CERMIN: Kesombongan Itu Bernama Titanic
Sabtu, 11 Februari 2023 - 06:55 WIB
JAKARTA - Tahun 1998. Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden setelah menjabat selama 32 tahun, dan5 bulan sebelumnya kita bertemu dengan sebuah kapal megah dan mewah bernama Titanic.
Selain Firaun, salah satu simbol kesombongan yang bisa jadi selalu diingat orang adalah Titanic. Sebuah kapal megah berbobot 52 ribu ton dengan panjang 269 meter dan lebar 28 meter serta mampu mengangkut 2244 penumpang.
Sebuah kapal berjuluk “kapal impian” dan juga “kapal yang tak bisa tenggelam”. Dan mungkin karena pujian demi pujian itulah membuat Titanic hanyut dalam lautan kesombongan.
Lalu, 25 tahun sejak dirilis pertama kali di bioskop termasuk di Indonesia, film Titanicdirilis kembali di bioskop. Kali ini dengan teknologi 4K dan kecanggihan 3D, dan saya menontonnya di layar super lebar bernama IMAX. Dan Titanicmasih mengagumkan, masih menggugah dan masih senantiasa mengingatkan kita perihal kesombongan manusia.
Foto: Paramount Pictures
James Cameron berbicara soal kelas, cara pandang borjuis kepada kaum (yang dianggapnya) di bawahnya, juga soal bagaimana cinta mampu mengalahkan kelas dan kesombongan. Semuanya terwakili melalui kisah cinta yang mungkin terasa berlebihanpada masa kini, tapi karena kita masih menontonnya 25 tahun kemudian artinya kisah cinta ini juga sudah teruji oleh waktu.
Kita bertemu seorang pemberontak dari kaum borjuis. Seorang perempuan muda nan cantik, menghargai karya seni bercita rasa tinggi seperti Picasso hingga Degas dan tak pernah gentar menyuarakan yang dianggapnya benar. Rose DeWitt Bukater terasa seperti terlahir pada zaman yang salah dengan segala pemikiran dan terutama idenya soal kebebasan. Tapi tentu saja setiap zaman selalu punya pemberontak, juga di setiap kelas.
Baca Juga: CERMIN: Surat Cinta untuk Sinema
Di kelas berbeda, pemberontak lainnya bernama Jack Dawson. Pemuda nan ganteng, percaya pada semesta atas apa yang akan terjadi dengan hidupnya kelak dan menghabiskan waktu untuk bertualang dari satu kota ke kota lain, dari waktu ke waktu. Dan semesta mempertemukan keduanya di sebuah kapal bernama RMS Titanic.
Kisah cinta Jack dan Rose tentu saja fiktif tapi James membuat kita percaya bahwa bisa saja cerita tersebut memang terjadi pada setiap zaman. Kali ini kisah cinta tersebut mendapatkan momentum ketika keduanya bertemu sesaat sebelum RMS Titanic menabrak gunung es, menghanyutkan seluruh isinya, mengakibatkan kematian lebih dari 1500 orang dan tenggelam hingga ke kedalaman lebih dari 3800 meter.
Foto: Paramount Pictures
Rose dan Jack adalah dua anak muda yang ingin melawan takdir dan percaya bahwa nasib mereka tak akan diputuskan oleh garis keturunan atau jumlah kekayaan orang tua mereka. Rose dan Jack adalah dua anak muda yang percaya pada kemurnian cinta dan mencoba memperjuangkan cinta hingga akhir hayat.
Jika pun Jack tak meninggal karena kedinginan terapung di tengah lautan, toh kita sebenarnya tahu cinta mereka sesungguhnya tak akan bertahan. Dan kemurnian cinta mereka diselamatkan oleh kematian. How romantic.
Sesekali kita memang perlu menjadi romantis. Di tengah dunia yang bergerak tergesa, serba cepat dan kadang tak mengindahkan lagi soal isi, romantisme mungkin diperlukan untuk mengisi bagian hati yang terasa hampa selama beberapa waktu.
Di tengah dunia yang melulu berbicara soal materialisme, romantisme adalah penyelamat bahwa cinta tak memerlukan ukuran-ukuran tertentu. Ia perlu berjalan di tengah ketidakpastian, perlu menarik napas di tengah sesaknya kita pada penat duniawi dan kita memerlukannya untuk memberitahu bahwa kita adalah manusia, bukan benda yang bisa dibeli.
Maka Titanicmenjadi jendela bagi James untuk menjelaskan segala pergesekan. Dan ketika RMS Titanic menggesek gunung es dan membuat air laut tumpah ruah ke dalamnya, kita melihat James membongkar segala kesombongan, kemunafikan, dan segala hal materialistik saling bergesekan. Rose dan Jack tak peduli dengan segala pergesekan itu dan hanya percaya bahwa cinta mereka nyata dan tak terpisahkan.
Selain Firaun, salah satu simbol kesombongan yang bisa jadi selalu diingat orang adalah Titanic. Sebuah kapal megah berbobot 52 ribu ton dengan panjang 269 meter dan lebar 28 meter serta mampu mengangkut 2244 penumpang.
Sebuah kapal berjuluk “kapal impian” dan juga “kapal yang tak bisa tenggelam”. Dan mungkin karena pujian demi pujian itulah membuat Titanic hanyut dalam lautan kesombongan.
Lalu, 25 tahun sejak dirilis pertama kali di bioskop termasuk di Indonesia, film Titanicdirilis kembali di bioskop. Kali ini dengan teknologi 4K dan kecanggihan 3D, dan saya menontonnya di layar super lebar bernama IMAX. Dan Titanicmasih mengagumkan, masih menggugah dan masih senantiasa mengingatkan kita perihal kesombongan manusia.
Foto: Paramount Pictures
James Cameron berbicara soal kelas, cara pandang borjuis kepada kaum (yang dianggapnya) di bawahnya, juga soal bagaimana cinta mampu mengalahkan kelas dan kesombongan. Semuanya terwakili melalui kisah cinta yang mungkin terasa berlebihanpada masa kini, tapi karena kita masih menontonnya 25 tahun kemudian artinya kisah cinta ini juga sudah teruji oleh waktu.
Kita bertemu seorang pemberontak dari kaum borjuis. Seorang perempuan muda nan cantik, menghargai karya seni bercita rasa tinggi seperti Picasso hingga Degas dan tak pernah gentar menyuarakan yang dianggapnya benar. Rose DeWitt Bukater terasa seperti terlahir pada zaman yang salah dengan segala pemikiran dan terutama idenya soal kebebasan. Tapi tentu saja setiap zaman selalu punya pemberontak, juga di setiap kelas.
Baca Juga: CERMIN: Surat Cinta untuk Sinema
Di kelas berbeda, pemberontak lainnya bernama Jack Dawson. Pemuda nan ganteng, percaya pada semesta atas apa yang akan terjadi dengan hidupnya kelak dan menghabiskan waktu untuk bertualang dari satu kota ke kota lain, dari waktu ke waktu. Dan semesta mempertemukan keduanya di sebuah kapal bernama RMS Titanic.
Kisah cinta Jack dan Rose tentu saja fiktif tapi James membuat kita percaya bahwa bisa saja cerita tersebut memang terjadi pada setiap zaman. Kali ini kisah cinta tersebut mendapatkan momentum ketika keduanya bertemu sesaat sebelum RMS Titanic menabrak gunung es, menghanyutkan seluruh isinya, mengakibatkan kematian lebih dari 1500 orang dan tenggelam hingga ke kedalaman lebih dari 3800 meter.
Foto: Paramount Pictures
Rose dan Jack adalah dua anak muda yang ingin melawan takdir dan percaya bahwa nasib mereka tak akan diputuskan oleh garis keturunan atau jumlah kekayaan orang tua mereka. Rose dan Jack adalah dua anak muda yang percaya pada kemurnian cinta dan mencoba memperjuangkan cinta hingga akhir hayat.
Jika pun Jack tak meninggal karena kedinginan terapung di tengah lautan, toh kita sebenarnya tahu cinta mereka sesungguhnya tak akan bertahan. Dan kemurnian cinta mereka diselamatkan oleh kematian. How romantic.
Sesekali kita memang perlu menjadi romantis. Di tengah dunia yang bergerak tergesa, serba cepat dan kadang tak mengindahkan lagi soal isi, romantisme mungkin diperlukan untuk mengisi bagian hati yang terasa hampa selama beberapa waktu.
Di tengah dunia yang melulu berbicara soal materialisme, romantisme adalah penyelamat bahwa cinta tak memerlukan ukuran-ukuran tertentu. Ia perlu berjalan di tengah ketidakpastian, perlu menarik napas di tengah sesaknya kita pada penat duniawi dan kita memerlukannya untuk memberitahu bahwa kita adalah manusia, bukan benda yang bisa dibeli.
Maka Titanicmenjadi jendela bagi James untuk menjelaskan segala pergesekan. Dan ketika RMS Titanic menggesek gunung es dan membuat air laut tumpah ruah ke dalamnya, kita melihat James membongkar segala kesombongan, kemunafikan, dan segala hal materialistik saling bergesekan. Rose dan Jack tak peduli dengan segala pergesekan itu dan hanya percaya bahwa cinta mereka nyata dan tak terpisahkan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda