Label Skincare Dunia Mulai Ubah Arti Kecantikan, Merek Lokal Sudah Sedari Awal!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akhirnya, merek-merek produk kecantikan atau skincare keluaran perusahaan multinasional mulai berani mengubah standar kecantikannya.
Pastinya kita tahu, bahwa standar cewek cakep di dunia ini adalah yang kulitnya putih, wajahnya simetris, badannya tinggi langsing, dan hidung mancung.
Untungnya, saat ini, perusahaan-perusaan produk perawatan dan kecantikan kulit dunia udah mulai sadar bahwa ini adalah hal yang salah.
Melansir dari USA Today, tepat pada 25 Juni lalu, Unilever memutuskan untuk berhenti mempromosikan kata "mencerahkan" (lightening) dan “memutihkan” (whitening) dari produk-produk mereka.
Ini sebagai respons dari banyaknya kritik terhadap video iklan Unilever yang menggambarkan cewek berkulit hitam yang memakai Dove Body Wash untuk memutihkan kulitnya.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Bukan cuma itu, mereka juga bakal mengubah produk Fair & Lovely dan berkomitmen untuk merancang ulang portofolio produk skincare mereka supaya lebih inklusif dan merayakan keragaman dalam kecantikan.
Selain Unilever, L’Oreal juga ikut berkomitmen menghilangkan kata-kata “putih”, “cerah”, dan “terang” dari semua produk krim malam mereka.
Keputusan ini dibuat setelah mereka mendapatkan kritikan tajam dari seorang model asal Inggris tentang ketidakadilan terhadap kesetaraan warna kulit.
Terus, gimana dengan di Indonesia? Ternyata, ada, loh, merek lokal yang sejak awal berdiri sudah paham akan konsep kecantikan yang lebih inklusif, gak terbatas pada warna atau bentuk tubuh.
Kamu udah pernah dengar Mad For Makeup (MFM)? Merek ini dibangun oleh dr. Shirley Oslan, seorang ahli kecantikan, dan Tony Tan yang punya latar belakang teknik.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Tujuannya adalah memberontak (rebel) terhadap standar kecantikan yang ada dan memberikan kecantikan berkualitas tinggi untuk semua orang. Inilah makanya konsumen mereka disapa dengan sebutan "Rebels".
Menurut Head of Marketing Mad for Makeup Sinthia Delvi Alexander, label mereka punya lima cara untuk mengubah stigma standar kecantikan.
Pertama, MFM mengedepankan nilai empati dan kepedulian terhadap konsumen, yang mayoritas adalah anak muda usia 18-24 tahun. Menurut mereka, kecantikan itu mengenai menjadi dan mencintai diri sendiri.
Bahkan, sebagai refleksi dari nilai ini, mereka pernah memakai kostum pegawai SPBU dalam sebuah festival untuk menunjukkan bahwa semua kalangan layak menjadi cantik.
Kedua, mereka mencoba merepresentasikan seluruh segmen pasar di Indonesia, dengan warna kulit apa pun.
Yang menarik, dari segi marketing, mereka menggunakan model laki-laki dalam video pemasaran produk terbarunya. Ternyata, video ini menjadi video favorit para Rebels.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Ketiga, alih-alih menggunakan model profesional, mereka justru memanfaatkan audiensnya sebagai model mereka sendiri. Upaya ini dilakukan agar karya-karya MFM menjadi lebih autentik dan memanfaatkan potensi dari para Rebels.
Keempat, MFM selalu memanfaatkan keindahan Indonesia sebagai inspirasi. Mereka sering memanfaatkan area-area lokal seperti Blok M dan stasiun MRT untuk menggambarkan keindahan area lokal.
Kelima, mereka punya program Rebel of The Day (ROTD), yaitu mereka mewawancarai Rebels yang menginspirasi dan menunjukkannya lewat Instastory.
Dalam hal ini, mereka berfokus bukan terhadap kecantikan secara visual, melainkan kecantikan dari dalam.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Mad for Makeup juga punya program bertajuk "F Beauty Standards", yaitu memberi ruang untuk Rebels yang dianggap cantik di luar standar kecantikan mainstream, misalnya hanya punya satu mata, berambut keriting, gigi yang jarang, dan sebagainya. MFM mengunggah foto dan cerita mereka.
Mereka juga punya program "Rebel Together" yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu You Are Heard yang mendukung para korban kekerasan seksual dengan memberi donasi kepada Yayasan Pulih (konseling gratis).
Lalu Level Up yaitu kelas marketing dan branding untuk mengasah kemampuan para Rebels. Juga 100 Good Dares yang menantang Rebels untuk melakukan hal-hal baik.
"Inklusivitas dan penerimaan terhadap audiens sangat penting, dan ini adalah nilai yang bisa kita lakukan bersama untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih layak," ujar Sinthia.
