Film Pendek 'Family Room': 25 Tahun Bersama, Apa yang Dicari?
Jum'at, 01 Oktober 2021 - 15:09 WIB
JAKARTA - Tidak ada luapan perasaan yang harus ditutupi saat berada di ruang keluarga, seperti halnya menyembunyikan luka di balik senyum yang terbingkai dalam foto keluarga di ruang tamu.
Jalinan komunikasi sehat yang tercipta dari ruangan inilah yang akan menjadi tiang penjaga tegaknya sebuah rumah tangga .
Lalu, apa lagi yang diharapkan pasangan dari pernikahan yang sudah berlangsung selama 25 tahun? Apakah rumah? Anak? Atau cinta dan perhatian yang tidak pupus?
Sosok ibu yang digambarkan dalam film pendek di Maxstream berjudul "Family Room" ini telah melakukan pengabdiannya selama usia pernikahan. Bahkan, ia selalu mengalah untuk membuatkan makanan kesukaan suaminya yang sebenarnya ia tidak suka. Namun, pada akhirnya ada ragu yang mengganjal di hati.
"Memangnya selama 25 tahun Ibu masak untuk Ayah, ada rasa yang berubah?"
Foto: Maxstream
Pertanyaan itu kemudian menggiring penonton pada sebuah asumsi jika ada ketidakharmonisan di sana. Walau Ayah menyanggahnya dengan menjawab "tidak", gestur keduanya mengatakan "iya".
Benar saja. Ayah seperti orang asing yang tersesat di dalam rumah. Bukan hanya tidak mengetahui di mana istrinya biasa menyimpan barang, juga tidak tahu kapan putrinya biasa pulang.
Baca Juga: Film 'Cassava Nova': Perenungan akan Rumah, Tempat Pulang, dan Bernaung
Hubungannya dengan putra sulung pun seperti memiliki jarak, terlebih dengan putri bungsu. Terlihat jelas jika perannya sebagai seorang suami dan ayah tidak berjalan dengan baik. Ruangan yang dimiliki sang ayah dalam rumah rupanya telah kosong dari cinta keluarga.
Seharusnya perbedaan prinsip antara suami-istri tidak terjadi, jika frekuensinya sudah sama. Perselisihan juga bisa dihindari jika kedua pihak dapat saling menahan ego. Namun, saat Ayah memutuskan untuk berpoligami di saat Ibu tidak siap, siapakah yang patut disalahkan?
Dahulukan kewajiban sebelum hak. Pun, dahulukan hal yang wajib sebelum mengerjakan hal yang sunah. Jika kewajiban dasar saja tidak bisa dikerjakan dengan baik, bagaimana dengan kewajiban-kewajiban tambahan lainnya?
Foto: Maxstream
Kalimat "90% perceraian di Indonesia disebabkan oleh poligami" sebenarnya tidak salah, tapi sedikit mengganggu. Orang akan langsung berspekulasi jika ajaran agama yang menganjurkan laki-laki untuk melakukan poligami adalah penyebab utama perceraian di Indonesia. Padahal, pelaku poligami yang tidak mempersiapkan diri dan keluarga adalah tersangka utamanya.
Berapa persen laki-laki yang telah memilih untuk menikah lagi paham dengan syarat "adil" dari sebuah poligami? Dengan banyaknya kasus suami yang tidak bisa adil inilah yang membuat banyak perempuan anti dengan kata poligami, bukan anti dengan ajaran agama.
Tema poligami sebenarnya bisa mengaduk emosi penonton, terlebih kaum hawa yang mudah berempati pada penderitaan yang dialami kaumnya. Terbukti film "Surga yang Tak Dirindukan" menjadi film terlaris pada 2015. Film yang diadaptasi dari novel karya Asma Nadia itu berhasil menjual lebih dari 2 juta tiket dan dibuat sekuel pada 2017.
Baca Juga: Film-film untuk Belajar Memperjuangkan Hubungan yang Penuh Perbedaan
Jalinan komunikasi sehat yang tercipta dari ruangan inilah yang akan menjadi tiang penjaga tegaknya sebuah rumah tangga .
Lalu, apa lagi yang diharapkan pasangan dari pernikahan yang sudah berlangsung selama 25 tahun? Apakah rumah? Anak? Atau cinta dan perhatian yang tidak pupus?
Sosok ibu yang digambarkan dalam film pendek di Maxstream berjudul "Family Room" ini telah melakukan pengabdiannya selama usia pernikahan. Bahkan, ia selalu mengalah untuk membuatkan makanan kesukaan suaminya yang sebenarnya ia tidak suka. Namun, pada akhirnya ada ragu yang mengganjal di hati.
"Memangnya selama 25 tahun Ibu masak untuk Ayah, ada rasa yang berubah?"
Foto: Maxstream
Pertanyaan itu kemudian menggiring penonton pada sebuah asumsi jika ada ketidakharmonisan di sana. Walau Ayah menyanggahnya dengan menjawab "tidak", gestur keduanya mengatakan "iya".
Benar saja. Ayah seperti orang asing yang tersesat di dalam rumah. Bukan hanya tidak mengetahui di mana istrinya biasa menyimpan barang, juga tidak tahu kapan putrinya biasa pulang.
Baca Juga: Film 'Cassava Nova': Perenungan akan Rumah, Tempat Pulang, dan Bernaung
Hubungannya dengan putra sulung pun seperti memiliki jarak, terlebih dengan putri bungsu. Terlihat jelas jika perannya sebagai seorang suami dan ayah tidak berjalan dengan baik. Ruangan yang dimiliki sang ayah dalam rumah rupanya telah kosong dari cinta keluarga.
Seharusnya perbedaan prinsip antara suami-istri tidak terjadi, jika frekuensinya sudah sama. Perselisihan juga bisa dihindari jika kedua pihak dapat saling menahan ego. Namun, saat Ayah memutuskan untuk berpoligami di saat Ibu tidak siap, siapakah yang patut disalahkan?
Dahulukan kewajiban sebelum hak. Pun, dahulukan hal yang wajib sebelum mengerjakan hal yang sunah. Jika kewajiban dasar saja tidak bisa dikerjakan dengan baik, bagaimana dengan kewajiban-kewajiban tambahan lainnya?
Foto: Maxstream
Kalimat "90% perceraian di Indonesia disebabkan oleh poligami" sebenarnya tidak salah, tapi sedikit mengganggu. Orang akan langsung berspekulasi jika ajaran agama yang menganjurkan laki-laki untuk melakukan poligami adalah penyebab utama perceraian di Indonesia. Padahal, pelaku poligami yang tidak mempersiapkan diri dan keluarga adalah tersangka utamanya.
Berapa persen laki-laki yang telah memilih untuk menikah lagi paham dengan syarat "adil" dari sebuah poligami? Dengan banyaknya kasus suami yang tidak bisa adil inilah yang membuat banyak perempuan anti dengan kata poligami, bukan anti dengan ajaran agama.
Tema poligami sebenarnya bisa mengaduk emosi penonton, terlebih kaum hawa yang mudah berempati pada penderitaan yang dialami kaumnya. Terbukti film "Surga yang Tak Dirindukan" menjadi film terlaris pada 2015. Film yang diadaptasi dari novel karya Asma Nadia itu berhasil menjual lebih dari 2 juta tiket dan dibuat sekuel pada 2017.
Baca Juga: Film-film untuk Belajar Memperjuangkan Hubungan yang Penuh Perbedaan
tulis komentar anda