SOROT: Seandainya Saya sebagai Sutradara Sinetron Stripping
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jelang libur Lebaran tahun lalu, saya dapat kesempatan menarik. Diajak bertemu CEO salah satu rumah produksi besar yang banyak memproduksi judul-judul sinetron populer.
Saya termasuk salah satu sineas yang sudah lama patah hati dengan industri televisi. Pada awal karier awal tahun 2000-an, saya bersama beberapa rekan pernah memproduksi film digital. Karena merasa kualitasnya cukup bagus, kami pikir selain bisa ditonton dari festival ke festival, mungkin film digital tersebut bisa disaksikan lebih banyak orang via stasiun televisi.
Gayung bersambut, kami lantas diundang ke salah satu stasiun televisi. Kami pun memutar film digital yang durasinya kurang dari 90 menit tersebut. Usai preview, tim akuisisi dari stasiun televisi tersebut menyalami kami dan membuat komentar yang hingga saat ini saya ingat betul.
“Film kalian bagus tapi kami tidak yakin penonton televisi kita suka dengan tayangan bagus. Kita bikin program jelek saja banyak ditonton, kenapa mesti capek-capek bikin program yang bagus?”
Foto: RCTI
Tak lama setelah peristiwa di atas terjadi, masih sekitar tahun 2005, dimulailah revolusi baru di industri televisi. Dimulai dari tayangan sinetron Ramadan yang tayang setiap hari dan akhirnya melahirkan sebuah sistem produksi yang dikenal saat ini sebagai “sinetron stripping”. Bisa jadi sistem ini hanya ada di Indonesia, dengan sinetron diproduksi dengan sistem kejar tayang.
Syuting sebuah episode sinetron dimulai sejak pagi dan malamnya sudah langsung tayang di layar televisi. Sistem ini diadopsi sebagai cara menyiasati rating, dengan tim produksi yang bisa mempelajari rating tiap episode dan langsung melakukan evaluasi dan eksekusi pada episode terbaru keesokan harinya.
Hasilnya adalah sebuah kekacauan. Kualitas sinetron terpuruk dan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Apa yang bisa diharapkan dari sinetron yang tak punya persiapan apa pun dan hanya melakukan syuting serbacepat mengejar waktu?
Saya pun menjadi bagian dari masyarakat yang tak pernah berhenti mencerca kualitas sinetron yang semakin buruk dari hari ke hari. Tapi saya kira mencela bisa jadi tak cukup. Jika punya kesempatan untuk masuk ke produksi sinetron stripping, apakah saya bisa membuat minimal sedikit perubahan ke arah yang lebih baik?
Obrolan jelang libur Lebaran tahun lalu dengan CEO salah satu rumah produksi besar yang banyak melahirkan judul-judul sinetron populer pun kembali terputar ulang di benak saya pagi ini. Waktu itu saya mengirimkan deck pitch untuk serial di salah satu layanan streaming video.
Saya mendapat respons cepat berupa pertanyaan menggelitik, “Mas Ichwan enggak tertarik dengan sinetron?” Saya pun mengiyakan dan akhirnya bertemu beliau keesokan harinya.
Foto: MNCTV
Setelah mengemukakan segala uneg-uneg saya soal sinetron dan juga mendengarkan banyak insight menarik dari beliau seputar sinetron, saya pikir saya cukup tertarik untuk terlibat dalam produksi sinetron. Jika diberi amanah, saya rasa saya bisa menjadi sutradara sinetron stripping. Tapi saya tak ingin sekadar menjadi sutradara dan menerima honor jutaan rupiah per episode per hari. Saya ingin membuat perubahan sesedikit apa pun.
Salah satu hal yang paling menyebalkan bagi penonton sinetron stripping adalah ketika jumlah episode sinetron tersebut semakin banyak, maka alur ceritanya pun menjadi tak keruan. Sebanyak 10 episode pertama bisa jadi alur cerita enak diikuti, dengan karakter-karakter yang bisa diidentifikasi perkembangan dan motivasinya dengan baik.
Tapi biasanya setelah melewati 30 episode pertama, kita merasa tim penulis mulai terengah-engah mempertahankan keutuhan cerita. Semakin bertambah banyak judul episode, cerita jadinya semakin mengada-ada. Kebetulan-kebetulan diada-adakan yang membuat cerita tak masuk akal, juga karakter-karakter melakukan lompatan mencengangkan.
Karena itulah cara untuk menyiasatinya adalah mempersiapkan gambaran cerita (scene plot) untuk 100 episode awal yang dibuat oleh tim penulis (dibagi menjadi 3 tim dengan 1 tim terdiri atas 4 orang). Ketika produksi dimulai, tim bisa mulai mencicil menyiapkan 30 episode berikutnya sehingga jalinan cerita dan karakter tetap terjaga.
Karena dikerjakan oleh banyak orang, cerita bisa mendapatkan asupan yang cukup untuk tak membuatnya harus kehilangan ide-ide menarik dan tetap logis. Setelah persiapan cerita, yang juga penting dilakukan adalah mempersiapkan pemain.
