Menunggu Lahirnya Web Series Lokal Keren dari Writing Master Class 2022
loading...
A
A
A
JAKARTA - Netflix bekerja sama dengan Kemendikbudristek, Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR), dan TelkomGroup mengundang penulis skenario Joe Peracchio dan Kim Va-da (Kim Ba-da) sebagai mentor dalam Writing Master Class 2022.
Kelas yang dilakukan secara langsung (offline) di Jakarta ini diadakan pada 18-20 April 2022. Peracchio menjadi mentor utama dalam kelas yang berlangsung sekitar total 10 jam ini. Ia adalah aktor, penulis, serta produser yang ikut terlibat dalam serial populer seperti Deception, The Flash, serta Trojan War. Adapun Kim Va-da, penulis serial Korea My Name, mengisi kelas daring.
Sebagai pesertanya, ada 40 penulis naskah atau praktisi Indonesia yang berasal dari PILAR, beberapa rumah produksi di Indonesia, dan TelkomGroup. Sebagai awalan, mereka diminta menonton sejumlah film klasik dan serial laris seperti Squid Game, Stranger Things, dan The Dark Knight.
Di dalam kelas, Peracchio lantas mengupas secara detail struktur cerita dari tiga film yang berbeda genre, yaitu The Dark Knight, The Godfather, dan Star Wars. Ia lalu mencoba mengembangkannya menjadi sebuah struktur cerita yang bisa dipakai untuk satu musim (season) sebuah serial.
Foto: Netflix
“Dua atau tiga jam film bisa dikembangkan menjadi delapan jam serial televisi,” ujarnya saat sesi wawancara roundtable bersama sejumlah jurnalis termasuk SINDOnews.com pada Rabu (20/4).
Dari sini, ia lantas mengulik beberapa serial populer. Selain yang sudah disebutkan di atas, ia juga membahas Breaking Bad, serial Turki Ethos, Daredevil, dan Ozark. Serial-serial ini dipilihnya karena seni penulisan skenarionya serta menyoroti tema yang berbeda.
“Jadi saya membahas cara membuat serial berdurasi satu jam per episode. Mulai dari cara menyusun struktur satu season serial, turun menjadi cara membuat satu episode serial, lalu turun lagi menjadi cara membuat scene yang menarik, dan akhirnya bagaimana menuliskannya di atas kertas,” ungkap Peracchio yang punya rutinitas menulis selama empat jam nonstop setiap hari, setelah bangun pagi.
Detail dalam Visualisasi
Adapun Kim Va-da dalam kelas daring yang diadakan pada Jumat (22/4) selama sekitar 70 menit menceritakan proses kreatifnya saat menulis serial Netflix My Name, juga proses ia menulis skenario serial secara keseluruhan.
Baca Juga: 7 Drama Korea Adaptasi Webtoon dengan Rating Tinggi pada 2021-2022
Ia mengawali kerjanya dengan membuat garis besar cerita, lalu ia akan menekankan scene-scene tertentu yang dianggap penting untuk bisa diceritakan lebih menarik.
“Yang penting sudah ada garis besar dan konfliknya di awal. Nanti di tengah-tengahnya bisa dibuat lebih berkembang lagi atau dikoreksi,” ujar Kim yang juga sudah memikirkan akhir cerita, termasuk karakter-karakter yang akan dibuat mati, sejak awal penulisan.
Foto: Netflix
Ia juga menjelaskan perbedaan antara serial yang terdiri dari enam episode seperti My Name dengan yang lebih panjang. “Kalau hanya enam episode, hanya ada satu masalah atau pertanyaan. Tapi kalau lebih dari enam episode, maka pertanyaan dan konfliknya harus berkembang,” ucap Kim.
Misalnya saja, setelah empat episode, konflik pertama berhasil diselesaikan. Lalu empat episode berikutnya dimunculkan konflik baru untuk diselesaikan oleh karakter utama.
Kim juga mengingatkan bahwa karakter dalam serial harus mampu mengundang simpati penonton dan membuat penonton peduli pada nasibnya untuk tetap mau mengikuti cerita hingga akhir.
Sementara untuk visualisasi, ia kerap membayangkan apa yang sekiranya akan dilakukan tokoh tertentu jika ia dihadapkan pada situasi tertentu. “Misalnya karakter lonely, kalau sendirian apa yang dilakukannya? Saya pakai imajinasi itu,” ujar Kim yang rutin menulis layaknya orang kantoran, yaitu dari pukul 09.00 hingga 17.00.
