Merespons Afghanistan, PB PMII Dorong Pemerintah Antisipasi Munculnya Gerakan Baru Terorisme di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menyelenggarakan Foreign Policy Webinar Series-1 dengan tema "Counter of The Taliban’s Ideology in Indonesia".
Acara ini merupakan rangkaian webinar yang dilaksanakan oleh Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII untuk mendiskusikan dan merespons isu-isu internasional. Kegiatan daring yang dihadiri oleh lebih dari 50 peserta ini diisi narasumber, yaitu Dina Yulianti selaku Direktur Indonesia Center for Middle East Studies dan Najih Arromadloni selaku Sekretaris I Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Muhammad Rafsanjani, Sekretaris Jenderal PB PMII, dalam sambutannya menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan ikhtiar PB PMII untuk terus konsisten memberikan informasi yang komprehensif terkait isu dan perkembangan baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk yang terjadi di Afghanistan.
“Tujuan dari diskusi ini adalah PB PMII ingin menggali isu-isu terkait yang sedang berkembang di Afghanistan sehingga PB PMII mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang dinamika politik di Afghanistan dan dampaknya bagi Indonesia. Diskusi ini juga menjadi dasar bagi PB PMII dalam menentukan sikap dan kebijakan dalam merespons politik dan keamanan di Afghanistan,” ungkap Rafsan, pada Rabu (1/9).
Foto: Screenshot Muh Afit Khomsani
Dina dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Indonesia sudah lama menjadi mediator dan berkontribusi positif dalam upaya mengakhiri konflik di Afghanistan. Indonesia telah menjalan diplomasi dan lobi politik untuk merespons krisis tersebut, baik dengan jalur formal melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) maupun second track diplomacy yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, seperti apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 2011.
Dina juga menambahkan bahwa pemerintah harus lebih intensif dalam melakukan upaya pelacakan dan deradikalisasi terhadap anasir-anasir simpatisan Taliban di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dalam upaya diplomatik dengan Afghanistan, termasuk keterlibatan organisasi masyarakat seperti NU. Upaya ini merupakan langkah strategis bagi pemerintah untuk mengantisipasi euforia berlebihan atas kudeta yang terjadi di Afghanistan dan berpotensi memicu gerakan serupa di Indonesia
“Hal yang menarik adalah bagaimana NU melakukan komunikasi dengan para pemimpin Taliban di Afghanistan, sehingga banyak dari mereka yang bergabung dengan organisasi (mirip) NU di Afghanistan, dan Organisasi ini sudah berkembang di 30 wilayah di Afghanistan. Keterlibatan kelompok perempuan juga harus ada dalam setiap diplomasi Indonesia karena perempuan menjadi kelompok paling diruguikan dalam setiap konflik” jelas Dina.
Foto: ScreenshotMuh Afit Khomsani
Pada kesempatan yang sama, Najih menekankan bahwa yang terjadi di Afghanistan hari ini adalah akibat dari adanya metamorfosa atau pergeseran ideologi. “Sebelum Invasi Uni Soviet tahun 1979 di Afghanistan, masyarakat di sana didominasi oleh madzhab Maturidi. Kependudukan Uni Soviet memaksa mayoritas masyarakat pindah ke Pakistan, dan di sana mereka mulai beinteraksi dan belajar dengan guru-guru yang berhaluan Salafi Wahabi. Para pelajar inilah yang kemudian pulang ke Afghanistan dan berhasil menumbangkan rezim komunis di Afghanistan pada 1996,” ujarnya.
Najih berharap bahwa Taliban saat ini bisa lebih moderat dan tidak menjadi homebase bagi simpatisan Mujahidin di seluruh dunia. Pemerintah juga harus terus melakukan diskusi dengan kelompok Taliban untuk mencari solusi atas krisis tersebut.
Padaakhir acara, Yanju Sahara selaku Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII menjelaskan bahwa isu ini menjadi sangat krusial bagi Indonesia. Ia menegaskan bahwa PB PMII melalui bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional akan terus responsif terhadap isu-isu global.
Spesifik pada isu Afghanistan, PB PMII mendorong pemerintah Indonesia untuk tetap terlibat aktif dalam menyelesaikan konflik di sana, dan pada saat yang sama harus terus melakukan langkah strategis untuk menghalau gerakan dan ideologi radikal yang berlawanan dengan Pancasila dan NKRI.
“Terorisme merupakan gerakan yang tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Dalam hal ini PB PMII (berkomitmen) memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat Indonesia bahwa terorisme atas nama agama tidak dibenarkan keberadaannya. PB PMII siap bersama pemerintah menjadi garda terdepan dinamika pemikiran keagamaan di tingkat global, khususnya bagi pemuda.”
Muh Afit Khomsani
Pengurus Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII
Acara ini merupakan rangkaian webinar yang dilaksanakan oleh Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII untuk mendiskusikan dan merespons isu-isu internasional. Kegiatan daring yang dihadiri oleh lebih dari 50 peserta ini diisi narasumber, yaitu Dina Yulianti selaku Direktur Indonesia Center for Middle East Studies dan Najih Arromadloni selaku Sekretaris I Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Muhammad Rafsanjani, Sekretaris Jenderal PB PMII, dalam sambutannya menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan ikhtiar PB PMII untuk terus konsisten memberikan informasi yang komprehensif terkait isu dan perkembangan baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk yang terjadi di Afghanistan.
“Tujuan dari diskusi ini adalah PB PMII ingin menggali isu-isu terkait yang sedang berkembang di Afghanistan sehingga PB PMII mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang dinamika politik di Afghanistan dan dampaknya bagi Indonesia. Diskusi ini juga menjadi dasar bagi PB PMII dalam menentukan sikap dan kebijakan dalam merespons politik dan keamanan di Afghanistan,” ungkap Rafsan, pada Rabu (1/9).
Foto: Screenshot Muh Afit Khomsani
Dina dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Indonesia sudah lama menjadi mediator dan berkontribusi positif dalam upaya mengakhiri konflik di Afghanistan. Indonesia telah menjalan diplomasi dan lobi politik untuk merespons krisis tersebut, baik dengan jalur formal melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) maupun second track diplomacy yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, seperti apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 2011.
Dina juga menambahkan bahwa pemerintah harus lebih intensif dalam melakukan upaya pelacakan dan deradikalisasi terhadap anasir-anasir simpatisan Taliban di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dalam upaya diplomatik dengan Afghanistan, termasuk keterlibatan organisasi masyarakat seperti NU. Upaya ini merupakan langkah strategis bagi pemerintah untuk mengantisipasi euforia berlebihan atas kudeta yang terjadi di Afghanistan dan berpotensi memicu gerakan serupa di Indonesia
“Hal yang menarik adalah bagaimana NU melakukan komunikasi dengan para pemimpin Taliban di Afghanistan, sehingga banyak dari mereka yang bergabung dengan organisasi (mirip) NU di Afghanistan, dan Organisasi ini sudah berkembang di 30 wilayah di Afghanistan. Keterlibatan kelompok perempuan juga harus ada dalam setiap diplomasi Indonesia karena perempuan menjadi kelompok paling diruguikan dalam setiap konflik” jelas Dina.
Foto: ScreenshotMuh Afit Khomsani
Pada kesempatan yang sama, Najih menekankan bahwa yang terjadi di Afghanistan hari ini adalah akibat dari adanya metamorfosa atau pergeseran ideologi. “Sebelum Invasi Uni Soviet tahun 1979 di Afghanistan, masyarakat di sana didominasi oleh madzhab Maturidi. Kependudukan Uni Soviet memaksa mayoritas masyarakat pindah ke Pakistan, dan di sana mereka mulai beinteraksi dan belajar dengan guru-guru yang berhaluan Salafi Wahabi. Para pelajar inilah yang kemudian pulang ke Afghanistan dan berhasil menumbangkan rezim komunis di Afghanistan pada 1996,” ujarnya.
Najih berharap bahwa Taliban saat ini bisa lebih moderat dan tidak menjadi homebase bagi simpatisan Mujahidin di seluruh dunia. Pemerintah juga harus terus melakukan diskusi dengan kelompok Taliban untuk mencari solusi atas krisis tersebut.
Padaakhir acara, Yanju Sahara selaku Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII menjelaskan bahwa isu ini menjadi sangat krusial bagi Indonesia. Ia menegaskan bahwa PB PMII melalui bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional akan terus responsif terhadap isu-isu global.
Spesifik pada isu Afghanistan, PB PMII mendorong pemerintah Indonesia untuk tetap terlibat aktif dalam menyelesaikan konflik di sana, dan pada saat yang sama harus terus melakukan langkah strategis untuk menghalau gerakan dan ideologi radikal yang berlawanan dengan Pancasila dan NKRI.
“Terorisme merupakan gerakan yang tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Dalam hal ini PB PMII (berkomitmen) memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat Indonesia bahwa terorisme atas nama agama tidak dibenarkan keberadaannya. PB PMII siap bersama pemerintah menjadi garda terdepan dinamika pemikiran keagamaan di tingkat global, khususnya bagi pemuda.”
Muh Afit Khomsani
Pengurus Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII
(ita)