Film Pendek Hari ke-40, Mahasiswa Demonstran dan Kebaikan yang Diwariskan
Jum'at, 03 September 2021 - 17:00 WIB
JAKARTA - Sepintas, film pendek "Hari ke-40" terlihat seperti sebuah drama keluarga biasa. Cerita bergulir dari sepasang suami istri yang mengomentari keadaan rumah yang tak terawat lantaran putra mereka tak kunjung pulang.
Harmonisnya tokoh Bapak (Muhary Wahyu Nurba) dan Ibu (Hetty Reksoprodjo) tergambar dalam rangkaian adegan berikutnya. Ada Ibu yang tergolek lemah karena sakit, dan Bapak yang merawatnya sepenuh hati. Hubungan emosional yang erat dalam jangka waktu panjang di antara keduanya disimbolkan melalui piringan hitam yang tidak lagi lazim digunakan pada masa kini,tapi setia menemani ritual Bapak menyuapi Ibu.
Pada babak pertengahan, konflik mulai disuguhkan saat Bapak melihat tayangan berita di televisi. Ilham, putra mereka, berada di tengah kerumunan mahasiswa yang berdemonstrasi. Ia dipiting aparat, dan dipisahkan dari para demonstran. Kontras cerita mulai terasa di titik ini. Alur yang semula berjalan landai, menemukan gelombang kejutnya yang pertama.
Pada paruh kedua inilah, penonton mulai mengenal sosok Ilham secara lebih dekat. Begitu pun dengan sifat, sikap, dan pemikiran Ilham tentang pilihannya menjadi demonstran. Informasi ini walaupun secara tersirat sudah diberikan saat awal, diperkuat kembali dengan dialog yang terjadi antara Ilham dan Bapak.
Poin yang menarik dari film pendek ini, terlepas dari kejutan plot twist-nya yang berhasil mengecoh penonton, adalah cara cerita bergerak dalam dua dimensi yang bertolak belakang. Sosok Bapak dan Ibu yang mewakili kelembutan, kearifan, dan kebijaksanaan, seolah ingin dibenturkan dengan keadaan ricuh, rasa cemas, kecewa, dan terluka yang dialami putra mereka.
Baca Juga: Rekomendasi 5 Film Pendek di YouTube untuk Ditonton Akhir Pekan
Pergerakan cerita pun berada dalam kisaran isu yang sensitif, yaitu kekerasan pada demonstran. Tindakan represif aparat yang dimunculkan dalam beberapa detik durasi film ini, laksana berkas lama dalam tumpukan arsip masa lalu yang dibuka kembali. Sebagai alat pemerintah dalam menegakkan ketertiban umum, aparat tanpa segan menggunakan kekuatannya untuk menjalankan fungsi tersebut.
Dalam beberapa kasus, agresivitas diklaim sebagai pemicu tindakan represif aparat. Tindakan intimidatif verbal berupa ejekan atau hinaan yang berkembang menjadi agresi fisik, seperti mendorong, memukul, melempar, atau menendang menjadi pemicu atas tindakan aparat tersebut. Bentrok kepentingan antara aparat yang bertujuan menciptakan keadaan aman dan kondusif, berseberangan dengan demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya secara bebas dan terbuka.
Ketidakmampuan suatu kelompok untuk menyalurkan aspirasinya secara lugas dan bebas, dalam film ini diwakili oleh sosok Ilham. Ilham menanggung sakit, melihat rekan-rekannya diinjak dan dipukuli, tanpa bisa melakukan apa-apa, karena nasibnya pun tak jauh berbeda dari mereka.
Foto: Maxstream
Pilihan berani penulis skenario memilih diksi seperti, "Bahkan mungkin udah ada yang mati. Atau seperti biasa, mayatnya disembunyikan, lalu dibuang entah ke mana," menjadi begitu istimewa dan membekas. Sosok Ilham seolah memang sengaja diciptakan untuk mengingatkan, betapa gelombang aksi mahasiswa sebagai pengawal reformasi pernah demikian mashur, sekalipun menyisakan pilu bagi sejarah kehidupan demokrasi bangsa.
Karakter Ilham yang peduli terhadap sesamanya, dan keinginannya turun berdemonstrasi, rupanya terinspirasi dari Mahatma Gandhi dan Wiji Tukul. Gandhi dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan India yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk melawan kolonialisme. Sementara Wiji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia yang dinyatakan hilang pada 1998 yang penuh gejolak.
