CERMIN: Filosofi Cinta, Persahabatan, dan Menjadi Manusia
Kamis, 08 September 2022 - 15:00 WIB
JAKARTA - Tahun 2006. Di tengah kesibukan mengejar mimpi dan berhadapan dengan realitas, Dee Lestari memperkenalkan saya dengan Ben dan Jody.
Ben dan Jody pertama kali diperkenalkan ke publik melalui kumpulan cerpen Filosofi Kopi yang terbit pada 2006. Setelah novel Supernova yang superlaris, Dee Lestari menjadi perhatian pencinta buku. Sekali lagi Dee membuat banyak orang jatuh cinta dengan kopi, juga dengan Ben dan Jody.
Persahabatan dua orang laki-laki yang sangat berbeda satu sama lain menjadi daya tarik bagi banyak pembaca seperti saya. Perlahan saya mengidentifikasi diri, apakah saya sesungguhnya Ben atau Jody. Kedua karakter ini punya daya tariknya masing-masing, juga kelemahan masing-masing yang membuat mereka menjadi manusia biasa. Seperti kita.
Berselang sembilan tahun, akhirnya kita melihat wujud Ben dan Jody di layar lebar pada 2015. Chicco Jerikho menjadi Ben yang jago membuat kopi, punya karakter meledak-ledak dan susah betul diatur. Sementara Rio Dewanto menjadi Jody yang mengurusi manajemen, kalem dan sering menahan diri dan perasaannya demi Ben.
Foto: Netflix
Siapa coba yang tak senang melihat dua karakter sedemikian dan terasa dekat betul dengan kita akhirnya bisa kita lihat wujudnya? Angga Dwimas Sasongko menjadikan Chicco dan Rio seperti kita dalam keseharian yang tak selamanya ganteng cemerlang, tak selamanya baik ke semua orang, dan tak selamanya mendapatkan apa yang diinginkan.
Dalam Filosofi Kopi The Series yang tayang kembali di Netflix, kita diajak menikmati petualangan Ben dan Jody menyusuri berbagai kota di Jawa dan Bali. Berbekal sedikit pengetahuan, segudang kenekatan, mereka mencoba menjajakan kopi melintasi Bandung, Semarang, Salatiga, Yogya, Malang, hingga Bali. Sebuah perjalanan untuk menguji insting bisnis keduanya, yang ternyata pada akhirnya juga akan menguji persahabatan mereka.
Film-film bergenre road movie memang selalu menarik untuk ditonton. Film yang menyajikan perjalanan fisik dan juga batin dari karakter-karakter yang kita lihat di layar. Ketika mereka menyusuri jengkal demi jengkal jalan menyusuri masa kini, terkadang mereka dipaksa berbelok dan memutar arah menyusuri masa lalu.
Kejutan demi kejutan sering datang dalam perjalanan dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengannya. Kita akan melihat bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah demi masalah yang datang menerpa.
Foto: Netflix
Dalam beberapa film bergenre road movie berkualitas cemerlang, kita selalu dihadapkan dengan dua karakter yang bertolak belakang. Dalam Le Grand Voyage karya Ishmael Ferroukhi, kita akan bertemu dengan ayah dan anak dengan tujuan yang berbeda.
Sang ayah yang ingin cepat-cepat tiba di Makkah, sementara sang anak ingin menikmati perjalanan dari Prancis ke Makkah dan berhura-hura di antaranya. Dalam Mencari Hilal karya Ismail Basbeth, kita juga dipertemukan dengan ayah dan anak dengan filosofi yang bertolak belakang. Keduanya terpaksa melakukan perjalanan bersama dan sering kali menimbulkan kesalahpahaman.
Baca Juga: CERMIN: Apa yang Kau Cari, Sophie?
Perjalanan menyusuri Jawa dan Bali juga menguarkan masalah yang selama ini selalu dipendam antara Ben dan Jody. Sangat masuk akal jika pada suatu masa keduanya jatuh hati pada perempuan yang sama. Sangat masuk akal jika salah satu di antara mereka mencoba mengalah agar tak menyakiti yang lain. Tapi apakah cinta seharga persahabatan?
Dalam beberapa hal, saya merasa punya sifat yang merupakan kombinasi antara Ben dan Jody. Secara fisik, mungkin saya lebih dekat ke Jody tapi secara mental, dalam beberapa hal saya lebih mirip dengan Ben. Film/serial/miniseri dinilai berhasil ketika penonton bisa mengidentifikasi dirinya dengan karakter-karakter yang ada di layar.
