CERMIN: Meledak sebagai Film Pendek, Melempem sebagai Serial
Rabu, 14 Juni 2023 - 14:26 WIB
JAKARTA - Tahun 2020. Saat perayaan ulang tahun kemerdekaan negeri di saat pandemi, Ravacana Films merilis film pendek berjudul Tilik. Kelak film pendek ini menjadi pembicaraan seantero negeri.
Film pendek tersebut lantas viral dan ditonton hingga lebih dari 28 juta kali. Tiga tahun setelahnya MD Pictures mengembangkan film pendek berdurasi 30 menit tersebut menjadi delapan episode serial dengan durasi 40 menit. Kita akan melihat bagaimana cerita hingga karakter-karakternya di dalamnya dikembangkan.
Dirilis jelang tahun politik 2024, Tilikjelas cerdas mengangkat isu yang relevan: soal pemilihan kepala desa. Kreatornya memperlihatkan Indonesia mini dalam episode demi episode ketika pertarungan perebutan jabatan di sebuah desa segera dimulai.
Kita melihat calon lurah tiba-tiba ramah kepada semua orang. Kita melihat calon lurah tiba-tiba bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Kita melihat calon lurah tiba-tiba bersikap dermawan kepada masyarakat yang sedang kesusahan. Semuanya demi ambisi memenangkan hati rakyat. Dan Bu Tejo terperangkap di tengah-tengahnya.
Foto: WeTV
Bu Tejo adalah tokoh sentral dalam Tilikyang tayang di WeTV, juga dalam versi film pendeknya. Karakter ini melambungkan nama aktris kawakan Yogya, Siti Fauziah, ke puncak popularitas. Nyawa serial ini memang ada pada padunya aktor dan aktris mengolah peran, menenggelamkan dirinya ke dalam karakter, seperti Ibnu Widodo yang juga bermain sangat baik sebagai Pak Tejo.
Bisa jadi Bu Tejo adalah salah satu sosok multidimensi terbaik yang pernah ditampilkan dalam serial lokal. Di balik bibir yang selalu ceriwis dalam berbagai hal, ia selalu tak lupa untuk tak mudah percaya pada informasi apa pun. Ia menjadi antesis dari banyak perempuan Indonesia yang gemar melabrak duluan tanpa melakukan konfirmasi lebih dulu.
Ia menjadi sosok istri yang menjadi pendukung nomor satu suaminya dalam bertarung sebagai calon kepala desa. Siapa yang menyangka bahwa keceriwisan Bu Tejo mungkin hanya kamuflase untuk menutupi sifat aslinya yang sesungguhnya baik.
Berkat kecemerlangan akting aktor dan aktrisnya, bahkan untuk kategori pendukung, kita hampir lupa bahwa serial ini masih berjalan terseok-seok hingga episode keempat. Durasi 39 menit di episode pertama pun berjalan sangat lambat dengan adegan pembuka yang juga tak menggugah penonton untuk melanjutkan ke episode demi episode berikutnya.
Foto: WeTV
Saya membayangkan adegan pembuka yang mungkin bisa “set up the tone” dari serialnya secara keseluruhan: Pak Tejo berada di sebuah pesta pernikahan dengan seorang penyanyi campursari dan keduanya tampak beradu mesra di depan khalayak.
Lalu kemesraan itu menjadi santapan ibu-ibu haus gosip dan gemar menyebarkan informasi hoaks tanpa bukti. Kelak foto dan video dari Pak Tejo menjadi senjata bagi sesama calon kepala desa, Pak Hartono, untuk terus menggerus simpati publik terhadap Pak Tejo.
Sayangnya memang serial ini mengambil alur yang aman, tak berani mengkonfrontasikan apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini dan membuatnya lebih terasa relevan dan mencekam. Jadinya memang nyaris tak ada kejutan di episode demi episodenya, tak ada hal-hal baru yang ditawarkan yang akan membuat penonton terus menebak-nebak apa yang akan terjadi.
Setelah episode 5 barulah Tilikberjalan dengan lebih dinamis. Namun penonton yang sudah kehilangan kesabaran mungkin akan meninggalkan serial ini begitu saja. Sayang sekali memang karena serial ini tak punya cukup banyak amunisi untuk ditebarkan di sepanjang durasi sejak episode pertama.
Yang juga menjadi kekurangan dari Tilikadalah terlalu banyaknya karakter yang muncul dengan subplot yang sebenarnya tak berhubungan langsung dengan plot utama. Akhirnya membuat cerita melebar ke mana-mana, tak berusaha terus memfokuskan diri pada soal pemilihan kepala desa. Saya membandingkan Tilikdengan serial The Politician di Netflix yang berbicara tentang pemilihan ketua OSIS di sebuah sekolah.
