Ini Beda Gaya Berpuisi dari Masa ke Masa, dari Zaman Sanusi Pane hingga Fiersa Besari
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berpuisi dan menulis sajak-sajak emang gak ada matinya. Kalau ditanya siapa penyair favoritmu, mungkin ada yang langsung terlintas nama Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau bahkan Boy Candra dan Fiersa Besari.
Selain itu, kita semua tahu bahwa Indonesia punya penyair legendaris yang karyanya dikenang sepanjang masa. Siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar yang kerap disapa “Si Binatang Jalang”. Walaupun wafat pada usia 26 tahun, ia merupakan pelopor dalam gaya baru berpuisi.
Dikutip dari Buku “Apresiasi Puisi: Panduan untuk Pelajar dan Mahasiswa” karya Herman J Waluyo yang dirilis pada 2002, perkembangan puisi di Indonesia dibagi menjadi tujuh periode.
Nah, untuk mengenang wafatnya Si Binatang Jalang yang wafat pada 28 April 1949, yuk, intip beda gaya berpuisi penyair Indonesia dari masa ke masa.
1. PUISI LAMA (ANGKATAN BALAI PUSTAKA)
Foto: dispusipjakarta.go.id
Dikutip dari buku “Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia” (2016) karya H. Andi Muhammad Junus, istilah Balai Pustaka mengacu pada nama penerbit lokal yang berdiri pada 1908 untuk menyediakan bacaan masyarakat yang lulus dari pendidikan Eropa.
Balai Pustaka mempelopori karya hebat dalam dunia sastra Indonesia seperti roman "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli. Jenis puisi pada periode ini umumnya masih terikat dengan gaya berpuisi melayu dan berpantun yang memiliki sajak a-b-a-b serta isi penceritaannya yang berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat. Penyair pada periode ini di antaranya Sanusi Pane, Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Jamaludin, dan Merari Siregar.
2. PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU
Foto: Pixabay
Angkatan pujangga baru merupakan nama majalah yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana pada 1933. Gaya berpuisi pada masa ini sedikit mengalami perubahan pada pola dan penggunaan bahasa Indonesia yang lebih modern. Aliran berpuisi pada masa ini identik dengan aliran romansa. Penyair pada periode ini di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Arminj Pane, J.E Tatengkeng, Hamka, dan Zuber Usman.
3. PUISI ANGKATAN 1945
Foto:Wikimedia.Commons
Puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh penjajahan dan politik propaganda Jepang. Tokoh sentral pada periode ini siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar, sang pencipta “Si Binatang Jalang.” Puisi pada masa ini sudah menggunakan bahasa Indonesia yang modern dan cenderung mengekspersikan perjuangan bangsa di tengah penjajahan. Selain Chairil Anwar, tokoh penyair pada masa ini di antaranya Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus.
4. PUISI ANGKATAN 1950
Foto: Pixabay
Dalam periode 1950-an, aliran puisi yang dianut oleh kebanyakan penyair pada masa itu adalah romansa dan naturalis. Gaya penulisan puisi pada periode ini umumnya menggunakan sajak-sajak yang indah dan kembali ke alam. Penulisan puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sastra dari Spanyol yang dibawa oleh Ramadhan KH.
5. PUISI ANGKATAN 1960-1980
Foto:Instagram:@damonosapardi
Periode 1960-1980 boleh dibilang sebagai masa keemasan bagi dunia puisi di Indonesia. Puisi pada periode ini mengandung banyak makna filosofis dan banyak beraliran naturalis dan ekspresionalis seperti pada puisi "Membaca Tanda-Tanda" karya Taufiq Ismail. Selain Taufiq Ismail, penyair pada periode ini antara lain Sapardi Djoko Damono dengan gaya puisi yang sederhana tapi penuh makna, dan Sutardji Colzoum Bachri yang membuat puisi seolah menjadi mantra.
6. PUISI ANGKATAN 1980-2000
Foto: Pixabay
Pada periode ini, puisi telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan dan sudah tidak terikat dengan aturan puisi lama. Penyampaian pesan puisi pada periode ini condong pada kritik sosial terhadap pemerintah.
7. PUISI ANGKATAN 2000 DAN SESUDAHNYA
Foto: Instagram @joko_pinurbo
Pada akhir tahun 2000-an hingga sekarang, puisi telah banyak mendapatkan corak yang begitu berwarna dan bebas aturan. Gaya bahasa yang digunakan banyak menggunakan bahasa sehari-hari dan majas yang mudah dipahami. Pelopor penyair pada periode ini di antaranya Wiji Thukul dan Joko Pinurbo, bahkan yang sekarang banyak kita dengar dan sangat nge-pop karyanya seperti milik Boy Candra dan Fiersa Besari.
Eka Sarmila
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @eka_sarmila_
Selain itu, kita semua tahu bahwa Indonesia punya penyair legendaris yang karyanya dikenang sepanjang masa. Siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar yang kerap disapa “Si Binatang Jalang”. Walaupun wafat pada usia 26 tahun, ia merupakan pelopor dalam gaya baru berpuisi.
Dikutip dari Buku “Apresiasi Puisi: Panduan untuk Pelajar dan Mahasiswa” karya Herman J Waluyo yang dirilis pada 2002, perkembangan puisi di Indonesia dibagi menjadi tujuh periode.
Nah, untuk mengenang wafatnya Si Binatang Jalang yang wafat pada 28 April 1949, yuk, intip beda gaya berpuisi penyair Indonesia dari masa ke masa.
1. PUISI LAMA (ANGKATAN BALAI PUSTAKA)
Foto: dispusipjakarta.go.id
Dikutip dari buku “Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia” (2016) karya H. Andi Muhammad Junus, istilah Balai Pustaka mengacu pada nama penerbit lokal yang berdiri pada 1908 untuk menyediakan bacaan masyarakat yang lulus dari pendidikan Eropa.
Balai Pustaka mempelopori karya hebat dalam dunia sastra Indonesia seperti roman "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli. Jenis puisi pada periode ini umumnya masih terikat dengan gaya berpuisi melayu dan berpantun yang memiliki sajak a-b-a-b serta isi penceritaannya yang berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat. Penyair pada periode ini di antaranya Sanusi Pane, Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Jamaludin, dan Merari Siregar.
2. PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU
Foto: Pixabay
Angkatan pujangga baru merupakan nama majalah yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana pada 1933. Gaya berpuisi pada masa ini sedikit mengalami perubahan pada pola dan penggunaan bahasa Indonesia yang lebih modern. Aliran berpuisi pada masa ini identik dengan aliran romansa. Penyair pada periode ini di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Arminj Pane, J.E Tatengkeng, Hamka, dan Zuber Usman.
3. PUISI ANGKATAN 1945
Foto:Wikimedia.Commons
Puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh penjajahan dan politik propaganda Jepang. Tokoh sentral pada periode ini siapa lagi kalau bukan Chairil Anwar, sang pencipta “Si Binatang Jalang.” Puisi pada masa ini sudah menggunakan bahasa Indonesia yang modern dan cenderung mengekspersikan perjuangan bangsa di tengah penjajahan. Selain Chairil Anwar, tokoh penyair pada masa ini di antaranya Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus.
4. PUISI ANGKATAN 1950
Foto: Pixabay
Dalam periode 1950-an, aliran puisi yang dianut oleh kebanyakan penyair pada masa itu adalah romansa dan naturalis. Gaya penulisan puisi pada periode ini umumnya menggunakan sajak-sajak yang indah dan kembali ke alam. Penulisan puisi pada periode ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sastra dari Spanyol yang dibawa oleh Ramadhan KH.
5. PUISI ANGKATAN 1960-1980
Foto:Instagram:@damonosapardi
Periode 1960-1980 boleh dibilang sebagai masa keemasan bagi dunia puisi di Indonesia. Puisi pada periode ini mengandung banyak makna filosofis dan banyak beraliran naturalis dan ekspresionalis seperti pada puisi "Membaca Tanda-Tanda" karya Taufiq Ismail. Selain Taufiq Ismail, penyair pada periode ini antara lain Sapardi Djoko Damono dengan gaya puisi yang sederhana tapi penuh makna, dan Sutardji Colzoum Bachri yang membuat puisi seolah menjadi mantra.
6. PUISI ANGKATAN 1980-2000
Foto: Pixabay
Pada periode ini, puisi telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan dan sudah tidak terikat dengan aturan puisi lama. Penyampaian pesan puisi pada periode ini condong pada kritik sosial terhadap pemerintah.
7. PUISI ANGKATAN 2000 DAN SESUDAHNYA
Foto: Instagram @joko_pinurbo
Pada akhir tahun 2000-an hingga sekarang, puisi telah banyak mendapatkan corak yang begitu berwarna dan bebas aturan. Gaya bahasa yang digunakan banyak menggunakan bahasa sehari-hari dan majas yang mudah dipahami. Pelopor penyair pada periode ini di antaranya Wiji Thukul dan Joko Pinurbo, bahkan yang sekarang banyak kita dengar dan sangat nge-pop karyanya seperti milik Boy Candra dan Fiersa Besari.
Eka Sarmila
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @eka_sarmila_
(it)