Foto: Netflix
Ben dan Jody pertama kali diperkenalkan ke publik melalui kumpulan cerpen Filosofi Kopi yang terbit pada 2006. Setelah novel Supernova yang superlaris, Dee Lestari menjadi perhatian pencinta buku. Sekali lagi Dee membuat banyak orang jatuh cinta dengan kopi, juga dengan Ben dan Jody.
Persahabatan dua orang laki-laki yang sangat berbeda satu sama lain menjadi daya tarik bagi banyak pembaca seperti saya. Perlahan saya mengidentifikasi diri, apakah saya sesungguhnya Ben atau Jody. Kedua karakter ini punya daya tariknya masing-masing, juga kelemahan masing-masing yang membuat mereka menjadi manusia biasa. Seperti kita.
Berselang sembilan tahun, akhirnya kita melihat wujud Ben dan Jody di layar lebar pada 2015. Chicco Jerikho menjadi Ben yang jago membuat kopi, punya karakter meledak-ledak dan susah betul diatur. Sementara Rio Dewanto menjadi Jody yang mengurusi manajemen, kalem dan sering menahan diri dan perasaannya demi Ben.
Foto: Netflix
Siapa coba yang tak senang melihat dua karakter sedemikian dan terasa dekat betul dengan kita akhirnya bisa kita lihat wujudnya? Angga Dwimas Sasongko menjadikan Chicco dan Rio seperti kita dalam keseharian yang tak selamanya ganteng cemerlang, tak selamanya baik ke semua orang, dan tak selamanya mendapatkan apa yang diinginkan.
Dalam Filosofi Kopi The Series yang tayang kembali di Netflix, kita diajak menikmati petualangan Ben dan Jody menyusuri berbagai kota di Jawa dan Bali. Berbekal sedikit pengetahuan, segudang kenekatan, mereka mencoba menjajakan kopi melintasi Bandung, Semarang, Salatiga, Yogya, Malang, hingga Bali. Sebuah perjalanan untuk menguji insting bisnis keduanya, yang ternyata pada akhirnya juga akan menguji persahabatan mereka.
Film-film bergenre road movie memang selalu menarik untuk ditonton. Film yang menyajikan perjalanan fisik dan juga batin dari karakter-karakter yang kita lihat di layar. Ketika mereka menyusuri jengkal demi jengkal jalan menyusuri masa kini, terkadang mereka dipaksa berbelok dan memutar arah menyusuri masa lalu.
Kejutan demi kejutan sering datang dalam perjalanan dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengannya. Kita akan melihat bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah demi masalah yang datang menerpa.
Foto: Netflix
Dalam beberapa film bergenre road movie berkualitas cemerlang, kita selalu dihadapkan dengan dua karakter yang bertolak belakang. Dalam Le Grand Voyage karya Ishmael Ferroukhi, kita akan bertemu dengan ayah dan anak dengan tujuan yang berbeda.
Sang ayah yang ingin cepat-cepat tiba di Makkah, sementara sang anak ingin menikmati perjalanan dari Prancis ke Makkah dan berhura-hura di antaranya. Dalam Mencari Hilal karya Ismail Basbeth, kita juga dipertemukan dengan ayah dan anak dengan filosofi yang bertolak belakang. Keduanya terpaksa melakukan perjalanan bersama dan sering kali menimbulkan kesalahpahaman.
Baca Juga: CERMIN: Apa yang Kau Cari, Sophie?
Perjalanan menyusuri Jawa dan Bali juga menguarkan masalah yang selama ini selalu dipendam antara Ben dan Jody. Sangat masuk akal jika pada suatu masa keduanya jatuh hati pada perempuan yang sama. Sangat masuk akal jika salah satu di antara mereka mencoba mengalah agar tak menyakiti yang lain. Tapi apakah cinta seharga persahabatan?
Dalam beberapa hal, saya merasa punya sifat yang merupakan kombinasi antara Ben dan Jody. Secara fisik, mungkin saya lebih dekat ke Jody tapi secara mental, dalam beberapa hal saya lebih mirip dengan Ben. Film/serial/miniseri dinilai berhasil ketika penonton bisa mengidentifikasi dirinya dengan karakter-karakter yang ada di layar.
Foto: Netflix
Lihat Juga :
tulis komentar anda