CERMIN: Autisme dan di Atas Normal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2017. Saya sedang bersiap untuk pindah rumah setelah berdomisili selama 12 tahun dan bude angkat saya menangis meratapi cucunya yang 'divonis' menyandang autisme.
Sebagai jebolan Fakultas Kedokteran, secara alamiah saya selalu tertarik dengan hal-hal seputar medis. Saya suka mengamati gerak-gerik seseorang yang berbeda termasuk ketika bertemu anak laki-laki yang kala itu baru berusia tiga tahun dan sering masuk ke dalam rumah saya begitu saja.
Anak itu bernama Galih, cucu pertama dari bude angkat saya, seseorang yang selalu telaten menyiapkan makanan bagi saya selama bertahun-tahun. Ia sering berkunjung ke rumah neneknya yang berada tepat di depan rumah saya. Dan bisa begitu saja nyelonong masuk ke dalam rumah.
Lama kelamaan saya memperhatikan gerak-geriknya yang sering terpukau dengan benda-benda berkilau. Galih bisa betah berlama-lama menikmati aktivitas itu hingga dipanggil neneknya. Waktu itu saya sudah melihat gejala-gejala yang berkorelasi dengan autisme, tapi tentu saja tak saya utarakan.
Foto: Amazon Prime Video
Setelah beberapa tahun, barulah sang nenek menangis di hadapan saya setelah 'vonis' itu. Dan dengan pengetahuan saya yang terbatas, saya meyakinkan beliau bahwa Galih adalah anak yang istimewa.
Peristiwa itu menjadi sangat berkesan bagi saya dan semakin mengasah kepekaan saya ketika mengamati gerak-gerik seseorang. Ini sekaligus menjadi persentuhan pertama saya dengan dunia autisme. Dunia yang dianggap 'di atas normal', dunia yang betul-betul asing bagi saya.
Tapi seorang pembuat film mesti selalu berani menantang dirinya memasuki wilayah-wilayah asing, hal-hal yang belum banyak dibicarakan secara terbuka di masyarakat. Karenanya saya sangat respek kepada pembuat film seperti Jason Katims yang membuka pintu lebar-lebar bagi kita semua untuk tahu lebih jauh tentang autisme via serial As Wee See Ityang tayang di Amazon Prime.
Apa yang kita ketahui tentang austime? Sebagian besar dari kita mungkin masih menggambarkan penyandang autisme sebagai “seseorang yang sulit berkomunikasi dengan orang lain dan punya dunianya sendiri”. Katims dengan kepekaannya mengantarkan kita bertemu dengan tiga penyandang autisme: Jack, Violet, dan Harrison.
Sekilas tak ada hal yang tampak “tak normal” pada ketiganya. Seiring durasi berjalan, tahulah kita betapa sempitnya kita memandang autisme selama ini. Jack sangat verbal, ia bisa berkomunikasi dengan lantang dengan orang lain, tapi ia tak punya keterampilan menyensor kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bisa membuat orang lain sakit hati.
Foto: Amazon Prime Video
Violet juga sama seperti Jack, ia bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat, ia bisa bekerja dengan baik. Hanya saja ketika sesuatu mengganggu perasaannya, ia tak mempedulikan apa pun.
Mungkin Harrison yang terlihat paling berbeda. Serial ini mengenalkannya dengan cara paling jitu. Dari jauh, ia dibimbing sang pengasuh, Mandy, untuk berjalan keluar dari apartemen menuju tempat tertentu. Harrison tak bisa berhadapan dengan kegaduhan, suara anjing menyalak dan mobil yang tiba-tiba menyalip.
Baca Juga: CERMIN: Tuhan (Tak) Ada di Guantanamo
Namun ia belajar mengalahkan segala ketakutannya agar ia bisa mandiri dan tak bergantung lagi kepada Mandy untuk hal-hal sesederhana membeli sesuatu di restoran.
As We See Ittak punya pretensi sedikit pun untuk membuat kita iba pada Jack, Violet, dan Harrison. Katims sangat berhasil membuat kita melihat mereka selayaknya manusia “normal” dengan problematikanya masing-masing.
Kita bahkan seringkali tertawa terbahak melihat betapa jujurnya Jack dan Violet kepada lawan jenisnya yang seringkali potensial membuat rikuh. Dan Katim berhasil mengelola segala keunikan itu agar penonton berempati, bukan untuk mengasihani.
