Jejak Tari Jawa Klasik, dari Keraton hingga ke Jakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dengan populasi masyarakat suku Jawa yang mencapai 41% dari jumlah penduduk Indonesia, tidak heran bahwa tari asal Jawa, termasuk tari Jawa klasik termasuk yang populer di Indonesia.
Tari Jawa klasik disebut sebagai seni tari yang berasal, berada, dan berkembang di kalangan bangsawan Keraton. Tarian ini[unya kaidah atau pakem keindahan yang terukur dan terstruktur, serta bertahan sejak diciptakan.
Pada perkembangannya, tarian ini bukan cuma berkembang di daerah Keraton, tapi juga di luar Keraton karena perpindahan penduduk suku Jawa ke daerah lain.
Tari Jawa Klasik juga akhirnya berkembang di Jakarta, ibu kota yang punya daya tarik untuk didatangi masyarakat dari daerah lain, termasuk suku Jawa. ( )
Dalamwebinar yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), pada pada Sabtu (29/8), pengajar di program studi Sastra Jawa FIB UI, FX Haryono, menjelaskan bahwa Tari Jawa klasik tumbuh dalam bingkai kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa merupakan keseluruhan proses penciptaan dan pengelolaan rasa serta hasil kehendak jiwa masyarakat Jawa, untuk memberikan makna manusiawi terhadap segala objek atau materi yang dihadapi dan diolahnya untuk menjaga kehidupan serta membuat tata kehidupan masyarakat yang bermartabat.
Foto: bpad.jogjaprov.go.id
Tari Jawa Klasik tercipta sebagai hasil proses pemaknaan terhadap seluruh organ-organ tubuh manusia sebagai instrumen penciptaan tanda-tanda keindahan tata gerak tubuh dan pengolahan keharmonisan wiraga, wirasa, dan wirama.
Mulanya, tari klasik Jawa yang difokuskan di Keraton Surakarta hanya tari Srimpi dan Bedhaya, dan bersifat eksklusif. Pada sekitar tahun 1970-an, di luar kendali Keraton Surakarta, muncul sebuah Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Kemunculan PKJT membuat bukan cuma kalangan keraton yang dapat menarikan Tari Jawa Klasik.
Jumlah penari Jawa klasik yang semakin banyak juga karena kemunculan sekolah seni. Para penari yang telah mahir kemudian mengajarkannya di berbagai daerah melalui sanggar.
Di Jakarta, pada tahun 1970-an berkembangnya tari Jawa klasik memberi nilai sosial yang tinggi bagi para penarinya. Hal itu membuat munculnya grup-grup kesenian elit seperti Jaya Budaya dan Padnećwara.
Berkembanganya Tari Jawa Klasik di Jakarta ditandai dengan kemunculan sanggar tari Jawa klasik di setiap gelanggang remaja di Jakarta. ( )
Tumbuhnya seni tari Jawa klasik di Jakarta tidak lepas dari perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta saat itu, yaitu Gubernur Ali Sadikin. Ali berprinsip bahwa Jakarta sebagai ibu kota negara harusnya merepresentasikan budaya nasional. Jadi, tidak hanya kesenian Betawi saja yang diperhatikan.
Foto: Instagram @tarijawabulungan
Selama dua dasawarsa, yaitu dari tahun 1970 sampai tahun 1980-an menjadi masa gemilang tari Jawa klasik di Jakarta. Parapelatih tari Jawa klasik bahkan merasakan sisi positif pada aspek ekonomi mereka.
Sayangnya, mulai tahun 1990 hingga tahun 2000-an masa gemilang tersebut mulai surut. Sanggar-sanggar tari tersebut mulai berguguran.
Kemampuan penari Jawa yang juga menguasai tari-tari daerah lain menjadikan sanggar-sanggar tari yang hanya mengajarkan tari Jawa Klasik menjadi kurang peminat.
Kemerosotan ini ditambah buruk dengan perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada bidang kesenian yang semakin berkurang. (Baca Juga: Kenalan dengan Wacinwa! Silang Budaya antara China dan Jawa)
Dalam masa surut yang terjadi saat itu tidak membuat hilangnya penari tari Jawa klasik di Jakarta. Idealisme itu masih dipegang erat oleh sanggar tari Jawa Klasik di Gelanggang Remaja Bulungan hingga saat ini.
