Miniseri Mahram untuk Najwa: Dilema Cinta Muslimah Modern
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada sebuah kesempatan di toko bunga, Fadlan memesan bunga mawar putih pada Najwa, sang pemilik toko. Dengan telaten, Najwa memilihkan bunga terindah, merangkainya dan lalu memberikannya pada Fadlan.
Mungkin ia mengira bunga tersebut akan diberikan Fadlan pada tunangannya, Jihan yang juga sahabat Najwa. Tak disangka, bunga itu kemudian diserahkan Fadlan pada Najwa. Ia melongo. Hatinya tak keruan.
Demikian salah satu adegan serial web Mahram untuk Najwa yang telah tayang enam episode di layanan streaming Genflix. Adegan itu kurang lebih menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi tokoh utama kita, Najwa (diperankan Zee Zee Shahab).
Cerita bermula kala Najwa menghadiri acara pertunangan sahabatnya, Jihan (Ine Rosdiana). Tak disangka, pria yang hendak bersanding di pelaminan dengan Jihan adalah Fadlan, kekasihnya masa SMA. Kala itu, Najwa masih bernama Aika sedangkan Fadlan dipanggil Alan.
Masa SMA dilalui keduanya bersama selayaknya kekasih remaja. Namun, takdir kemudian memisahkan mereka. Setelah 10 tahun tak bersua, takdir kembali mempertemukan sejoli itu. Dengan kondisi yang sama sekali berbeda.
Foto: Genflix
Di sisi lain, Aika yang ternyata telah kehilangan orang tua akibat kecelakaan pesawat dan kini hidup mandiri dengan nama lain, juga tengah didekati pria lain, Faiz. Pria ini tulus dan serius mencintainya. Ia memberanikan diri pula mengajak Najwa menikah.
Siapa yang kemudian dipilih Najwa?
Sampai episode enam yang jadi akhir musim tayang pertama, ceritanya belum tuntas. Memang, Jihan didera cobaan dahsyat yang membuatnya sulit bersatu dengan Fadlan. Akibat kondisinya kini pula, Jihan meminta Najwa menggantikan posisinya menikahi Fadlan.
Baca Juga: Cuma Die-Hard Fans yang Tahu, Ini 7 Fakta Menarik Squid Game
Najwa kian bingung dan belum memberi jawaban, baik pada Jihan maupun pada kita, penonton serialnya.
Dari Islamisme ke Post-Islamisme
Serial web yang diangkat Ichwan Persada dari cerita di Wattpad ini sudah dibaca 3,7 juta kali, dan sejatinya melanjutkan tren cerita islami yang sudah dimulai sejak 1990-an lewat sukses majalah Annida.
Kala itu, sejak 1993, majalah Annida mengubah target pasar dari keluarga muslim menjadi remaja perempuan muslimah. Isinya kemudian lebih banyak cerpen-cerpen islami bertema remaja, tak terkecuali problema cinta yang dialami remaja Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Para penulis cerpen di Annida kemudian membentuk komunitas, yang terkenal adalah Forum Lingkar Pena. Dari komunitas ini antara lain lahir Habiburrahman El Shirazy yang menuangkan cerita Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih I dan II pada awal 2000-an.
Kita kemudian tahu, dua cerita itu diangkat ke layar lebar dan sukses besar mendatangkan penonton. Sejak itu, Islam dalam budaya pop kita tak pernah sama lagi.
Sebelumnya representasi Islam dalam budaya pop selalu terkait dakwah perbaikan di masyarakat, antara lain lewat film Al Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959/remake 1982) dan Nada dan Dakwah (1990). Masa itu, meminjam konsep Asef Bayat, adalah periode “islamisme”.
Sementara setelahnya adalah masa “post-islamisme”, yakni ketika umat Islam tak lagi menggelorakan semangat perbaikan umat, melainkan konsumsi budaya pop yang islami sambil mempraktikkan kesalehan pribadi alih-alih berambisi mengejar yang besar seperti mengubah sistem negara.
Foto: Genflix
Hal ini seiring pula dengan kebangkitan kelas menengah muslim di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di Tanah Air, faktor politik kala bandul rezim Suharto condong ke kanan lewat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan penerbitan koran Republika, serta ditandai sang presiden naik haji pada dekade 1990-an turut mempercepat proses islamisasi negeri kita menjadi post-islamisme.
