CERMIN: Selamat Tinggal, Ted!
Jum'at, 02 Juni 2023 - 13:40 WIB
JAKARTA - Tahun 2020. Saat pandemi tengah menyesakkan warga sedunia, hidup Jason Sudeikis justru didefinisikan ulang melalui serial Ted Lasso.
Serial Ted Lassotayang perdana di layanan streaming Apple TV pada 14 Agustus 2020. Ini saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena Covid-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
Jason bukan bintang baru tentunya. Ia sudah malang melintang sebagai aktor, dipasangkan dengan sejumlah bintang populer seperti Jennifer Aniston dalam We’re the Millers(2013). Namun kariernya tak pernah benar-benar cemerlang hingga ia memainkan peran sebagai Ted Lasso, seorang manajer sepak bola di Liga Inggris yang tak pernah betul-betul mengerti soal sepak bola.
Di tangan Jason, Ted menjelma sebagai salah satu peran ikonis dalam sejarah serial di Amerika yang membuatnya beroleh SAG Awards, Golden Globe, Critics Choice Awards hingga Primetime Emmy.
Foto: Apple TV
Siapa yang tak jatuh hati dengan sosok Ted? Ia tampak menyenangkan, selalu berusaha melucu dalam situasi apa pun, tak mudah menampakkan emosinya. Ted Lasso tampak seperti Robin Williams dalam kehidupan nyata.
Namun itu pula akar masalahnya. Ted selalu berusaha memperlihatkan hidupnya yang baik-baik saja meskipun ia tengah bergelut dengan masalah rumah tangganya, kesulitan hidup jauh dari putranya dan menyembunyikan rapat soal depresinya. Kita tahu semua masalah-masalah ini tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Tapi Ted Lassotak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia, bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Bagi pembuat film seperti saya, menonton Ted Lassoadalah cara belajar paling efektif tentang cara membuat cerita/skenario yang tak cuma efektif, tapi juga memberi rasa hangat di hati penonton.
Foto: Apple TV
Semua pembuat film/serial/miniseri di Indonesia wajib belajar dari serial ini dengan segala kompleksitas ceritanya, dengan begitu banyak karakter di dalamnya, tapi mampu menjaga fokus dari musim ke musim, dari episode ke episode hingga berakhir di episode 34 di musim ke-3 pada Rabu (31/5) kemarin.
Selama tiga tahun, kita melihat Ted Lassosebagaimana yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang ingin menulis ulang hidupnya, menjalani kehidupan baru di tempat baru yang sesungguhnya serba sulit tapi dijalani dengan ikhlas.
Jika tak ikhlas, Ted mungkin bisa berang tiap hari setiap melihat perkembangan timnya yang sering kali lamban. Jika tak menjalani sepenuh hati, Ted mungkin akan pulang ke Amerika. Tapi ia bertahan sebagaimana kita yang bertahan menjalani hari demi hari.
Sebagai seorang pelatih klub sepak bola, Ted dipaksa untuk belajar mengelola manusia. Pemain-pemainnya bukan robot yang bisa disetel sesuka hatinya. Mereka punya hati, punya kehidupan, yang perlu untuk diketahui.
Manajer, humas hingga tukang bersih-bersih di klub adalah manusia yang juga perlu perhatian dari Ted. Tapi ketika Ted bisa memperhatikan semua orang dan bisa begitu peduli pada mereka, siapa yang akan peduli padanya?
Serial Ted Lassotayang perdana di layanan streaming Apple TV pada 14 Agustus 2020. Ini saat seantero dunia tengah dilanda ketakutan akibat jutaan orang meninggal karena Covid-19. Sosok Ted menyeruak di ruang keluarga, memberi tontonan yang memberi rasa hangat di hati dan memperkenalkan kembali sosok Jason Sudeikis ke tengah masyarakat.
Jason bukan bintang baru tentunya. Ia sudah malang melintang sebagai aktor, dipasangkan dengan sejumlah bintang populer seperti Jennifer Aniston dalam We’re the Millers(2013). Namun kariernya tak pernah benar-benar cemerlang hingga ia memainkan peran sebagai Ted Lasso, seorang manajer sepak bola di Liga Inggris yang tak pernah betul-betul mengerti soal sepak bola.
Di tangan Jason, Ted menjelma sebagai salah satu peran ikonis dalam sejarah serial di Amerika yang membuatnya beroleh SAG Awards, Golden Globe, Critics Choice Awards hingga Primetime Emmy.
Foto: Apple TV
Siapa yang tak jatuh hati dengan sosok Ted? Ia tampak menyenangkan, selalu berusaha melucu dalam situasi apa pun, tak mudah menampakkan emosinya. Ted Lasso tampak seperti Robin Williams dalam kehidupan nyata.
Namun itu pula akar masalahnya. Ted selalu berusaha memperlihatkan hidupnya yang baik-baik saja meskipun ia tengah bergelut dengan masalah rumah tangganya, kesulitan hidup jauh dari putranya dan menyembunyikan rapat soal depresinya. Kita tahu semua masalah-masalah ini tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Tapi Ted Lassotak cuma mahir menampilkan sisi tiga dimensi dari karakter utamanya. Serial ini juga dengan brilian dan realistis memotret situasi yang terjadi pada sebuah klub sepak bola dengan segala macam tingkah para pemainnya, dengan beragam situasi yang melingkupinya, juga dengan kisah sampingan seputar manajer hingga humas klub.
Selama tiga musim, kita melihat serial ini bertumbuh dan semakin cemerlang kualitasnya dari waktu ke waktu. Kita juga melihat karakter-karakternya diberi ruang lebar untuk bertumbuh, memperlihatkan bahwa mereka juga manusia, bukan sekadar wayang yang ditiupkan nyawa oleh para penulis skenario. Terutama kita melihat Ted berjuang untuk tak lagi sekadar membahagiakan sekelilingnya tapi terutama menjadi bahagia untuk dirinya sendiri.
Bagi pembuat film seperti saya, menonton Ted Lassoadalah cara belajar paling efektif tentang cara membuat cerita/skenario yang tak cuma efektif, tapi juga memberi rasa hangat di hati penonton.
Foto: Apple TV
Semua pembuat film/serial/miniseri di Indonesia wajib belajar dari serial ini dengan segala kompleksitas ceritanya, dengan begitu banyak karakter di dalamnya, tapi mampu menjaga fokus dari musim ke musim, dari episode ke episode hingga berakhir di episode 34 di musim ke-3 pada Rabu (31/5) kemarin.
Selama tiga tahun, kita melihat Ted Lassosebagaimana yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang ingin menulis ulang hidupnya, menjalani kehidupan baru di tempat baru yang sesungguhnya serba sulit tapi dijalani dengan ikhlas.
Jika tak ikhlas, Ted mungkin bisa berang tiap hari setiap melihat perkembangan timnya yang sering kali lamban. Jika tak menjalani sepenuh hati, Ted mungkin akan pulang ke Amerika. Tapi ia bertahan sebagaimana kita yang bertahan menjalani hari demi hari.
Sebagai seorang pelatih klub sepak bola, Ted dipaksa untuk belajar mengelola manusia. Pemain-pemainnya bukan robot yang bisa disetel sesuka hatinya. Mereka punya hati, punya kehidupan, yang perlu untuk diketahui.
Manajer, humas hingga tukang bersih-bersih di klub adalah manusia yang juga perlu perhatian dari Ted. Tapi ketika Ted bisa memperhatikan semua orang dan bisa begitu peduli pada mereka, siapa yang akan peduli padanya?
tulis komentar anda