COO) sebuah perusahaan teknologi finansial. Lalu ada Inez Tiffany, pemilik perusahan bisnis konstruksi dengan latar pendidikan bisnis berbasis medis, menyambut wawancara dengan antusias.
Gita memulai awal sebagai kolektor sekitar empat tahun lalu. Ia mengaku persentuhannya dalam dunia seni rupa tak lepas dari 'perasaan kosong, tapi menjadikannya manusia utuh' kala mengoleksi benda seni.
“Saya mengoleksi sebab merasa seperti menjadi manusia dalam posisi pada kondisi psikis keseimbangan, tak hanya bekerja saja—memimpin sebuah perusahaan. Namun ada sebuah pesan dan konsep tertentu yang memikat saya pada obyek seni rupa itu. Saya mendapatkan perasaan nyaman sekaligus juga mencerahkan secara nalar,” ujar Gita.
Gita menyukai karya perupa Mujahiddin Nurahman yang memprovokasi pikiran dengan gaya Arabesque berbentuk dwi matra. Selintas karya yang dikoleksi pada 2021 itu, yang terbuat dari komposisi materi kertas yang diiris dengan detail, tinta, dan plexiglass cukup kompleks untuk diapresiasi walau nyaman dilihat mata.
“Saya menyukai komposi visual yang harmoni, tapi menyimpan cerita yang memprovokasi pikiran dan rasa. Guntingan-guntingan kertas itu mengonstruksi sebuah tatanan visual yang indah, meskipun itu simbol senjata AK 47. Semacam membuat jukstaposisi yang membuat penasaran, elok sekaligus merangkai sebuah intimidasi ataukah justru proteksi?," ujar Gita.
Mujahiddin dikenal seniman terdidik asal Bandung yang piawai mengombinasikan antara kemampuan membuat struktur visual yang indah dengan narasi kritikal ideologi tertentu. Kekerasan di muka bumi terjadi justru pada saat seseorang atau masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah dan isu terhangat tentang konsep keadilan dalam perspektif rumit tentang kesalihan personal versus kesalihan sosial.
Buku Harian, Urbanisasi, dan Seniman Lokal
Inez Tiffany, kolektor yang masih berusia 37 tahun menyampaikan pendapatnya menyoal ketertarikannya pada seni rupa. Ini karena baginya seperti membaca sebuah buku harian.
“Ya, semacam diary, yang menjadikan saya seperti sebuah cermin tentang cerita sang seniman plus kehidupan privatnya, dan itu berefleksi pada diri saya sendiri” ungkap Inez.
Hal itulah, menurut Inez, seperti membuatnya tersentuh terhadap sesuatu, yang pada akhirnya membangun perlahan empati sosial dalam memahami segala sesuatu tentang hidup. Terutama pada kehidupan seniman lokal dan dunia seni secara umum di Indonesia.
Inez menghabiskan waktunya mengoleksi sejak delapan tahun lampau yang berkonsentrasi pada karya fine art— menurutnya, jenis lukisan cat minyak di kanvas-- yang tetiba empat tahun terakhir ia terpikat pada seni kontemporer. Baginya seni kontemporer itu beragam dan berubah-ubah, sesuatu yang sangat menantang untuk dihayati sebagai kolektor.
tulis komentar anda