Meski kedua mentor sudah memberikan teori penulisan skenario secara detail, tapi Peracchio menegaskan bahwa tetap saja kesuksesan sebuah cerita berada di tangan penulis dan faktor X.
“Menulis adalah sebuah seni. Penulis perlu tahu dasarnya, tapi bukan berarti harus menulis seperti itu. Sebuah scene saat ditulis harus sepanjang dua halaman, lalu lihatlah scene 14 menit serial tertentu yang melanggar semua aturan itu, tapi (hasilnya) luar biasa,” katanya.
Foto: Netflix
Peracchio juga menanggapi fenomena film dan serial Asia yang populer di mata penonton internasional. Melihat fakta bahwa genre yang populer mayoritas adalah horor thriller dan laga martial arts, ia mengatakan bahwa dua genre itu memang sebuah keunikan dari Asia.
Lantas, apakah para penulis dan sineas Asia sebaiknya mengeksplorasi genre tersebut atau mencoba membuat gebrakan baru, ia mengatakan bahwa dari perspektif seorang penulis, mereka sebaiknya menulis yang paling mereka pahami.
“Kalau horor adalah genre yang paling kamu sukai, maka lakukan yang terbaik. Buatlah cerita dengan karakter terbaik yang bisa kamu lakukan. Saya (melakukan mentoring) di sini karena ingin membantu perjalanan para penulis, untuk bisa menciptakan pasar, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Baca Juga: 8 Film dan Serial Netflix tentang Dunia Islam dan Muslim, Cocok Ditonton saat Bulan Puasa
Ia juga menambahkan bahwa yang Netflix lakukan dengan program Writing Master Class adalah bagian dari hal tersebut. “Mereka mencari cerita dari berbagai genre dan dari berbagai budaya. Dari yang saya lihat di Singapura dan Indonesia, para penulisnya punya cerita dari beragam genre,” tuturnya.
Ruben Hattari, Director of Public Policy, Southeast Asia, Netflix, dalam siaran persnya memang menekankan bahwa Netflix berharap workshop yang diadakan bisa membantu mengembangkan kreativitas sekaligus membuka wawasan para peserta dalam menulis sebuah naskah.
“Acara ini memperkuat komitmen kami dalam membawa kisah-kisah dari Indonesia ke kancah dunia,” ujarnya.
Kelas yang dilakukan secara langsung (offline) di Jakarta ini diadakan pada 18-20 April 2022. Peracchio menjadi mentor utama dalam kelas yang berlangsung sekitar total 10 jam ini. Ia adalah aktor, penulis, serta produser yang ikut terlibat dalam serial populer seperti Deception, The Flash, serta Trojan War. Adapun Kim Va-da, penulis serial Korea My Name, mengisi kelas daring.
Sebagai pesertanya, ada 40 penulis naskah atau praktisi Indonesia yang berasal dari PILAR, beberapa rumah produksi di Indonesia, dan TelkomGroup. Sebagai awalan, mereka diminta menonton sejumlah film klasik dan serial laris seperti Squid Game, Stranger Things, dan The Dark Knight.
Di dalam kelas, Peracchio lantas mengupas secara detail struktur cerita dari tiga film yang berbeda genre, yaitu The Dark Knight, The Godfather, dan Star Wars. Ia lalu mencoba mengembangkannya menjadi sebuah struktur cerita yang bisa dipakai untuk satu musim (season) sebuah serial.
Foto: Netflix
“Dua atau tiga jam film bisa dikembangkan menjadi delapan jam serial televisi,” ujarnya saat sesi wawancara roundtable bersama sejumlah jurnalis termasuk SINDOnews.com pada Rabu (20/4).
Dari sini, ia lantas mengulik beberapa serial populer. Selain yang sudah disebutkan di atas, ia juga membahas Breaking Bad, serial Turki Ethos, Daredevil, dan Ozark. Serial-serial ini dipilihnya karena seni penulisan skenarionya serta menyoroti tema yang berbeda.
“Jadi saya membahas cara membuat serial berdurasi satu jam per episode. Mulai dari cara menyusun struktur satu season serial, turun menjadi cara membuat satu episode serial, lalu turun lagi menjadi cara membuat scene yang menarik, dan akhirnya bagaimana menuliskannya di atas kertas,” ungkap Peracchio yang punya rutinitas menulis selama empat jam nonstop setiap hari, setelah bangun pagi.
Detail dalam Visualisasi
Adapun Kim Va-da dalam kelas daring yang diadakan pada Jumat (22/4) selama sekitar 70 menit menceritakan proses kreatifnya saat menulis serial Netflix My Name, juga proses ia menulis skenario serial secara keseluruhan.
Baca Juga: 7 Drama Korea Adaptasi Webtoon dengan Rating Tinggi pada 2021-2022
Ia mengawali kerjanya dengan membuat garis besar cerita, lalu ia akan menekankan scene-scene tertentu yang dianggap penting untuk bisa diceritakan lebih menarik.
“Yang penting sudah ada garis besar dan konfliknya di awal. Nanti di tengah-tengahnya bisa dibuat lebih berkembang lagi atau dikoreksi,” ujar Kim yang juga sudah memikirkan akhir cerita, termasuk karakter-karakter yang akan dibuat mati, sejak awal penulisan.
Foto: Netflix
Ia juga menjelaskan perbedaan antara serial yang terdiri dari enam episode seperti My Name dengan yang lebih panjang. “Kalau hanya enam episode, hanya ada satu masalah atau pertanyaan. Tapi kalau lebih dari enam episode, maka pertanyaan dan konfliknya harus berkembang,” ucap Kim.
Misalnya saja, setelah empat episode, konflik pertama berhasil diselesaikan. Lalu empat episode berikutnya dimunculkan konflik baru untuk diselesaikan oleh karakter utama.
Kim juga mengingatkan bahwa karakter dalam serial harus mampu mengundang simpati penonton dan membuat penonton peduli pada nasibnya untuk tetap mau mengikuti cerita hingga akhir.
Sementara untuk visualisasi, ia kerap membayangkan apa yang sekiranya akan dilakukan tokoh tertentu jika ia dihadapkan pada situasi tertentu. “Misalnya karakter lonely, kalau sendirian apa yang dilakukannya? Saya pakai imajinasi itu,” ujar Kim yang rutin menulis layaknya orang kantoran, yaitu dari pukul 09.00 hingga 17.00.
Meski kedua mentor sudah memberikan teori penulisan skenario secara detail, tapi Peracchio menegaskan bahwa tetap saja kesuksesan sebuah cerita berada di tangan penulis dan faktor X.
“Menulis adalah sebuah seni. Penulis perlu tahu dasarnya, tapi bukan berarti harus menulis seperti itu. Sebuah scene saat ditulis harus sepanjang dua halaman, lalu lihatlah scene 14 menit serial tertentu yang melanggar semua aturan itu, tapi (hasilnya) luar biasa,” katanya.
Foto: Netflix
Peracchio juga menanggapi fenomena film dan serial Asia yang populer di mata penonton internasional. Melihat fakta bahwa genre yang populer mayoritas adalah horor thriller dan laga martial arts, ia mengatakan bahwa dua genre itu memang sebuah keunikan dari Asia.
Lantas, apakah para penulis dan sineas Asia sebaiknya mengeksplorasi genre tersebut atau mencoba membuat gebrakan baru, ia mengatakan bahwa dari perspektif seorang penulis, mereka sebaiknya menulis yang paling mereka pahami.
“Kalau horor adalah genre yang paling kamu sukai, maka lakukan yang terbaik. Buatlah cerita dengan karakter terbaik yang bisa kamu lakukan. Saya (melakukan mentoring) di sini karena ingin membantu perjalanan para penulis, untuk bisa menciptakan pasar, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Baca Juga: 8 Film dan Serial Netflix tentang Dunia Islam dan Muslim, Cocok Ditonton saat Bulan Puasa
Ia juga menambahkan bahwa yang Netflix lakukan dengan program Writing Master Class adalah bagian dari hal tersebut. “Mereka mencari cerita dari berbagai genre dan dari berbagai budaya. Dari yang saya lihat di Singapura dan Indonesia, para penulisnya punya cerita dari beragam genre,” tuturnya.
Ruben Hattari, Director of Public Policy, Southeast Asia, Netflix, dalam siaran persnya memang menekankan bahwa Netflix berharap workshop yang diadakan bisa membantu mengembangkan kreativitas sekaligus membuka wawasan para peserta dalam menulis sebuah naskah.
“Acara ini memperkuat komitmen kami dalam membawa kisah-kisah dari Indonesia ke kancah dunia,” ujarnya.
(ita)