Rizka Nadhirasari Hermawan Putri
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @dhirsss
Pastinya kita tahu, bahwa standar cewek cakep di dunia ini adalah yang kulitnya putih, wajahnya simetris, badannya tinggi langsing, dan hidung mancung.
Untungnya, saat ini, perusahaan-perusaan produk perawatan dan kecantikan kulit dunia udah mulai sadar bahwa ini adalah hal yang salah.
Melansir dari USA Today, tepat pada 25 Juni lalu, Unilever memutuskan untuk berhenti mempromosikan kata "mencerahkan" (lightening) dan “memutihkan” (whitening) dari produk-produk mereka.
Ini sebagai respons dari banyaknya kritik terhadap video iklan Unilever yang menggambarkan cewek berkulit hitam yang memakai Dove Body Wash untuk memutihkan kulitnya.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Bukan cuma itu, mereka juga bakal mengubah produk Fair & Lovely dan berkomitmen untuk merancang ulang portofolio produk skincare mereka supaya lebih inklusif dan merayakan keragaman dalam kecantikan.
Selain Unilever, L’Oreal juga ikut berkomitmen menghilangkan kata-kata “putih”, “cerah”, dan “terang” dari semua produk krim malam mereka.
Keputusan ini dibuat setelah mereka mendapatkan kritikan tajam dari seorang model asal Inggris tentang ketidakadilan terhadap kesetaraan warna kulit.
Terus, gimana dengan di Indonesia? Ternyata, ada, loh, merek lokal yang sejak awal berdiri sudah paham akan konsep kecantikan yang lebih inklusif, gak terbatas pada warna atau bentuk tubuh.
Kamu udah pernah dengar Mad For Makeup (MFM)? Merek ini dibangun oleh dr. Shirley Oslan, seorang ahli kecantikan, dan Tony Tan yang punya latar belakang teknik.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Tujuannya adalah memberontak (rebel) terhadap standar kecantikan yang ada dan memberikan kecantikan berkualitas tinggi untuk semua orang. Inilah makanya konsumen mereka disapa dengan sebutan "Rebels".
Menurut Head of Marketing Mad for Makeup Sinthia Delvi Alexander, label mereka punya lima cara untuk mengubah stigma standar kecantikan.
Pertama, MFM mengedepankan nilai empati dan kepedulian terhadap konsumen, yang mayoritas adalah anak muda usia 18-24 tahun. Menurut mereka, kecantikan itu mengenai menjadi dan mencintai diri sendiri.
Bahkan, sebagai refleksi dari nilai ini, mereka pernah memakai kostum pegawai SPBU dalam sebuah festival untuk menunjukkan bahwa semua kalangan layak menjadi cantik.
Kedua, mereka mencoba merepresentasikan seluruh segmen pasar di Indonesia, dengan warna kulit apa pun.
Yang menarik, dari segi marketing, mereka menggunakan model laki-laki dalam video pemasaran produk terbarunya. Ternyata, video ini menjadi video favorit para Rebels.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Ketiga, alih-alih menggunakan model profesional, mereka justru memanfaatkan audiensnya sebagai model mereka sendiri. Upaya ini dilakukan agar karya-karya MFM menjadi lebih autentik dan memanfaatkan potensi dari para Rebels.
Keempat, MFM selalu memanfaatkan keindahan Indonesia sebagai inspirasi. Mereka sering memanfaatkan area-area lokal seperti Blok M dan stasiun MRT untuk menggambarkan keindahan area lokal.
Kelima, mereka punya program Rebel of The Day (ROTD), yaitu mereka mewawancarai Rebels yang menginspirasi dan menunjukkannya lewat Instastory.
Dalam hal ini, mereka berfokus bukan terhadap kecantikan secara visual, melainkan kecantikan dari dalam.
Foto: Instagram @madformakeup.co
Mad for Makeup juga punya program bertajuk "F Beauty Standards", yaitu memberi ruang untuk Rebels yang dianggap cantik di luar standar kecantikan mainstream, misalnya hanya punya satu mata, berambut keriting, gigi yang jarang, dan sebagainya. MFM mengunggah foto dan cerita mereka.
Mereka juga punya program "Rebel Together" yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu You Are Heard yang mendukung para korban kekerasan seksual dengan memberi donasi kepada Yayasan Pulih (konseling gratis).
Lalu Level Up yaitu kelas marketing dan branding untuk mengasah kemampuan para Rebels. Juga 100 Good Dares yang menantang Rebels untuk melakukan hal-hal baik.
"Inklusivitas dan penerimaan terhadap audiens sangat penting, dan ini adalah nilai yang bisa kita lakukan bersama untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih layak," ujar Sinthia.
Rizka Nadhirasari Hermawan Putri
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @dhirsss
(it)