Sebenarnya apa normal itu? Menurut saya, ini adalah sebuah kosakata untuk menyederhanakan betapa kompleksnya manusia. Kata yang direkonstruksi untuk membatasi betapa problematiknya manusia.
Foto: Amazon Prime Video
Kita adalah makhluk heterogen dengan kapasitas berbeda-beda dalam mengelola masalah, dengan kemampuan berbeda-beda saat berhadapan dengan konflik. Cara kita menghadapi segala kompleksitas itu tak akan pernah tunggal.
Apa bedanya saya dengan Jack, Violet, dan Harrison? Ada satu masa saat saya bisa berkomentar sangat jujur pada sahabat yang mungkin melukai perasaannya seperti Jack. Kali lain saya bisa bersumpah serapah tanpa sensor ketika menumpahkan kemarahan pada seseorang seperti Violet.
Sesekali, saya pun tergagap ketika memasuki wilayah baru seperti Harrison. Jadi apa yang dimaksud dengan normal sebenar-benarnya?
Baca Juga: Haley Moss, Pengacara Autis 'Extraordinary Attorney Woo' dalam Kehidupan Nyata
Saya pun teringat ucapan penulis Maya Angelou, “If you are always trying to be normal, you will never know how amazing you can be”. Saya pun mengingat betapa berwarna-warninya hidup Jack, Violet, dan Harrison dengan segala masalah sepele yang mereka hadapi.
Sesuatu yang tampak sepele bagi kita jadi sesuatu yang berarti bagi orang-orang seperti mereka. Dan itulah yang membuat dunia lebih indah ketika kacamata kita menangkap keberagaman.
AS WEE SE IT
Produser: Devin Rich, Dara Weintraub, Sarah Caplan
Sutradara: David Boyd, Allison Liddi-Brown, Jaffar Mahmood, Jenee LaMarque, Jesse Peretz
Penulis Skenario: Jason Katim, Romi Barta, Michelle Sam, Ian Deitchman, Denise Hahn, Kristin Rusk Robinson, Jesikah Suggs
Pemain: Rick Glassman, Sue Ann Pien, Albert Rutecki
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Sebagai jebolan Fakultas Kedokteran, secara alamiah saya selalu tertarik dengan hal-hal seputar medis. Saya suka mengamati gerak-gerik seseorang yang berbeda termasuk ketika bertemu anak laki-laki yang kala itu baru berusia tiga tahun dan sering masuk ke dalam rumah saya begitu saja.
Anak itu bernama Galih, cucu pertama dari bude angkat saya, seseorang yang selalu telaten menyiapkan makanan bagi saya selama bertahun-tahun. Ia sering berkunjung ke rumah neneknya yang berada tepat di depan rumah saya. Dan bisa begitu saja nyelonong masuk ke dalam rumah.
Lama kelamaan saya memperhatikan gerak-geriknya yang sering terpukau dengan benda-benda berkilau. Galih bisa betah berlama-lama menikmati aktivitas itu hingga dipanggil neneknya. Waktu itu saya sudah melihat gejala-gejala yang berkorelasi dengan autisme, tapi tentu saja tak saya utarakan.
Foto: Amazon Prime Video
Setelah beberapa tahun, barulah sang nenek menangis di hadapan saya setelah 'vonis' itu. Dan dengan pengetahuan saya yang terbatas, saya meyakinkan beliau bahwa Galih adalah anak yang istimewa.
Peristiwa itu menjadi sangat berkesan bagi saya dan semakin mengasah kepekaan saya ketika mengamati gerak-gerik seseorang. Ini sekaligus menjadi persentuhan pertama saya dengan dunia autisme. Dunia yang dianggap 'di atas normal', dunia yang betul-betul asing bagi saya.
Tapi seorang pembuat film mesti selalu berani menantang dirinya memasuki wilayah-wilayah asing, hal-hal yang belum banyak dibicarakan secara terbuka di masyarakat. Karenanya saya sangat respek kepada pembuat film seperti Jason Katims yang membuka pintu lebar-lebar bagi kita semua untuk tahu lebih jauh tentang autisme via serial As Wee See Ityang tayang di Amazon Prime.
