Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Selasa, 28 April 2020 - 12:15 WIB
loading...
Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari
Para penyair tiap zaman dan angkatan punya ciri khasnya masing-masing, yang menggambarkan tingkat kebahasaan pada zaman tersebut. Foto/Pixabay
A A A
JAKARTA - Berpuisi dan menulis sajak-sajak emang gak ada matinya. Kalau ditanya siapa penyair favoritmu, mungkin ada yang langsung terlintas nama Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau bahkan Boy Candra dan Fiersa Besari.

Selain itu, kita semua tahu bahwa Indonesia punya penyair legendaris yang karyanya dikenang sepanjang masa. Siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar yang kerap disapa “Si Binatang Jalang”. Walaupun wafat pada usia 26 tahun, ia merupakan pelopor dalam gaya baru berpuisi.

Dikutip dari Buku “Apresiasi Puisi: Panduan untuk Pelajar dan Mahasiswa” karya Herman J Waluyo yang dirilis pada 2002, perkembangan puisi di Indonesia dibagi menjadi tujuh periode.

Nah, untuk mengenang wafatnya Si Binatang Jalang yang wafat pada 28 April 1949, yuk, intip beda gaya berpuisi penyair Indonesia dari masa ke masa.

1. PUISI LAMA (ANGKATAN BALAI PUSTAKA)

Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Foto: dispusipjakarta.go.id

Dikutip dari buku “Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia” (2016) karya H. Andi Muhammad Junus, istilah Balai Pustaka mengacu pada nama penerbit lokal yang berdiri pada 1908 untuk menyediakan bacaan masyarakat yang lulus dari pendidikan Eropa.

Balai Pustaka mempelopori karya hebat dalam dunia sastra Indonesia seperti roman "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli. Jenis puisi pada periode ini umumnya masih terikat dengan gaya berpuisi melayu dan berpantun yang memiliki sajak a-b-a-b serta isi penceritaannya yang berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat. Penyair pada periode ini di antaranya Sanusi Pane, Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Jamaludin, dan Merari Siregar.

2. PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU

Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Foto: Pixabay

Angkatan pujangga baru merupakan nama majalah yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana pada 1933. Gaya berpuisi pada masa ini sedikit mengalami perubahan pada pola dan penggunaan bahasa Indonesia yang lebih modern. Aliran berpuisi pada masa ini identik dengan aliran romansa. Penyair pada periode ini di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Arminj Pane, J.E Tatengkeng, Hamka, dan Zuber Usman.

3. PUISI ANGKATAN 1945

Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Foto:Wikimedia.Commons

Puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh penjajahan dan politik propaganda Jepang. Tokoh sentral pada periode ini siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar, sang pencipta “Si Binatang Jalang.” Puisi pada masa ini sudah menggunakan bahasa Indonesia yang modern dan cenderung mengekspersikan perjuangan bangsa di tengah penjajahan. Selain Chairil Anwar, tokoh penyair pada masa ini di antaranya Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus.

4. PUISI ANGKATAN 1950

Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Foto: Pixabay

Dalam periode 1950-an, aliran puisi yang dianut oleh kebanyakan penyair pada masa itu adalah romansa dan naturalis. Gaya penulisan puisi pada periode ini umumnya menggunakan sajak-sajak yang indah dan kembali ke alam. Penulisan puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sastra dari Spanyol yang dibawa oleh Ramadhan KH.

5. PUISI ANGKATAN 1960-1980

Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari

Foto:Instagram:@damonosapardi

Periode 1960-1980 boleh dibilang sebagai masa keemasan bagi dunia puisi di Indonesia. Puisi pada periode ini mengandung banyak makna filosofis dan banyak beraliran naturalis dan ekspresionalis seperti pada puisi "Membaca Tanda-Tanda" karya Taufiq Ismail. Selain Taufiq Ismail, penyair pada periode ini antara lain Sapardi Djoko Damono dengan gaya puisi yang sederhana tapi penuh makna, dan Sutardji Colzoum Bachri yang membuat puisi seolah menjadi mantra.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1051 seconds (0.1#10.140)