Sebagai sineas yang besar dalam produksi film, saya tahu betul bahwa persiapan adalah segalanya. Workshop akting dengan pemain-pemain kunci menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan. Hal ini pun sesungguhnya bisa dilakukan dalam produksi sinetron stripping.
Foto: RCTI
Sebelum produksi dimulai tanpa jeda, workshop akting bisa dilakukan selama dua mingguan dengan pemain dan sutradara bisa banyak berdiskusi soal alur cerita, soal dialog, dan terutama soal karakter yang mereka perankan berikut motivasinya. Sehingga ketika pemain masuk ke lokasi syuting, mereka sudah memahami betul karakter yang mereka perankan dan bisa memberikan penampilan akting yang lebih baik.
Selain itu komitmen para pemain utama bisa dibicarakan sejak awal demi menghindari tak adanya interaksi lebih banyak antara sesama pemain ketika syuting dilakukan.
Selain workshop akting, workshop dengan kru inti pun sesungguhnya bisa dilakukan sebelum syuting sinetron stripping dimulai. Dengan 2-3 tim produksi yang berjalan paralel, yang terutama dibutuhkan adalah kerja sama yang padu dan efisien. Maka workshop menjadi penting untuk bisa menyamakan sistem, untuk bisa bekerja sama dengan baik dan efisien, serta masih bisa mengupayakan kualitas terbaik.
Segala hal terkait konsep visual bisa dibicarakan sejak awal sebelum produksi dimulai. Ini supaya kita tak perlu lagi melihat “tabrakan warna” antara dinding rumah yang menjadi set dan busana yang dikenakan pemain yang membuat gambar menjadi tak sedap dipandang mata.
Variasi gambar pun dilakukan agar tak monoton hanya memperlihatkan gambar “master” dan “close up” saja sebagaimana yang diperlihatkan sinetron stripping sejauh ini. Pemain pun sebisa mungkin selalu diperlihatkan dalam satu frame yang sama sehingga kita bisa melihat aksi reaksi dari sesama mereka, tak lagi berbicara dengan tembok dan baru dipadukan di ruang penyuntingan seperti yang banyak terjadi selama ini.
Seandainya tiga hal kunci di atas bisa dilakukan dalam produksi sinetron stripping saat ini secara konsisten, bisa jadi secara perlahan kita bisa melihat kualitas sinetron bisa perlahan membaik dan kembali bisa merebut hati penonton.
Semoga rumah produksi yang memproduksi sinetron tak lagi menjalankan kredo yang pernah dianut stasiun televisi, “Yang jelek saja banyak ditonton, kenapa harus bikin yang bagus?”
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Saya termasuk salah satu sineas yang sudah lama patah hati dengan industri televisi. Pada awal karier awal tahun 2000-an, saya bersama beberapa rekan pernah memproduksi film digital. Karena merasa kualitasnya cukup bagus, kami pikir selain bisa ditonton dari festival ke festival, mungkin film digital tersebut bisa disaksikan lebih banyak orang via stasiun televisi.
Gayung bersambut, kami lantas diundang ke salah satu stasiun televisi. Kami pun memutar film digital yang durasinya kurang dari 90 menit tersebut. Usai preview, tim akuisisi dari stasiun televisi tersebut menyalami kami dan membuat komentar yang hingga saat ini saya ingat betul.
Baca Juga
“Film kalian bagus tapi kami tidak yakin penonton televisi kita suka dengan tayangan bagus. Kita bikin program jelek saja banyak ditonton, kenapa mesti capek-capek bikin program yang bagus?”
Foto: RCTI
Tak lama setelah peristiwa di atas terjadi, masih sekitar tahun 2005, dimulailah revolusi baru di industri televisi. Dimulai dari tayangan sinetron Ramadan yang tayang setiap hari dan akhirnya melahirkan sebuah sistem produksi yang dikenal saat ini sebagai “sinetron stripping”. Bisa jadi sistem ini hanya ada di Indonesia, dengan sinetron diproduksi dengan sistem kejar tayang.
Syuting sebuah episode sinetron dimulai sejak pagi dan malamnya sudah langsung tayang di layar televisi. Sistem ini diadopsi sebagai cara menyiasati rating, dengan tim produksi yang bisa mempelajari rating tiap episode dan langsung melakukan evaluasi dan eksekusi pada episode terbaru keesokan harinya.
Hasilnya adalah sebuah kekacauan. Kualitas sinetron terpuruk dan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Apa yang bisa diharapkan dari sinetron yang tak punya persiapan apa pun dan hanya melakukan syuting serbacepat mengejar waktu?
Saya pun menjadi bagian dari masyarakat yang tak pernah berhenti mencerca kualitas sinetron yang semakin buruk dari hari ke hari. Tapi saya kira mencela bisa jadi tak cukup. Jika punya kesempatan untuk masuk ke produksi sinetron stripping, apakah saya bisa membuat minimal sedikit perubahan ke arah yang lebih baik?
Obrolan jelang libur Lebaran tahun lalu dengan CEO salah satu rumah produksi besar yang banyak melahirkan judul-judul sinetron populer pun kembali terputar ulang di benak saya pagi ini. Waktu itu saya mengirimkan deck pitch untuk serial di salah satu layanan streaming video.
Saya mendapat respons cepat berupa pertanyaan menggelitik, “Mas Ichwan enggak tertarik dengan sinetron?” Saya pun mengiyakan dan akhirnya bertemu beliau keesokan harinya.
Foto: MNCTV
Setelah mengemukakan segala uneg-uneg saya soal sinetron dan juga mendengarkan banyak insight menarik dari beliau seputar sinetron, saya pikir saya cukup tertarik untuk terlibat dalam produksi sinetron. Jika diberi amanah, saya rasa saya bisa menjadi sutradara sinetron stripping. Tapi saya tak ingin sekadar menjadi sutradara dan menerima honor jutaan rupiah per episode per hari. Saya ingin membuat perubahan sesedikit apa pun.
Salah satu hal yang paling menyebalkan bagi penonton sinetron stripping adalah ketika jumlah episode sinetron tersebut semakin banyak, maka alur ceritanya pun menjadi tak keruan. Sebanyak 10 episode pertama bisa jadi alur cerita enak diikuti, dengan karakter-karakter yang bisa diidentifikasi perkembangan dan motivasinya dengan baik.
Tapi biasanya setelah melewati 30 episode pertama, kita merasa tim penulis mulai terengah-engah mempertahankan keutuhan cerita. Semakin bertambah banyak judul episode, cerita jadinya semakin mengada-ada. Kebetulan-kebetulan diada-adakan yang membuat cerita tak masuk akal, juga karakter-karakter melakukan lompatan mencengangkan.
Karena itulah cara untuk menyiasatinya adalah mempersiapkan gambaran cerita (scene plot) untuk 100 episode awal yang dibuat oleh tim penulis (dibagi menjadi 3 tim dengan 1 tim terdiri atas 4 orang). Ketika produksi dimulai, tim bisa mulai mencicil menyiapkan 30 episode berikutnya sehingga jalinan cerita dan karakter tetap terjaga.
Karena dikerjakan oleh banyak orang, cerita bisa mendapatkan asupan yang cukup untuk tak membuatnya harus kehilangan ide-ide menarik dan tetap logis. Setelah persiapan cerita, yang juga penting dilakukan adalah mempersiapkan pemain.
Sebagai sineas yang besar dalam produksi film, saya tahu betul bahwa persiapan adalah segalanya. Workshop akting dengan pemain-pemain kunci menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan. Hal ini pun sesungguhnya bisa dilakukan dalam produksi sinetron stripping.
Foto: RCTI
Sebelum produksi dimulai tanpa jeda, workshop akting bisa dilakukan selama dua mingguan dengan pemain dan sutradara bisa banyak berdiskusi soal alur cerita, soal dialog, dan terutama soal karakter yang mereka perankan berikut motivasinya. Sehingga ketika pemain masuk ke lokasi syuting, mereka sudah memahami betul karakter yang mereka perankan dan bisa memberikan penampilan akting yang lebih baik.
Selain itu komitmen para pemain utama bisa dibicarakan sejak awal demi menghindari tak adanya interaksi lebih banyak antara sesama pemain ketika syuting dilakukan.
Selain workshop akting, workshop dengan kru inti pun sesungguhnya bisa dilakukan sebelum syuting sinetron stripping dimulai. Dengan 2-3 tim produksi yang berjalan paralel, yang terutama dibutuhkan adalah kerja sama yang padu dan efisien. Maka workshop menjadi penting untuk bisa menyamakan sistem, untuk bisa bekerja sama dengan baik dan efisien, serta masih bisa mengupayakan kualitas terbaik.
Segala hal terkait konsep visual bisa dibicarakan sejak awal sebelum produksi dimulai. Ini supaya kita tak perlu lagi melihat “tabrakan warna” antara dinding rumah yang menjadi set dan busana yang dikenakan pemain yang membuat gambar menjadi tak sedap dipandang mata.
Variasi gambar pun dilakukan agar tak monoton hanya memperlihatkan gambar “master” dan “close up” saja sebagaimana yang diperlihatkan sinetron stripping sejauh ini. Pemain pun sebisa mungkin selalu diperlihatkan dalam satu frame yang sama sehingga kita bisa melihat aksi reaksi dari sesama mereka, tak lagi berbicara dengan tembok dan baru dipadukan di ruang penyuntingan seperti yang banyak terjadi selama ini.
Seandainya tiga hal kunci di atas bisa dilakukan dalam produksi sinetron stripping saat ini secara konsisten, bisa jadi secara perlahan kita bisa melihat kualitas sinetron bisa perlahan membaik dan kembali bisa merebut hati penonton.
Semoga rumah produksi yang memproduksi sinetron tak lagi menjalankan kredo yang pernah dianut stasiun televisi, “Yang jelek saja banyak ditonton, kenapa harus bikin yang bagus?”
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)