Quarter Life Crisis, Bikin Galau Kalangan Twenties
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernah gak, sih, kamu merasa galau mikirin masa depan dan merenung, “Kok hidup gue masih gini-gini aja, ya?”
Mungkin kamu mulai ragu dengan kompetensi diri, merasa terjebak dengan pilihan hidup, dan mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang langkahnya sudah jauh lebih maju dibanding kamu yang merasa masih di situ-situ aja.
Dinda Audy, 20, adalah salah satu dari banyak Generasi Z yang sedang mengalaminya. Dinda bercerita kalau ia merasa tersesat di tengah bidang perkuliahan yang nyatanya gak sesuai dengan ekspektasi.
“Ternyata gak sesuai passion, tapi udah telanjur nyebur (dalam jurusannya). Gue jadi bingung dan ngerasa abu-abu buat ke depannya. Mau mulai hal baru dari nol belum tentu berhasil, tapi kalau harus terus di bidang ini rasanya bukan gue banget,” curhat mahasiswi Universitas Indonesia (UI) ini.
Nah, kegalauan yang dialami Dinda sebenarnya bukanlah hal yang langka dialami oleh para kawula muda. Dalam psikologi, fenomena itu dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis pada rentang usia seperempat abad. Ini adalah sebuah fase saat seseorang merasa cemas akan masa depan dan mulai mempertanyakan kembali pilihan hidupnya.
Foto: jolitamo.com
Dipicu Banyak Alasan
Istilah Quarter Life Crisis pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Robbins dan Abby Wilner dalam buku mereka yang bertajuk "Quarter life Crisis: The Unique Challenge in Your Twenties" (2001).
Dalam bukunya, Robbins dan Wilner menjelaskan bahwa dewasa muda harus menemukan identitas mereka sebelum memasuki fase baru, yaitu kedewasaan. Apabila mereka mengalami kegagalan dalam membangun komitmen itu, mereka cenderung akan mengalami kebingungan pada identitasnya. Hal inilah yang nantinya dapat membawa seseorang pada Quarter Life Crisis.
Selain itu, QLC juga bisa dipicu oleh berbagai alasan, di antaranya ekspektasi yang gak sesuai harapan, karier dan pekerjaan, hubungan percintaan, tekanan untuk memenuhi harapan orang tua, atau insecure dengan masa depan.
Umumnya, krisis ini akan muncul saat seseorang berada dalam masa transisi menuju kedewasaan, yakni dalam rentang usia 18-25 tahun. Karena pada tahap ini, individu mulai dihadapkan dengan berbagai keputusan besar yang bisa memengaruhi kehidupannya kelak, seperti menentukan arah kariernya, apakah udah yakin untuk menikah, atau lain sebagainya.
Foto: Shutterstock
Walaupun krisis ini biasanya muncul pada individu dengan rentang usia 18-25 tahun, tapi ada juga beberapa kasus saat seseorang bisa aja mengalami Quarter Life Crisis lebih lama sampai umur 30-an tahun.
Nah, untuk kamu yang sedang mengalami QLC, ingat, kamu gak sendirian, lho. Setiap manusia pasti akan mengalami fase-fase tertentu dalam kehidupannya. Biasanya, masa transisi dari satu fase ke fase lain sering kali membuat seseorang merasa cemas akan mengalami kegagalan pada masa mendatang.
Menurut Indah Puspitasari, M.Psi, psikolog sekaligus konsultan di klinik Motekar Prakarsa Daya, Bandung, perasaan cemas dan gagal adalah hal yang sangat wajar dirasakan oleh seseorang.
“Transisi pada dasarnya bersifat stres. Stressor yang muncul adalah adanya pengalaman-pengalaman baru yang dirasakan seseorang," ujar Indah kepada GenSINDO.
"Di lain pihak, individu belum merasa memiliki sumber daya yang memadai untuk mengatasi hal tersebut, sehingga individu akan mengalami kecemasan tentang kapasitas pribadi mereka apakah bisa menghadapinya,” jelasnya.
Foto: Shutterstock
Waspada Kalau Ada Gejala Psikomatis
Walau badai pasti berlalu, tapi kita mesti ingat bahwa Quarter Life Crisis bukanlah sesuatu yang bisa dihadapi dengan cuek. Rika Rahmawati, psikolog perkembangan di unit layanan psikologi UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, menjelaskan tindakan yang seharusnya dilakukan individu dalam menghadapi QLC.
Sebagai pihak yang bisa mengukur sejauh mana hal itu mengganggu diri, Rika menekankan bahwa individu haruslah peka terhadap dirinya, apakah ia bisa mengatasi masalah ini sendiri, atau ia justru membutuhkan bantuan pihak lain yang lebih profesional.
Selain Rika, psikolog konselor Indah Puspitasari juga turut mengingatkan bahwa individu harus waspada kalau ada gejala psikosomatis berlebihan, seperti sulit tidur, penyakit maag, keringat dingin, atau ketergantungan terhadap obat atau rokok. Kalau beban pikiran sudah memunculkan gangguan fisik seperti itu, ia menyarankan agar individu segera mencari bantuan.
Terus, gimana, sih, cara mengatasi krisis ini? Remember, comparison is toxic. Jadi, stop membandingkan diri dengan orang lain. Kita gak akan pernah puas dan bahagia kalau masih sering membawa hidup orang lain ke dalam pikiran kita.
Dan yang terpenting, jangan lupa belajar untuk menerima apa adanya kemampuan diri agar lebih realistis dalam menentukan arah ke depan.
Dengan memiliki rencana realistis yang dapat dikelola sesuai batas kemampuan kita, kita dapat menghindari diri dari jenis krisis yang sama pada masa mendatang. It help us to be more grateful and more enjoying our own life. Cheers!
GenSINDO
Silmi Safriyantini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mungkin kamu mulai ragu dengan kompetensi diri, merasa terjebak dengan pilihan hidup, dan mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang langkahnya sudah jauh lebih maju dibanding kamu yang merasa masih di situ-situ aja.
Dinda Audy, 20, adalah salah satu dari banyak Generasi Z yang sedang mengalaminya. Dinda bercerita kalau ia merasa tersesat di tengah bidang perkuliahan yang nyatanya gak sesuai dengan ekspektasi.
“Ternyata gak sesuai passion, tapi udah telanjur nyebur (dalam jurusannya). Gue jadi bingung dan ngerasa abu-abu buat ke depannya. Mau mulai hal baru dari nol belum tentu berhasil, tapi kalau harus terus di bidang ini rasanya bukan gue banget,” curhat mahasiswi Universitas Indonesia (UI) ini.
Nah, kegalauan yang dialami Dinda sebenarnya bukanlah hal yang langka dialami oleh para kawula muda. Dalam psikologi, fenomena itu dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis pada rentang usia seperempat abad. Ini adalah sebuah fase saat seseorang merasa cemas akan masa depan dan mulai mempertanyakan kembali pilihan hidupnya.
Foto: jolitamo.com
Dipicu Banyak Alasan
Istilah Quarter Life Crisis pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Robbins dan Abby Wilner dalam buku mereka yang bertajuk "Quarter life Crisis: The Unique Challenge in Your Twenties" (2001).
Dalam bukunya, Robbins dan Wilner menjelaskan bahwa dewasa muda harus menemukan identitas mereka sebelum memasuki fase baru, yaitu kedewasaan. Apabila mereka mengalami kegagalan dalam membangun komitmen itu, mereka cenderung akan mengalami kebingungan pada identitasnya. Hal inilah yang nantinya dapat membawa seseorang pada Quarter Life Crisis.
Selain itu, QLC juga bisa dipicu oleh berbagai alasan, di antaranya ekspektasi yang gak sesuai harapan, karier dan pekerjaan, hubungan percintaan, tekanan untuk memenuhi harapan orang tua, atau insecure dengan masa depan.
Umumnya, krisis ini akan muncul saat seseorang berada dalam masa transisi menuju kedewasaan, yakni dalam rentang usia 18-25 tahun. Karena pada tahap ini, individu mulai dihadapkan dengan berbagai keputusan besar yang bisa memengaruhi kehidupannya kelak, seperti menentukan arah kariernya, apakah udah yakin untuk menikah, atau lain sebagainya.
Foto: Shutterstock
Walaupun krisis ini biasanya muncul pada individu dengan rentang usia 18-25 tahun, tapi ada juga beberapa kasus saat seseorang bisa aja mengalami Quarter Life Crisis lebih lama sampai umur 30-an tahun.
Nah, untuk kamu yang sedang mengalami QLC, ingat, kamu gak sendirian, lho. Setiap manusia pasti akan mengalami fase-fase tertentu dalam kehidupannya. Biasanya, masa transisi dari satu fase ke fase lain sering kali membuat seseorang merasa cemas akan mengalami kegagalan pada masa mendatang.
Menurut Indah Puspitasari, M.Psi, psikolog sekaligus konsultan di klinik Motekar Prakarsa Daya, Bandung, perasaan cemas dan gagal adalah hal yang sangat wajar dirasakan oleh seseorang.
“Transisi pada dasarnya bersifat stres. Stressor yang muncul adalah adanya pengalaman-pengalaman baru yang dirasakan seseorang," ujar Indah kepada GenSINDO.
"Di lain pihak, individu belum merasa memiliki sumber daya yang memadai untuk mengatasi hal tersebut, sehingga individu akan mengalami kecemasan tentang kapasitas pribadi mereka apakah bisa menghadapinya,” jelasnya.
Foto: Shutterstock
Waspada Kalau Ada Gejala Psikomatis
Walau badai pasti berlalu, tapi kita mesti ingat bahwa Quarter Life Crisis bukanlah sesuatu yang bisa dihadapi dengan cuek. Rika Rahmawati, psikolog perkembangan di unit layanan psikologi UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, menjelaskan tindakan yang seharusnya dilakukan individu dalam menghadapi QLC.
Sebagai pihak yang bisa mengukur sejauh mana hal itu mengganggu diri, Rika menekankan bahwa individu haruslah peka terhadap dirinya, apakah ia bisa mengatasi masalah ini sendiri, atau ia justru membutuhkan bantuan pihak lain yang lebih profesional.
Selain Rika, psikolog konselor Indah Puspitasari juga turut mengingatkan bahwa individu harus waspada kalau ada gejala psikosomatis berlebihan, seperti sulit tidur, penyakit maag, keringat dingin, atau ketergantungan terhadap obat atau rokok. Kalau beban pikiran sudah memunculkan gangguan fisik seperti itu, ia menyarankan agar individu segera mencari bantuan.
Terus, gimana, sih, cara mengatasi krisis ini? Remember, comparison is toxic. Jadi, stop membandingkan diri dengan orang lain. Kita gak akan pernah puas dan bahagia kalau masih sering membawa hidup orang lain ke dalam pikiran kita.
Dan yang terpenting, jangan lupa belajar untuk menerima apa adanya kemampuan diri agar lebih realistis dalam menentukan arah ke depan.
Dengan memiliki rencana realistis yang dapat dikelola sesuai batas kemampuan kita, kita dapat menghindari diri dari jenis krisis yang sama pada masa mendatang. It help us to be more grateful and more enjoying our own life. Cheers!
GenSINDO
Silmi Safriyantini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(it)