Apa yang kita ketahui tentang austime? Sebagian besar dari kita mungkin masih menggambarkan penyandang autisme sebagai “seseorang yang sulit berkomunikasi dengan orang lain dan punya dunianya sendiri”. Katims dengan kepekaannya mengantarkan kita bertemu dengan tiga penyandang autisme: Jack, Violet, dan Harrison.
Sekilas tak ada hal yang tampak “tak normal” pada ketiganya. Seiring durasi berjalan, tahulah kita betapa sempitnya kita memandang autisme selama ini. Jack sangat verbal, ia bisa berkomunikasi dengan lantang dengan orang lain, tapi ia tak punya keterampilan menyensor kata-kata yang keluar dari mulutnya yang bisa membuat orang lain sakit hati.
Foto: Amazon Prime Video
Violet juga sama seperti Jack, ia bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat, ia bisa bekerja dengan baik. Hanya saja ketika sesuatu mengganggu perasaannya, ia tak mempedulikan apa pun.
Mungkin Harrison yang terlihat paling berbeda. Serial ini mengenalkannya dengan cara paling jitu. Dari jauh, ia dibimbing sang pengasuh, Mandy, untuk berjalan keluar dari apartemen menuju tempat tertentu. Harrison tak bisa berhadapan dengan kegaduhan, suara anjing menyalak dan mobil yang tiba-tiba menyalip.
Baca Juga: CERMIN: Tuhan (Tak) Ada di Guantanamo
Namun ia belajar mengalahkan segala ketakutannya agar ia bisa mandiri dan tak bergantung lagi kepada Mandy untuk hal-hal sesederhana membeli sesuatu di restoran.
As We See Ittak punya pretensi sedikit pun untuk membuat kita iba pada Jack, Violet, dan Harrison. Katims sangat berhasil membuat kita melihat mereka selayaknya manusia “normal” dengan problematikanya masing-masing.
Kita bahkan seringkali tertawa terbahak melihat betapa jujurnya Jack dan Violet kepada lawan jenisnya yang seringkali potensial membuat rikuh. Dan Katim berhasil mengelola segala keunikan itu agar penonton berempati, bukan untuk mengasihani.
Sebenarnya apa normal itu? Menurut saya, ini adalah sebuah kosakata untuk menyederhanakan betapa kompleksnya manusia. Kata yang direkonstruksi untuk membatasi betapa problematiknya manusia.
Foto: Amazon Prime Video
Kita adalah makhluk heterogen dengan kapasitas berbeda-beda dalam mengelola masalah, dengan kemampuan berbeda-beda saat berhadapan dengan konflik. Cara kita menghadapi segala kompleksitas itu tak akan pernah tunggal.
Apa bedanya saya dengan Jack, Violet, dan Harrison? Ada satu masa saat saya bisa berkomentar sangat jujur pada sahabat yang mungkin melukai perasaannya seperti Jack. Kali lain saya bisa bersumpah serapah tanpa sensor ketika menumpahkan kemarahan pada seseorang seperti Violet.
Sesekali, saya pun tergagap ketika memasuki wilayah baru seperti Harrison. Jadi apa yang dimaksud dengan normal sebenar-benarnya?
Baca Juga: Haley Moss, Pengacara Autis 'Extraordinary Attorney Woo' dalam Kehidupan Nyata
Saya pun teringat ucapan penulis Maya Angelou, “If you are always trying to be normal, you will never know how amazing you can be”. Saya pun mengingat betapa berwarna-warninya hidup Jack, Violet, dan Harrison dengan segala masalah sepele yang mereka hadapi.
Sesuatu yang tampak sepele bagi kita jadi sesuatu yang berarti bagi orang-orang seperti mereka. Dan itulah yang membuat dunia lebih indah ketika kacamata kita menangkap keberagaman.
AS WEE SE IT
Produser: Devin Rich, Dara Weintraub, Sarah Caplan
Sutradara: David Boyd, Allison Liddi-Brown, Jaffar Mahmood, Jenee LaMarque, Jesse Peretz
Penulis Skenario: Jason Katim, Romi Barta, Michelle Sam, Ian Deitchman, Denise Hahn, Kristin Rusk Robinson, Jesikah Suggs
Pemain: Rick Glassman, Sue Ann Pien, Albert Rutecki
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
(ita)