Resensi Buku Tere Liye: Si Anak Badai

Selasa, 22 Oktober 2019 - 16:30 WIB
Resensi Buku Tere Liye: Si Anak Badai
Resensi Buku Tere Liye: Si Anak Badai
A A A
Hangat. Itu adalah kesan saya ketika menyelesaikan halaman ke-318 yang menjadi penutup kisah seru buku "Si Anak Badai" karangan Tere Liye.

Tak pernah terlintas dalam benak saya, semburat oranye pada sampul buku ini menjadi penanda bahwa saya akan ikut mencintai tenang dan cantiknya Kampung Manowa, terutama di sore hari.

Sore menjadi waktu yang paling dinikmati oleh Zaenal, karakter utama sekaligus pencerita dalam novel yang jadi bagian dari "Serial Anak Nusantara" ini. Semua karena pada waktu matahari berganti tugas dengan bulan, menjadi waktunya bermain sekaligus mengais rezeki dari lemparan koin demi koin penumpang kapal.

Latar tempat dari novel ini unik dan baru untuk saya. Akan tetapi, karakter-karakter dalam cerita ini terasa begitu dekat. Mulai dari tokoh Pak Kapten alias Pak Sakai yang menjadi tokoh paling ditakuti karena suka memarahi anak-anak.

Pak Kapten mengingatkan saya dengan salah satu tetangga di lingkungan saya ketika saya dan kawan sedang asyik-asyiknya bersenda gurau. Kalau sudah begitu, saya sama seperti Za dan kawan-kawannya, kabuurr! Saya juga sempat menahan tawa sampai-sampai hanya badan saya saja yang gemetar ketika membaca alasan-alasan Fatahillah [halaman 19] untuk tidak menemui Pak Kapten. Terasa sekali seramnya Pak Kapten itu.

Sementara Kampung Manowa yang menjadi latar cerita adalah kampung yang terasa begitu tepat untuk saya singgahi jika saya sedang pusing dan tidak ada ide ketika deadline pekerjaan semakin dekat.

Kata demi kata yang disampaikan penulis buku menggambarkan begitu ramah dan besarnya kekeluargaan antarwarga kampung Manowa. Sesuatu yang begitu jarang terlihat oleh warga perkotaan seperti saya. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa Zaenal, Ode, Malim, dan Awang memulai “pertarungan” untuk melindungi kampung halaman mereka dari pembangunan pelabuhan yang direncanakan pemerintah pusat.

Tentu tidak mudah, apalagi setiap karakter harus merembukkan pendapat untuk mencari cara terbaik melindungi kampung mereka. Ode yang kurang serius, Malim yang pemberani, dan Awang yang penuh kehati-hatian, serta Zaenal menjadi tokoh favorit saya karena mampu menjadi penengah di antara mereka.

Penuh Konflik dan Ketegangan

Kejadian demi kejadian yang penuh ketegangan dihias dengan apik dalam buku ini sehingga saya setia membalik tiap lembarnya. Penulis juga begitu cerdik untuk menceritakan konflik internal antarsahabat terlebih dahulu sebelum konflik eksternal datang.

Masalah pertama yang diuji dari persahabatan mereka adalah tentang kesetiakawanan. Mereka yang selalu kompak seperti saat berenang mengais rezeki dari kapal yang melewati Kampung Manowa diuji ketika salah satu tokoh memutuskan putus sekolah.

Tanpa banyak keterlibatan tokoh dewasa, permasalahan ini diselesaikan oleh mereka yang memilih untuk menemani dan memahami kegelisahan yang dirasakan salah satu kawan mereka, sehinga sang kawan dapat merasakan kehadirannya begitu berarti dalam persahabatan ini.

Hal kedua yang diceritakan adalah tentang kepercayaan. Saya sangat menyukai saat bagian rinci diceritakan. Terasa tiap detik begitu berharga.

Permasalahan yang disampaikan dalam novel ini begitu rumit sebenarnya. Bukan selalu persoalan yang umumnya dihadapi anak-anak, karena menyinggung masalah seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Namun penyampaian yang diramu begitu matang membuat ketegangan tergambarkan dengan baik tanpa menyisakan kebingungan bagi pembaca. Secara samar, buku ini juga menyinggung potret nyata bahwa warga jarang dilibatkan dalam sebuah pengambilan keputusan.

Keseluruhan cerita disajikan dengan baik, tapi saya sedikit kurang nyaman pada pengulangan kata ‘sudah tradisi’ yang cukup banyak dan terasa tiba-tiba. Sebaiknya perlu ada pembahasan khusus bagaimana warga Kampung Manowa biasa melakukan sesuatu karena saya merasa kaget karena sesuatu tiba-tiba dijelaskan sebagai tradisi tanpa penjelasan awal yang mumpuni.

Meski begitu, buku ini bisa dibilang mampu menggugah hati. Teknik penceritaan yang sarat makna tidak terasa menggurui. Penulis membuktikan bahwa sesuatu yang baik tidak harus ditampilkan secara eksplisit, namun meski samar-samar, gaung kebaikan akan selalu mampu mendamaikan hati pembaca.

Widania Alifa
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @widania
(her)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.2937 seconds (0.1#10.140)