Skincare Pencerah Kulit Ternyata Sudah Diidamkan Sejak Dalam Cerita Epos Ramayana
A
A
A
Ramainya produk skincare pencerah kulit di pasaran berakar dari keinginan orang-orang yang mau punya kulit terang. Rupanya, hal ini udah lama berurat berakar, bahkan dalam pikiran karakter-karakter dalam cerita klasik epos Ramayana Jawa Kuno.
Epos Ramayana bercerita tentang kisah cinta antara Rama dengan istrinya, Sita. Tapi, sebagian besar cerita berfokus pada peperangan antara Rama dan Rahwana karena kecantikan Sita.
Kisah Ramayana yang telah diadaptasi dari versi India ke versi Jawa kuno menjadi karya sastra tertua yang masih eksis di Indonesia. Keautentikan Ramayana bukan sekadar hasil proses terjemahan, melainkan juga hasil dari adaptasi kreatif yang mampu menjadikan Ramayana Jawa Kuno sebagai karya orisinil tersendiri.
Foto: Flickr.com
Dalam kisah Ramayana, wacana kecantikan disampaikan secara menonjol melalui pemilihan warna kulit untuk tokoh. Sita dalam Ramayana misalnya digambarkan memilki wajah putih bercahaya dan diibaratkan dengan bulan purnama.
Diceritakan, tokoh Prabu Dasamuka pernah berjumpa dengan Sita dan ia bertanya, ”Siapa engkau, hai jelita, yang memasuki hutan untuk memetik bunga. Betapa kecantikanmu nyaris sempurna. Bahkan kecantikan bulan bukan menjadi tandinganmu sebab bulan akan redup ketika hari terang dan menjadi buruk tanpa cahayanya.”
Bulan dengan sifatnya yang terang atau cerah digunakan sebagai metafora untuk merepresentasikan kecantikan kulit ideal bagi perempuan.
Lebih jauh lagi, batas antara tokoh protagonis dan antagonis dilakukan salah satunya juga dengan menggunakan warna kulit. Tokoh-tokoh jahat digambarkan memilki warna kulit yang gelap, sedangkan tokoh-tokoh yang baik punya kulit yang cerah.
Foto:Getty Images
Seperti diceritakan, ada seorang pertapa perempuan yang kulitnya menjadi gelap setelah memakan daging dewa Wisnu. Kulit gelap yang didapatkannya merupakan representasi hukuman atas kesalahan yang ia perbuat.
Keinginan untuk mengubah kulit menjadi terang atau cerah dengan tujuan agar terlihat cantik memang telah diagungkan dalam epos Ramayana Jawa Kuno.
Buktinya adik perempuan Rahwana, raksasi Surpanakha, yang diceritakan jahat sempat mengubah wujudnya agar menjadi cantik untuk menggoda adik Rama, Laksmana. Wajah Surpanakha dalam cerita dikisahkan berubah menjadi seperti bulan purnama sebagaimana Sita.
Kalau Surpanakha memakai kekuatan magisnya untuk mengubah penampilannya, lantas bagaimana dengan perempuan-perempuan biasa dalam epos Ramayana yang mau punya kulit cerah?
Ternyata mereka memakai sari pandan, yang disebut sebagai bedak wajah untuk membuat perempuan terlihat putih atau cerah sempurna.
Foto:Ariana
Lewat epos Ramayana ini, L. Ayu Saraswati dalam bukunya yang berjudul "Putih Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional" menulis bahwa preferensi akan perempuan berkulit terang sudah ada sebelum kolonialisasi Eropa.
Lebih jauh L. Ayu Saraswati juga menjelaskan bahwa kulit terang menjadi sesuatu yang diinginkan dan kulit gelap menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dikenali melalui rasa (imitasi perasaan dan suasana hati). Rasa bekerja dengan cara mengkategorikan perempuan mana yang dipandang lebih cantik ketimbang yang lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah sebuah keharusan buat Surpanakha mengubah warna kulitnya? Apakah gak ada cara lain untuk menghukum si pertapa selain menggelapkan warna kulitnya? Konsep kecantikan gak seharusnya dibuat dengan mengerdilkan warna kulit gelap, 'kan?