Sanggar tari ini masih membuka kelas untuk anak-anak dan dewasa. Sanggar ini melakukan pelatihan tari langgam Surakarta.
Tari Jawa klasik disebut sebagai seni tari yang berasal, berada, dan berkembang di kalangan bangsawan Keraton. Tarian ini[unya kaidah atau pakem keindahan yang terukur dan terstruktur, serta bertahan sejak diciptakan.
Pada perkembangannya, tarian ini bukan cuma berkembang di daerah Keraton, tapi juga di luar Keraton karena perpindahan penduduk suku Jawa ke daerah lain.
Tari Jawa Klasik juga akhirnya berkembang di Jakarta, ibu kota yang punya daya tarik untuk didatangi masyarakat dari daerah lain, termasuk suku Jawa. ( )
Dalamwebinar yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), pada pada Sabtu (29/8), pengajar di program studi Sastra Jawa FIB UI, FX Haryono, menjelaskan bahwa Tari Jawa klasik tumbuh dalam bingkai kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa merupakan keseluruhan proses penciptaan dan pengelolaan rasa serta hasil kehendak jiwa masyarakat Jawa, untuk memberikan makna manusiawi terhadap segala objek atau materi yang dihadapi dan diolahnya untuk menjaga kehidupan serta membuat tata kehidupan masyarakat yang bermartabat.
Foto: bpad.jogjaprov.go.id
Tari Jawa Klasik tercipta sebagai hasil proses pemaknaan terhadap seluruh organ-organ tubuh manusia sebagai instrumen penciptaan tanda-tanda keindahan tata gerak tubuh dan pengolahan keharmonisan wiraga, wirasa, dan wirama.
Mulanya, tari klasik Jawa yang difokuskan di Keraton Surakarta hanya tari Srimpi dan Bedhaya, dan bersifat eksklusif. Pada sekitar tahun 1970-an, di luar kendali Keraton Surakarta, muncul sebuah Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Kemunculan PKJT membuat bukan cuma kalangan keraton yang dapat menarikan Tari Jawa Klasik.
Jumlah penari Jawa klasik yang semakin banyak juga karena kemunculan sekolah seni. Para penari yang telah mahir kemudian mengajarkannya di berbagai daerah melalui sanggar.
Di Jakarta, pada tahun 1970-an berkembangnya tari Jawa klasik memberi nilai sosial yang tinggi bagi para penarinya. Hal itu membuat munculnya grup-grup kesenian elit seperti Jaya Budaya dan Padnećwara.
Berkembanganya Tari Jawa Klasik di Jakarta ditandai dengan kemunculan sanggar tari Jawa klasik di setiap gelanggang remaja di Jakarta. ( )
Tumbuhnya seni tari Jawa klasik di Jakarta tidak lepas dari perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta saat itu, yaitu Gubernur Ali Sadikin. Ali berprinsip bahwa Jakarta sebagai ibu kota negara harusnya merepresentasikan budaya nasional. Jadi, tidak hanya kesenian Betawi saja yang diperhatikan.
Foto: Instagram @tarijawabulungan
Selama dua dasawarsa, yaitu dari tahun 1970 sampai tahun 1980-an menjadi masa gemilang tari Jawa klasik di Jakarta. Parapelatih tari Jawa klasik bahkan merasakan sisi positif pada aspek ekonomi mereka.
Sayangnya, mulai tahun 1990 hingga tahun 2000-an masa gemilang tersebut mulai surut. Sanggar-sanggar tari tersebut mulai berguguran.
Kemampuan penari Jawa yang juga menguasai tari-tari daerah lain menjadikan sanggar-sanggar tari yang hanya mengajarkan tari Jawa Klasik menjadi kurang peminat.
Kemerosotan ini ditambah buruk dengan perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada bidang kesenian yang semakin berkurang. (Baca Juga: Kenalan dengan Wacinwa! Silang Budaya antara China dan Jawa)
Dalam masa surut yang terjadi saat itu tidak membuat hilangnya penari tari Jawa klasik di Jakarta. Idealisme itu masih dipegang erat oleh sanggar tari Jawa Klasik di Gelanggang Remaja Bulungan hingga saat ini.
Sanggar tari ini masih membuka kelas untuk anak-anak dan dewasa. Sanggar ini melakukan pelatihan tari langgam Surakarta.