Bagaimana penonton bisa menghimpun informasi ini dari film yang durasinya tidak lebih dari 25 menit, adalah berkat divisi artistik. Penempatan foto kedua aktivis tersebut di kamar Ilham, menjawab jejalan pertanyaan penonton atas opsi bernyali tokoh ini.
Baca Juga: Makin Mencekam, Drama Korea 'Squid Game' Ternyata Cerita tentang Kapitalisme
Selain inspirasi yang membuat tokoh Ilham mengambil keputusan berani, ada pula dorongan yang sifatnya lebih mendasar, lebih dalam dan intuitif. Motivasi ini lahir dari kebaikan-kebaikan yang diajarkan orang tua Ilham. Sifat peduli Ilham pada keadaan sekitarnya, merupakan kebaikan yang diwariskan dari kedua orang tuanya. Bapak yang punya karakter mengayomi dan meladeni, serta Ibu yang sabar, mengenalkan dan menerapkan kebaikan dalam kehidupan Ilham. Bahkan untuk hal kecil dan sekilas tampak remeh, seperti tidak boleh minum langsung dari mulut botol.
Warisan kebaikan dalam diri Ilham, selain direfleksikan dari caranya menentang arus mengawal perubahan, juga terlihat dari kematangannya dalam menyikapi kehilangan. Ia memilih untuk merelakan, dan berdamai dengan pedihnya kehilangan. Ilham melanjutkan hidup dan meneruskan pola yang sudah tertanam di alam bawah sadarnya. Pola tentang keteraturan, kedisiplinan, dan kepasrahan pada kuasa mahabesar yang mengatur seluruh sendi kehidupan, sebagaimana yang diajarkan kepadanya.
Secara keseluruhan, "Hari ke-40" yang tayang di Maxstream ini tidak seangker judulnya. Film ini adalah perangkat untuk menguji hipotesis antara hubungan internalisasi nilai-nilai moral dan pengejawantahannya dalam diri seseorang. Bahwa sekalipun kesedihan dan kekerasan menimpa Ilham, kebajikan yang menempanya seumur hidup, berhasil menyelamatkannya dari kekacaubalauan.
Lusiana Yuniarti
Penikmat film dari komunitas KamAksara.
Harmonisnya tokoh Bapak (Muhary Wahyu Nurba) dan Ibu (Hetty Reksoprodjo) tergambar dalam rangkaian adegan berikutnya. Ada Ibu yang tergolek lemah karena sakit, dan Bapak yang merawatnya sepenuh hati. Hubungan emosional yang erat dalam jangka waktu panjang di antara keduanya disimbolkan melalui piringan hitam yang tidak lagi lazim digunakan pada masa kini,tapi setia menemani ritual Bapak menyuapi Ibu.
Pada babak pertengahan, konflik mulai disuguhkan saat Bapak melihat tayangan berita di televisi. Ilham, putra mereka, berada di tengah kerumunan mahasiswa yang berdemonstrasi. Ia dipiting aparat, dan dipisahkan dari para demonstran. Kontras cerita mulai terasa di titik ini. Alur yang semula berjalan landai, menemukan gelombang kejutnya yang pertama.
Pada paruh kedua inilah, penonton mulai mengenal sosok Ilham secara lebih dekat. Begitu pun dengan sifat, sikap, dan pemikiran Ilham tentang pilihannya menjadi demonstran. Informasi ini walaupun secara tersirat sudah diberikan saat awal, diperkuat kembali dengan dialog yang terjadi antara Ilham dan Bapak.
Poin yang menarik dari film pendek ini, terlepas dari kejutan plot twist-nya yang berhasil mengecoh penonton, adalah cara cerita bergerak dalam dua dimensi yang bertolak belakang. Sosok Bapak dan Ibu yang mewakili kelembutan, kearifan, dan kebijaksanaan, seolah ingin dibenturkan dengan keadaan ricuh, rasa cemas, kecewa, dan terluka yang dialami putra mereka.