Film pendek tersebut lantas viral dan ditonton hingga lebih dari 28 juta kali. Tiga tahun setelahnya MD Pictures mengembangkan film pendek berdurasi 30 menit tersebut menjadi delapan episode serial dengan durasi 40 menit. Kita akan melihat bagaimana cerita hingga karakter-karakternya di dalamnya dikembangkan.
Dirilis jelang tahun politik 2024, Tilikjelas cerdas mengangkat isu yang relevan: soal pemilihan kepala desa. Kreatornya memperlihatkan Indonesia mini dalam episode demi episode ketika pertarungan perebutan jabatan di sebuah desa segera dimulai.
Kita melihat calon lurah tiba-tiba ramah kepada semua orang. Kita melihat calon lurah tiba-tiba bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Kita melihat calon lurah tiba-tiba bersikap dermawan kepada masyarakat yang sedang kesusahan. Semuanya demi ambisi memenangkan hati rakyat. Dan Bu Tejo terperangkap di tengah-tengahnya.
Foto: WeTV
Bu Tejo adalah tokoh sentral dalam Tilikyang tayang di WeTV, juga dalam versi film pendeknya. Karakter ini melambungkan nama aktris kawakan Yogya, Siti Fauziah, ke puncak popularitas. Nyawa serial ini memang ada pada padunya aktor dan aktris mengolah peran, menenggelamkan dirinya ke dalam karakter, seperti Ibnu Widodo yang juga bermain sangat baik sebagai Pak Tejo.
Bisa jadi Bu Tejo adalah salah satu sosok multidimensi terbaik yang pernah ditampilkan dalam serial lokal. Di balik bibir yang selalu ceriwis dalam berbagai hal, ia selalu tak lupa untuk tak mudah percaya pada informasi apa pun. Ia menjadi antesis dari banyak perempuan Indonesia yang gemar melabrak duluan tanpa melakukan konfirmasi lebih dulu.
Ia menjadi sosok istri yang menjadi pendukung nomor satu suaminya dalam bertarung sebagai calon kepala desa. Siapa yang menyangka bahwa keceriwisan Bu Tejo mungkin hanya kamuflase untuk menutupi sifat aslinya yang sesungguhnya baik.
Berkat kecemerlangan akting aktor dan aktrisnya, bahkan untuk kategori pendukung, kita hampir lupa bahwa serial ini masih berjalan terseok-seok hingga episode keempat. Durasi 39 menit di episode pertama pun berjalan sangat lambat dengan adegan pembuka yang juga tak menggugah penonton untuk melanjutkan ke episode demi episode berikutnya.
Foto: WeTV
Saya membayangkan adegan pembuka yang mungkin bisa “set up the tone” dari serialnya secara keseluruhan: Pak Tejo berada di sebuah pesta pernikahan dengan seorang penyanyi campursari dan keduanya tampak beradu mesra di depan khalayak.
Lalu kemesraan itu menjadi santapan ibu-ibu haus gosip dan gemar menyebarkan informasi hoaks tanpa bukti. Kelak foto dan video dari Pak Tejo menjadi senjata bagi sesama calon kepala desa, Pak Hartono, untuk terus menggerus simpati publik terhadap Pak Tejo.
Sayangnya memang serial ini mengambil alur yang aman, tak berani mengkonfrontasikan apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini dan membuatnya lebih terasa relevan dan mencekam. Jadinya memang nyaris tak ada kejutan di episode demi episodenya, tak ada hal-hal baru yang ditawarkan yang akan membuat penonton terus menebak-nebak apa yang akan terjadi.
Setelah episode 5 barulah Tilikberjalan dengan lebih dinamis. Namun penonton yang sudah kehilangan kesabaran mungkin akan meninggalkan serial ini begitu saja. Sayang sekali memang karena serial ini tak punya cukup banyak amunisi untuk ditebarkan di sepanjang durasi sejak episode pertama.
Yang juga menjadi kekurangan dari Tilikadalah terlalu banyaknya karakter yang muncul dengan subplot yang sebenarnya tak berhubungan langsung dengan plot utama. Akhirnya membuat cerita melebar ke mana-mana, tak berusaha terus memfokuskan diri pada soal pemilihan kepala desa. Saya membandingkan Tilikdengan serial The Politician di Netflix yang berbicara tentang pemilihan ketua OSIS di sebuah sekolah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda