CERMIN: Pembunuh Berdarah Dingin tanpa Darah di Tangannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2022. Saya mencoba menyaksikan serial Dahmerdi Netflix, dan berhenti menontonnya setelah 10 menit durasinya berlangsung.
Sejak meledaknya kisah-kisah yang menyoal pembunuh berdarah dingin, baik dalam format film, serial, miniseri hingga dokumenter, selalu ada ekspektasi dari pembuatnya untuk menyajikannya sesensasional mungkin. Maka semakin banyak darah semakin baik. Semakin berjibun adegan kekerasan semakin menarik. Dan semakin banyak adegan kontroversial semakin potensial menjadi viral.
Dahmermemenuhi semua syarat yang dibutuhkan itu. Darah, kekerasan, hingga adegan homoseksual meluap sepanjang episodenya. Alih-alih membuat bergidik, saya malah menjadi muak. Akhirnya saya menghentikan niat untuk sekadar menyelesaikan episode pertama.
Tapi saya tak sendiri merasakan hal itu. Tobias Lindholm pun mengalami hal serupa. Selalu ada ekspektasi untuk menyajikan kisah soal pembunuh berdarah dingin itu berdasar formula yang sudah terbangun dalam imajinasi penonton. Tapi bukankah jika semuanya sudah formulaic sudah tak menyajikan kejutan lagi?
Foto: Netflix
Sebagai pembuat film, saya pun mungkin akan menempuh cara yang dilakukan Tobias. Bagaimana menyajikan kisah tentang pembunuh berdarah dingin sebersih mungkin tanpa darah?
Pendekatan inilah yang digunakannya dalam film The Good Nurse yang bisa disaksikan di Netflix. Sebuah crime-thriller tanpa darah, tanpa kekerasan, juga tanpa adegan-adegan kontroversial. Tanpa semua itu, Tobias bisa melakukannya dengan brilian.
Baca Juga: CERMIN: Pornografi, Feminisme, dan Hal-Hal di Antaranya
The Good Nursebersumber dari buku berjudul sama, The Good Nurse: A True Story of Medicine, Madness and Murder yang ditulis Charles Graeber. Setelah penangkapannya pada Desember 2003, media langsung menjuluki Charlie Cullen sebagai Angel of Death atau Malaikat Pencabut Nyawa.
Charlie tampak sangat berbeda dari kebanyakan pembunuh berdarah dingin. Ia tak tampak sebagai penjahat maupun sebagai monster berwujud manusia. Ia hadir sebagai anak yang berbakti, suami dan ayah yang penyayang, sahabat dan perawat yang disukai. Namun dalam bertahun-tahun menjalani kariernya sebagai perawat, apa yang membuatnya bisa membunuh sekitar 400 pasien begitu saja?
Foto: Netflix
Di tangan Eddie Redmayne yang brilian, Charlie memang tak ubahnya seperti orang biasa. Ia bertemu dengan Amy Loughren yang bekerja di rumah sakit yang sama.
Charlie lantas masuk ke dalam kehidupan Amy dengan begitu mudahnya karena alasan sederhana: ia tulus berteman dengan Amy. Kepribadiannya juga membuatnya disenangi kedua anak perempuan Amy.
Ia menjalani hidupnya biasa saja, tak neko-neko, tak tampak seperti orang yang kesepian atau punya riwayat kesehatan mental akut. Charlie tampak dan bersikap seperti kita.
Amy pun tak menyadari itu. Hingga kematian demi kematian terjadi di sekelilingnya. Ia sama sekali tak pernah menyadari bahwa kematian-kematian itu punya korelasi satu sama lain.
Ia sama sekali tak menyadari bahwa kematian-kematian itu tak wajar. Terutama ia sama sekali tak menyadari bahwa Charlie melakukan sesuatu yang tak wajar.
Kita adalah Amy yang selalu berpikiran positifterhadap seseorang. Apalagi jika seseorang tersebut memang baik pada kita dan tak punya masalah apa pun dengan kita. Bagaimana mungkin kita mencurigai seseorang senormal Charlie yang bahkan dengan mudah bisa diterima baik oleh kedua anak perempuannya?
Foto: Netflix
Tobias menebar teror ke penonton tanpa elemen darah, kekerasan, dan adegan kontroversial. Kita ikut panik ketika sadar bahwa seorang pembunuh telah menyusup ke dalam hidup perawat berdedikasi seperti Amy.
Kita takut jika Charlie ternyata sebagaimana pembunuh berdarah dingin lainnya. Kita takut terjadi hal-hal yang sebenarnya kita inginkan, yang sering kita lihat dalam kisah tentang pembunuh berdarah dingin lainnya.
Sejak meledaknya kisah-kisah yang menyoal pembunuh berdarah dingin, baik dalam format film, serial, miniseri hingga dokumenter, selalu ada ekspektasi dari pembuatnya untuk menyajikannya sesensasional mungkin. Maka semakin banyak darah semakin baik. Semakin berjibun adegan kekerasan semakin menarik. Dan semakin banyak adegan kontroversial semakin potensial menjadi viral.
Dahmermemenuhi semua syarat yang dibutuhkan itu. Darah, kekerasan, hingga adegan homoseksual meluap sepanjang episodenya. Alih-alih membuat bergidik, saya malah menjadi muak. Akhirnya saya menghentikan niat untuk sekadar menyelesaikan episode pertama.
Tapi saya tak sendiri merasakan hal itu. Tobias Lindholm pun mengalami hal serupa. Selalu ada ekspektasi untuk menyajikan kisah soal pembunuh berdarah dingin itu berdasar formula yang sudah terbangun dalam imajinasi penonton. Tapi bukankah jika semuanya sudah formulaic sudah tak menyajikan kejutan lagi?
Foto: Netflix
Sebagai pembuat film, saya pun mungkin akan menempuh cara yang dilakukan Tobias. Bagaimana menyajikan kisah tentang pembunuh berdarah dingin sebersih mungkin tanpa darah?
Pendekatan inilah yang digunakannya dalam film The Good Nurse yang bisa disaksikan di Netflix. Sebuah crime-thriller tanpa darah, tanpa kekerasan, juga tanpa adegan-adegan kontroversial. Tanpa semua itu, Tobias bisa melakukannya dengan brilian.
Baca Juga: CERMIN: Pornografi, Feminisme, dan Hal-Hal di Antaranya
The Good Nursebersumber dari buku berjudul sama, The Good Nurse: A True Story of Medicine, Madness and Murder yang ditulis Charles Graeber. Setelah penangkapannya pada Desember 2003, media langsung menjuluki Charlie Cullen sebagai Angel of Death atau Malaikat Pencabut Nyawa.
Charlie tampak sangat berbeda dari kebanyakan pembunuh berdarah dingin. Ia tak tampak sebagai penjahat maupun sebagai monster berwujud manusia. Ia hadir sebagai anak yang berbakti, suami dan ayah yang penyayang, sahabat dan perawat yang disukai. Namun dalam bertahun-tahun menjalani kariernya sebagai perawat, apa yang membuatnya bisa membunuh sekitar 400 pasien begitu saja?
Foto: Netflix
Di tangan Eddie Redmayne yang brilian, Charlie memang tak ubahnya seperti orang biasa. Ia bertemu dengan Amy Loughren yang bekerja di rumah sakit yang sama.
Charlie lantas masuk ke dalam kehidupan Amy dengan begitu mudahnya karena alasan sederhana: ia tulus berteman dengan Amy. Kepribadiannya juga membuatnya disenangi kedua anak perempuan Amy.
Ia menjalani hidupnya biasa saja, tak neko-neko, tak tampak seperti orang yang kesepian atau punya riwayat kesehatan mental akut. Charlie tampak dan bersikap seperti kita.
Amy pun tak menyadari itu. Hingga kematian demi kematian terjadi di sekelilingnya. Ia sama sekali tak pernah menyadari bahwa kematian-kematian itu punya korelasi satu sama lain.
Ia sama sekali tak menyadari bahwa kematian-kematian itu tak wajar. Terutama ia sama sekali tak menyadari bahwa Charlie melakukan sesuatu yang tak wajar.
Kita adalah Amy yang selalu berpikiran positifterhadap seseorang. Apalagi jika seseorang tersebut memang baik pada kita dan tak punya masalah apa pun dengan kita. Bagaimana mungkin kita mencurigai seseorang senormal Charlie yang bahkan dengan mudah bisa diterima baik oleh kedua anak perempuannya?
Foto: Netflix
Tobias menebar teror ke penonton tanpa elemen darah, kekerasan, dan adegan kontroversial. Kita ikut panik ketika sadar bahwa seorang pembunuh telah menyusup ke dalam hidup perawat berdedikasi seperti Amy.
Kita takut jika Charlie ternyata sebagaimana pembunuh berdarah dingin lainnya. Kita takut terjadi hal-hal yang sebenarnya kita inginkan, yang sering kita lihat dalam kisah tentang pembunuh berdarah dingin lainnya.