Muniha Addin M.
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
Epos Ramayana bercerita tentang kisah cinta antara Rama dengan istrinya, Sita. Tapi, sebagian besar cerita berfokus pada peperangan antara Rama dan Rahwana karena kecantikan Sita.
Kisah Ramayana yang telah diadaptasi dari versi India ke versi Jawa kuno menjadi karya sastra tertua yang masih eksis di Indonesia. Keautentikan Ramayana bukan sekadar hasil proses terjemahan, melainkan juga hasil dari adaptasi kreatif yang mampu menjadikan Ramayana Jawa Kuno sebagai karya orisinil tersendiri.
Foto: Flickr.com
Dalam kisah Ramayana, wacana kecantikan disampaikan secara menonjol melalui pemilihan warna kulit untuk tokoh. Sita dalam Ramayana misalnya digambarkan memilki wajah putih bercahaya dan diibaratkan dengan bulan purnama.
Diceritakan, tokoh Prabu Dasamuka pernah berjumpa dengan Sita dan ia bertanya, ”Siapa engkau, hai jelita, yang memasuki hutan untuk memetik bunga. Betapa kecantikanmu nyaris sempurna. Bahkan kecantikan bulan bukan menjadi tandinganmu sebab bulan akan redup ketika hari terang dan menjadi buruk tanpa cahayanya.”
Bulan dengan sifatnya yang terang atau cerah digunakan sebagai metafora untuk merepresentasikan kecantikan kulit ideal bagi perempuan.
Lebih jauh lagi, batas antara tokoh protagonis dan antagonis dilakukan salah satunya juga dengan menggunakan warna kulit. Tokoh-tokoh jahat digambarkan memilki warna kulit yang gelap, sedangkan tokoh-tokoh yang baik punya kulit yang cerah.
Foto:Getty Images
Seperti diceritakan, ada seorang pertapa perempuan yang kulitnya menjadi gelap setelah memakan daging dewa Wisnu. Kulit gelap yang didapatkannya merupakan representasi hukuman atas kesalahan yang ia perbuat.
Keinginan untuk mengubah kulit menjadi terang atau cerah dengan tujuan agar terlihat cantik memang telah diagungkan dalam epos Ramayana Jawa Kuno.
Buktinya adik perempuan Rahwana, raksasi Surpanakha, yang diceritakan jahat sempat mengubah wujudnya agar menjadi cantik untuk menggoda adik Rama, Laksmana. Wajah Surpanakha dalam cerita dikisahkan berubah menjadi seperti bulan purnama sebagaimana Sita.
Kalau Surpanakha memakai kekuatan magisnya untuk mengubah penampilannya, lantas bagaimana dengan perempuan-perempuan biasa dalam epos Ramayana yang mau punya kulit cerah?
Ternyata mereka memakai sari pandan, yang disebut sebagai bedak wajah untuk membuat perempuan terlihat putih atau cerah sempurna.
Foto:Ariana
Lewat epos Ramayana ini, L. Ayu Saraswati dalam bukunya yang berjudul "Putih Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional" menulis bahwa preferensi akan perempuan berkulit terang sudah ada sebelum kolonialisasi Eropa.
Lebih jauh L. Ayu Saraswati juga menjelaskan bahwa kulit terang menjadi sesuatu yang diinginkan dan kulit gelap menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dikenali melalui rasa (imitasi perasaan dan suasana hati). Rasa bekerja dengan cara mengkategorikan perempuan mana yang dipandang lebih cantik ketimbang yang lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah sebuah keharusan buat Surpanakha mengubah warna kulitnya? Apakah gak ada cara lain untuk menghukum si pertapa selain menggelapkan warna kulitnya? Konsep kecantikan gak seharusnya dibuat dengan mengerdilkan warna kulit gelap, 'kan?
Muniha Addin M.
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @munihaa
(her)