Mungkin ia mengira bunga tersebut akan diberikan Fadlan pada tunangannya, Jihan yang juga sahabat Najwa. Tak disangka, bunga itu kemudian diserahkan Fadlan pada Najwa. Ia melongo. Hatinya tak keruan.
Demikian salah satu adegan serial web Mahram untuk Najwa yang telah tayang enam episode di layanan streaming Genflix. Adegan itu kurang lebih menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi tokoh utama kita, Najwa (diperankan Zee Zee Shahab).
Cerita bermula kala Najwa menghadiri acara pertunangan sahabatnya, Jihan (Ine Rosdiana). Tak disangka, pria yang hendak bersanding di pelaminan dengan Jihan adalah Fadlan, kekasihnya masa SMA. Kala itu, Najwa masih bernama Aika sedangkan Fadlan dipanggil Alan.
Masa SMA dilalui keduanya bersama selayaknya kekasih remaja. Namun, takdir kemudian memisahkan mereka. Setelah 10 tahun tak bersua, takdir kembali mempertemukan sejoli itu. Dengan kondisi yang sama sekali berbeda.
Foto: Genflix
Di sisi lain, Aika yang ternyata telah kehilangan orang tua akibat kecelakaan pesawat dan kini hidup mandiri dengan nama lain, juga tengah didekati pria lain, Faiz. Pria ini tulus dan serius mencintainya. Ia memberanikan diri pula mengajak Najwa menikah.
Siapa yang kemudian dipilih Najwa?
Sampai episode enam yang jadi akhir musim tayang pertama, ceritanya belum tuntas. Memang, Jihan didera cobaan dahsyat yang membuatnya sulit bersatu dengan Fadlan. Akibat kondisinya kini pula, Jihan meminta Najwa menggantikan posisinya menikahi Fadlan.
Baca Juga: Cuma Die-Hard Fans yang Tahu, Ini 7 Fakta Menarik Squid Game
Najwa kian bingung dan belum memberi jawaban, baik pada Jihan maupun pada kita, penonton serialnya.
Dari Islamisme ke Post-Islamisme
Serial web yang diangkat Ichwan Persada dari cerita di Wattpad ini sudah dibaca 3,7 juta kali, dan sejatinya melanjutkan tren cerita islami yang sudah dimulai sejak 1990-an lewat sukses majalah Annida.
Kala itu, sejak 1993, majalah Annida mengubah target pasar dari keluarga muslim menjadi remaja perempuan muslimah. Isinya kemudian lebih banyak cerpen-cerpen islami bertema remaja, tak terkecuali problema cinta yang dialami remaja Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Para penulis cerpen di Annida kemudian membentuk komunitas, yang terkenal adalah Forum Lingkar Pena. Dari komunitas ini antara lain lahir Habiburrahman El Shirazy yang menuangkan cerita Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih I dan II pada awal 2000-an.
Kita kemudian tahu, dua cerita itu diangkat ke layar lebar dan sukses besar mendatangkan penonton. Sejak itu, Islam dalam budaya pop kita tak pernah sama lagi.
Sebelumnya representasi Islam dalam budaya pop selalu terkait dakwah perbaikan di masyarakat, antara lain lewat film Al Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959/remake 1982) dan Nada dan Dakwah (1990). Masa itu, meminjam konsep Asef Bayat, adalah periode “islamisme”.
Sementara setelahnya adalah masa “post-islamisme”, yakni ketika umat Islam tak lagi menggelorakan semangat perbaikan umat, melainkan konsumsi budaya pop yang islami sambil mempraktikkan kesalehan pribadi alih-alih berambisi mengejar yang besar seperti mengubah sistem negara.
Foto: Genflix
Hal ini seiring pula dengan kebangkitan kelas menengah muslim di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di Tanah Air, faktor politik kala bandul rezim Suharto condong ke kanan lewat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan penerbitan koran Republika, serta ditandai sang presiden naik haji pada dekade 1990-an turut mempercepat proses islamisasi negeri kita menjadi post-islamisme.