Baca Juga: Rekomendasi 5 Film Pendek di YouTube untuk Ditonton Akhir Pekan
Pergerakan cerita pun berada dalam kisaran isu yang sensitif, yaitu kekerasan pada demonstran. Tindakan represif aparat yang dimunculkan dalam beberapa detik durasi film ini, laksana berkas lama dalam tumpukan arsip masa lalu yang dibuka kembali. Sebagai alat pemerintah dalam menegakkan ketertiban umum, aparat tanpa segan menggunakan kekuatannya untuk menjalankan fungsi tersebut.
Dalam beberapa kasus, agresivitas diklaim sebagai pemicu tindakan represif aparat. Tindakan intimidatif verbal berupa ejekan atau hinaan yang berkembang menjadi agresi fisik, seperti mendorong, memukul, melempar, atau menendang menjadi pemicu atas tindakan aparat tersebut. Bentrok kepentingan antara aparat yang bertujuan menciptakan keadaan aman dan kondusif, berseberangan dengan demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya secara bebas dan terbuka.
Ketidakmampuan suatu kelompok untuk menyalurkan aspirasinya secara lugas dan bebas, dalam film ini diwakili oleh sosok Ilham. Ilham menanggung sakit, melihat rekan-rekannya diinjak dan dipukuli, tanpa bisa melakukan apa-apa, karena nasibnya pun tak jauh berbeda dari mereka.
Foto: Maxstream
Pilihan berani penulis skenario memilih diksi seperti, "Bahkan mungkin udah ada yang mati. Atau seperti biasa, mayatnya disembunyikan, lalu dibuang entah ke mana," menjadi begitu istimewa dan membekas. Sosok Ilham seolah memang sengaja diciptakan untuk mengingatkan, betapa gelombang aksi mahasiswa sebagai pengawal reformasi pernah demikian mashur, sekalipun menyisakan pilu bagi sejarah kehidupan demokrasi bangsa.
Karakter Ilham yang peduli terhadap sesamanya, dan keinginannya turun berdemonstrasi, rupanya terinspirasi dari Mahatma Gandhi dan Wiji Tukul. Gandhi dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan India yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk melawan kolonialisme. Sementara Wiji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia yang dinyatakan hilang pada 1998 yang penuh gejolak.
Bagaimana penonton bisa menghimpun informasi ini dari film yang durasinya tidak lebih dari 25 menit, adalah berkat divisi artistik. Penempatan foto kedua aktivis tersebut di kamar Ilham, menjawab jejalan pertanyaan penonton atas opsi bernyali tokoh ini.
Baca Juga: Makin Mencekam, Drama Korea 'Squid Game' Ternyata Cerita tentang Kapitalisme
Selain inspirasi yang membuat tokoh Ilham mengambil keputusan berani, ada pula dorongan yang sifatnya lebih mendasar, lebih dalam dan intuitif. Motivasi ini lahir dari kebaikan-kebaikan yang diajarkan orang tua Ilham. Sifat peduli Ilham pada keadaan sekitarnya, merupakan kebaikan yang diwariskan dari kedua orang tuanya. Bapak yang punya karakter mengayomi dan meladeni, serta Ibu yang sabar, mengenalkan dan menerapkan kebaikan dalam kehidupan Ilham. Bahkan untuk hal kecil dan sekilas tampak remeh, seperti tidak boleh minum langsung dari mulut botol.
Warisan kebaikan dalam diri Ilham, selain direfleksikan dari caranya menentang arus mengawal perubahan, juga terlihat dari kematangannya dalam menyikapi kehilangan. Ia memilih untuk merelakan, dan berdamai dengan pedihnya kehilangan. Ilham melanjutkan hidup dan meneruskan pola yang sudah tertanam di alam bawah sadarnya. Pola tentang keteraturan, kedisiplinan, dan kepasrahan pada kuasa mahabesar yang mengatur seluruh sendi kehidupan, sebagaimana yang diajarkan kepadanya.
Secara keseluruhan, "Hari ke-40" yang tayang di Maxstream ini tidak seangker judulnya. Film ini adalah perangkat untuk menguji hipotesis antara hubungan internalisasi nilai-nilai moral dan pengejawantahannya dalam diri seseorang. Bahwa sekalipun kesedihan dan kekerasan menimpa Ilham, kebajikan yang menempanya seumur hidup, berhasil menyelamatkannya dari kekacaubalauan.
Lusiana Yuniarti
Penikmat film dari komunitas KamAksara.
(ita)
tulis komentar anda