CERMIN: Pornografi, Feminisme, dan Hal-Hal di Antaranya
Sabtu, 26 November 2022 - 12:53 WIB
JAKARTA - Tahun 2004. Saya membantu promosi film Cinta Silverdi Makassar dan Erwin Arnada membisikkan sebuah rencana yang kelak akan mengubah hidupnya secara drastis.
Rencana itu adalah menerbitkan majalah Playboy dengan lisensi resmi untuk wilayah Indonesia. Saya terkaget mendengar rencana itu karena sebelumnya yang terbayang di benak saya adalah sebuah majalah dengan para model yang berani berpose telanjang.
Setelahnya saya baru tahu jika majalah besutan Hugh Hefner itu juga memuat banyak tulisan berkualitas. Dari esai hingga cerita pendek yang dirakit penulis kaliber mulai dari Jack Kerouac (Before the Road – 1959), Roald Dahl (The Visitor – 1965), Gabriel Garcia Marquez (The Handsomest Drowned Man in the World – 1968], Hunter S Thompson (The Great Shark Hunt – 1974), Gore Vidal (Sex is Politics – 1979], Margaret Atwood (The Bog Man – 1991] hingga Haruki Murakami (The Second Bakery Attack – 1992).
Saya menyukai siasat menjual idealisme di balik tampilan pose-pose menantang para model. It’s win-win situation. Bagaimana menyodorkan bacaan serius ke publik dengan jangkauan yang lebih lebar. Akhirnya Playboy Indonesia pun terbit dengan konsep yang sama. Saya sempat menulis Playboy Interview with Riri Riza sepanjang belasan halaman di salah satu edisinya.
Foto: Lionsgate Play
Tapi 'niat baik' Erwin tentu saja tak disambut seragam oleh masyarakat kita yang heterogen. Meskipun Playboy Indonesia menurunkan tulisan-tulisan cemerlang dari para penulis terkemuka negeri ini, tetap saja yang dilihat adalah bagaimana Playboy Indonesia mempertontonkan pose-pose seksi. Walaupun sebenarnya jika dibanding dengan majalah lokal sejenis yang beredar di periode itu, justru Playboy Indonesia kalah seksi.
Minx hadir dengan niat serupa. Majalah ini mengedepankan isu-isu paling panas seputar perempuan yang mempertontonkan gambar telanjang dari para model laki-laki macho. Doug, si pemilik jaringan majalah porno, melihat peluang itu dengan cerdik. Disambarnya ide dari Joyce yang ingin membuat majalah buat perempuan modern, The Matriarchy Awakens. Tentu saja tak ada yang ingin membeli majalah seserius itu. Maka Doug mempengaruhi Joyce agar memberi bumbu majalah impiannya dengan foto-foto tanpa busana para laki-laki. Yang sebagian besar di antaranya tak malu mempertontonkan penisnya.
Minx adalah majalah rekaan dari serial Minxyang tayang di Lionsgate Play. Majalah ini hadir pada tahun 1970-an ketika perempuan mulai gelisah dengan kebebasannya. Majalah yang ingin perempuan tak perlu malu melotot melihat penis berukuran jumbo dari para model laki-laki. Majalah yang ingin memberdayakan perempuan dengan ide dan tulisan yang bernas.
Foto: Lionsgate Play
Tapi seperti Indonesia, Amerika pun bisa jadi sama heterogennya. Tak semua orang bertepuk tangan atas lahirnya majalah seliberal Minx. Senator perempuan tak terima ada majalah yang dianggapnya mencemari nilai-nilai keluarga, pebisnis mafia yang tak setuju dengan ide legalisasi aborsi, dan dari kalangan perempuan sendiri yang menganggap bahwa menjual ide tentang kebebasan perempuan tak perlu diiming-imingi dengan gambar penis. Seperti yang dipertanyakan Joyce ketika pertama kali melihat rancangan edisi perdana kepada Doug, "Apakah ereksi konsisten dengan filosofi kita?”
Baca Juga: CERMIN: Belajar Islam yang (Memang) Memanusiakan Manusia
'Niat baik' memang tak bisa diterima mentah-mentah begitu saja. Minx pun mengalami hal yang sama. Saya masih mengingat bagaimana Erwin Arnada berjuang mempertahankan majalah yang susah payah diperjuangkan lisensinya itu selama bertahun-tahun. Harus diakui hingga saat ini belum ada lagi majalah sekualitas Playboy Indonesia yang berani menyajikan tulisan feature panjang nan berbobot.
Ketika berada di dunia bisnis, yang selalu perlu kita sadari adalah sebuah kompromi. Joyce akhirnya menyadari perlunya kompromi itu agar tulisan-tulisan di majalahnya yang memuat isu-isu hangat soal perempuan yang jarang digarap media lain mendapat perhatian. Sementara Erwin tahu betul itu sejak awal, hanya saja ia tak mengkalkulasi akan mendapat serangan telak dari salah satu ormas yang membuatnya harus menjalani hukuman penjara selama beberapa bulan.
Foto: Lionsgate Play
Kompromi adalah soal win-win situation. Bagaimana agar berusaha sama-sama memenangkan pertarungan tanpa satu hal harus mengalahkan yang lain. Bagaimana agar isu-isu berat bisa dibungkus oleh gambar-gambar seksi yang dikemas menarik.
Pada akhirnya semuanya adalah soal ketertarikan. Jika awalnya seseorang tertarik dengan gambar-gambar seksi yang membuatnya bisa membaca esai dari Gloria Steinem, misalnya, kenapa tidak?
Rencana itu adalah menerbitkan majalah Playboy dengan lisensi resmi untuk wilayah Indonesia. Saya terkaget mendengar rencana itu karena sebelumnya yang terbayang di benak saya adalah sebuah majalah dengan para model yang berani berpose telanjang.
Setelahnya saya baru tahu jika majalah besutan Hugh Hefner itu juga memuat banyak tulisan berkualitas. Dari esai hingga cerita pendek yang dirakit penulis kaliber mulai dari Jack Kerouac (Before the Road – 1959), Roald Dahl (The Visitor – 1965), Gabriel Garcia Marquez (The Handsomest Drowned Man in the World – 1968], Hunter S Thompson (The Great Shark Hunt – 1974), Gore Vidal (Sex is Politics – 1979], Margaret Atwood (The Bog Man – 1991] hingga Haruki Murakami (The Second Bakery Attack – 1992).
Saya menyukai siasat menjual idealisme di balik tampilan pose-pose menantang para model. It’s win-win situation. Bagaimana menyodorkan bacaan serius ke publik dengan jangkauan yang lebih lebar. Akhirnya Playboy Indonesia pun terbit dengan konsep yang sama. Saya sempat menulis Playboy Interview with Riri Riza sepanjang belasan halaman di salah satu edisinya.
Foto: Lionsgate Play
Tapi 'niat baik' Erwin tentu saja tak disambut seragam oleh masyarakat kita yang heterogen. Meskipun Playboy Indonesia menurunkan tulisan-tulisan cemerlang dari para penulis terkemuka negeri ini, tetap saja yang dilihat adalah bagaimana Playboy Indonesia mempertontonkan pose-pose seksi. Walaupun sebenarnya jika dibanding dengan majalah lokal sejenis yang beredar di periode itu, justru Playboy Indonesia kalah seksi.
Minx hadir dengan niat serupa. Majalah ini mengedepankan isu-isu paling panas seputar perempuan yang mempertontonkan gambar telanjang dari para model laki-laki macho. Doug, si pemilik jaringan majalah porno, melihat peluang itu dengan cerdik. Disambarnya ide dari Joyce yang ingin membuat majalah buat perempuan modern, The Matriarchy Awakens. Tentu saja tak ada yang ingin membeli majalah seserius itu. Maka Doug mempengaruhi Joyce agar memberi bumbu majalah impiannya dengan foto-foto tanpa busana para laki-laki. Yang sebagian besar di antaranya tak malu mempertontonkan penisnya.
Minx adalah majalah rekaan dari serial Minxyang tayang di Lionsgate Play. Majalah ini hadir pada tahun 1970-an ketika perempuan mulai gelisah dengan kebebasannya. Majalah yang ingin perempuan tak perlu malu melotot melihat penis berukuran jumbo dari para model laki-laki. Majalah yang ingin memberdayakan perempuan dengan ide dan tulisan yang bernas.
Foto: Lionsgate Play
Tapi seperti Indonesia, Amerika pun bisa jadi sama heterogennya. Tak semua orang bertepuk tangan atas lahirnya majalah seliberal Minx. Senator perempuan tak terima ada majalah yang dianggapnya mencemari nilai-nilai keluarga, pebisnis mafia yang tak setuju dengan ide legalisasi aborsi, dan dari kalangan perempuan sendiri yang menganggap bahwa menjual ide tentang kebebasan perempuan tak perlu diiming-imingi dengan gambar penis. Seperti yang dipertanyakan Joyce ketika pertama kali melihat rancangan edisi perdana kepada Doug, "Apakah ereksi konsisten dengan filosofi kita?”
Baca Juga: CERMIN: Belajar Islam yang (Memang) Memanusiakan Manusia
'Niat baik' memang tak bisa diterima mentah-mentah begitu saja. Minx pun mengalami hal yang sama. Saya masih mengingat bagaimana Erwin Arnada berjuang mempertahankan majalah yang susah payah diperjuangkan lisensinya itu selama bertahun-tahun. Harus diakui hingga saat ini belum ada lagi majalah sekualitas Playboy Indonesia yang berani menyajikan tulisan feature panjang nan berbobot.
Ketika berada di dunia bisnis, yang selalu perlu kita sadari adalah sebuah kompromi. Joyce akhirnya menyadari perlunya kompromi itu agar tulisan-tulisan di majalahnya yang memuat isu-isu hangat soal perempuan yang jarang digarap media lain mendapat perhatian. Sementara Erwin tahu betul itu sejak awal, hanya saja ia tak mengkalkulasi akan mendapat serangan telak dari salah satu ormas yang membuatnya harus menjalani hukuman penjara selama beberapa bulan.
Foto: Lionsgate Play
Kompromi adalah soal win-win situation. Bagaimana agar berusaha sama-sama memenangkan pertarungan tanpa satu hal harus mengalahkan yang lain. Bagaimana agar isu-isu berat bisa dibungkus oleh gambar-gambar seksi yang dikemas menarik.
Pada akhirnya semuanya adalah soal ketertarikan. Jika awalnya seseorang tertarik dengan gambar-gambar seksi yang membuatnya bisa membaca esai dari Gloria Steinem, misalnya, kenapa tidak?
tulis komentar anda